BISIK-bisik itu sebagian jadi kenyataan juga. Meskipun baru dicetuskan 1 Maret, tepat pada hari pembukaan SU MPR, pemerintah yang hampir demisioner itu melaju dengan seperangkat deregulasi. Tidak terlampau menggelegar, memang, tapi cukup meniupkan hawa segar. Dan kejutan kecil itu terjadi justru di saat kalangan pengusaha sudah mulai harapharap cemas. Tiba-tiba saja Menteri Perhubungan menurunkan tujuh surat keputusan (SK), yang bertujuan melancarkan arus barang dan penumpang. Sasaran utama Menteri Roesmin, di samping kelancaran urusan muatan yang biasanya ditangani oleh perusahaan ekspedisi, juga soal kapal pengangkutnya. Salah satu dari 7 SK itu,yakni Keputusan Menhub nomor 14/88, justru membatalkan SK dari tahun 1984 yang isinya melarang kapalkapal tua untuk beroperasi. Kendati ada yang berpendapat - seperti Ketua GINSI Zahri Achmad - bahwa SK baru itu terlambat, ya, masih lumayan daripada tidak. Tanpa SK baru, berarti tahun ini ratusan kapal harus dibesituakan - sudah 200 terkena scrapping sejak 1984. Deregulasi 7 jurus dari Roesmin justru menunda pemensiunan 153 unit kapal yang sebetulnya memasuki usia scrapping, karena sudah 25 tahun. Kalau pukul rata harga per kapal Rp 1,5 milyar, sektor pelayaran Nusantara - jika scrapping tetap berlaku - harus melakukan tambahan investasi sekitar Rp 230 milyar. Belum lagi nasib ratusan kapal dari unsur pelayaran lokal, yang tak jelas jumlahnya karena belum terdaftar. Hanya unsur pelayaran samudra yang sedikit terkena, paling hanya 10 unit. "Pelayaran samudra selalu mengganti kapalnya tanpa diperintah, pokoknya kalau sudah tidak ekonomis lagi, ganti," kata Hartoto Hadikusumo, Ketua Umum INSA (asosiasi pemilik kapal nasional). Sekalipun begitu, tidak semua kapal bisa lolos scrapping. Itulah yang dikemukakan Dirjen Perhubungan Laut J.E. Habibie pada TEMPO pekan lalu. Soalnya, meskipun usia kapal baru 20 tahun, mungkin kapal sudah tidak laik laut lagi. "Kalau untuk pelayaran Nusantara, karena harus bisa menjamin pengangkutan 9 bahan pokok, asal 70% laik laut akan kami loloskan. Yang penting aman," demikian Habibie. Lain halnya pelayaran samudra yang karena peraturan internasional, menurut Habibie, harus memenuhi semua kriteria laik laut. Kalau tidak, dituntut. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Sekjen Departemen Perhubungan, Dnaedi Hadisumarto. "Kami tidak akan mengorbankan yang namanya kelaikan laut, darat, atau udara," katanya. Masih untuk melararkan arus barang, Menteri juga membolehkan para eksportir dan importir mengurus barangnya sendiri, tanpa menggunakan Jasa perusahaan ekspedisi (EMKL atau EMKU). Lantas bagaimana bisnis EMKL? Mungkin kegiatan mereka akan berkurang, mungkin juga tidak. "Mengurus barang sendiri, selain menambah pekerjaan, juga membutuhkan keahlian," kata Moh. Binsjeh, pimpinan EMKL Bima Satria Surabaya. Yang agak miris, tampaknya, hanya perusahaan jasa bongkar muat (PBM). Maklum, salah satu SK menyebutkan, PBM tak pcrlu lagi memiliki peralatan sendiri. Padahal ketika Inpres no. 4/1985 diturunkan, setiap PBM diwajibkan memiliki fasilitas sendiri. Sedikitnya empat unit forklift, 100 pallet (kotak kayu pengumpul barang), 100 unit kereta dorong, dan beberapa tenaga ahli yang biasa menangani bongkar muat barang. Kini tanpa kewajiban itu, tentulah akan bermunculan PBM-PBM baru - toh tidak memerlukan banyak modal - hingga persaingan akan meningkat, seperti dahulu. Padahal, baru dua tahun terakhir PBM menikmati panen angkutan. PT Trijasa Dermaga Toba, Medan, misalnya. Walaupun direncanakan menangani hanya 300 ton, ia kini sudah bisa 350 ton per bulan. "Tapi kami tidak berkecil hati, dengan adanya peraturan, berarti setiap PBM dituntut untuk bersaing dalam servis," kata Djodjor Pahamei Siahaan, manajer operasi Trijasa. Lain lagi komentar Halim Susanto, direktur freight forwarding PT Hamre. "Penghapusan kewaiban memiliki peralatan sendiri itu tepat sekali," ujarnya. Sebab, selama ini, kendati Inpres 4/1985 mewajibkan, ternyata, banyak EMKL yang berperalatan lengka hanya di atas kertas saja. Lagi pula, kata Halim, lebih enak menyewa ketimban memiliki. "Selain kita tidak perlu memerlukan investasi yang banyak, dengan menyewa tak perlu mengeluarkan biaya perawatan." Pendapat ini cocok dengan pertimbangan pemerintah. "Yang penting PBM itu bisa menguasai secara teknis. Dahulu pemerintah mewajibkan PBM memiliki fasilitas sendiri, karena selain menjamin kelancaran bongka muat, ketika itu belum banyak perusahaan penyewaan atau leasing," kata Sekjen Djunaedi. "Sekarang 'kan perusahaan sewa menyewa sudah banyak." Selain menunda scrapping dan merangsan pertumbuhan EMKL, Menhub juga memangkas perizinan yang diperlukan untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor angkutan. Ada SK yang menetapkan bahwa perusahaan angkutan tidak perlu izin jika hendak membuka cabang. Begitu pula izin usaha angkutan penyeberangan, yang semula hanya berlaku lima tahun, kini berlaku selama usahanya masih jalan. Izin operasinya pun kini diberikan pada perusahaannya, tidak pada kapal-kapalnya (maksudnya kapal penyeberangan). Ini berarti, kalau mereka hendak menambah armada, tak perlu lagi meminta izin. Di sektor perhubungan darat, izin usaha yang mulanya dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Darat, dan hanya berlaku untuk waktu lima tahun, kini berlaku selama perusahaan masih hidup. Izinnya cukup dari tingkat Kanwil saja. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpond), cukup dari tingkat Kanwil, dengan masa berlaku diperpanjang dari dua tahun-menjadi lima tahun. Di sektor perhubungan udara, meskipun tidak menonjol, ada juga kemudahan izin. Untuk usaha yang menunjang kegiatan penerbangan, seperti pelayanan penumpang dan kargo, izinnya kini diberlakukan selama perusahaan masih berjalan, dan cukup dari tingkat Kanwil. Sepintas, tampaknya, deregulasi sektor perhubungan akan memacu gairah pengusaha, tapi apakah bisa sekaligus menekan biaya? Budi K., Linda D., Diah P., Irwan E.S. dan Zed A.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini