TIGA syarat utama untuk investasi, yakni murah, aman, dan nyaman, tampaknya sudah dimiliki Indonesia. Setidaknya, selama dua tahun terakhir, Indonesia sudah beberapa kali dilongok pengusaha dari Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Mereka mencari lahan buat investasi, ataupun mencari perusahaan lokal untuk dijadikan mitra usahanya. Pekan lalu, muncul rombongan pengusaha dari Taiwan. Delegasi yang beranggotakan 27 pengusaha itu diterima oleh Menteri Muda Perindustrian Tungky Ariwibowo dan Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo. Kendati Indonesia tidak membina hubungan diplomatik dengan Taiwan, toh ada Memory of Understanding (MOU), yang telah ditandatangani. Menurut Tungky, MOU itu bisa dilihat sebagai lambang kerja sama swasta kedua negara. Di pihak lain, Tjen Wen Hua, Kepala Perwakilan Ekonomi dan Perdagangan Taiwan, menilai iklim ekonomi di Indonesia sangat menarik. Katanya, bukan karena harga tanah masih murah dan upah buruh yang kelewat rendah. Bagi Taiwan, Indonesia merupakan sebuah wilayah bisnis yang strategis untuk membidik pasar Amerika. "Sebagai pengusaha, tentu kami akan mencari negara-negara yang masih kompetitif untuk memproduksi suatu barang," ujar Tjen lagi. Sampai kini, Taiwan tampaknya paling serius. Total investasinya sejak 1967 hingga akhir bulan lalu -- termasuk yang baru disetujui -- sudah mencapai 1,39 milyar dolar. Berarti Taiwan menduduki peringkat kedua setelah Jepang. Sedangkan Korea Selatan, pada periode yang sama, hanya menanamkan 1,1 milyar dolar. "Mereka -- para pengusaha dari NIC's plus Jepang -- memang mengincar Indonesia," kata Sanyoto. Itu tercermin dari pengusaha yang datang ke kantornya. Lebih dari 2/3 berasal dari negara-negara di kawasan Asia. Sisanya yang sepertiga dari Eropa dan Amerika. "Karakter kedua kelompok itu sungguh sangat berbeda," katanya. Bedanya? Pengusaha Amerika maupun Eropa sangat konservatif. Menurut Sanyoto, kalkulasi bisnis mereka memakan waktu yang panjang. Jauh berbeda dengan pengusaha Korea atau Taiwan. Begitu melihat kesempatan, "mereka langsung ambil sipoa, dan langsung investasi," ujarnya. Rata-rata, dari perencanaan hingga realisasi investasi, pengusaha dari kawasan Asia itu hanya membutuhkan waktu delapan bulan. Tapi itu tidak berarti proses investasinya berjalan mulus. Para pengusaha Taiwan, seperti pernah diberitakan beberapa waktu lalu, menuntut dibukanya sekolah berbahasa Cina untuk anak-anak mereka. Selain itu, mereka juga menghendaki adanya media yang menggunakan bahasa mereka sendiri. Yang pasti, sampai kini, secara prinsip Pemerintah Indonesia sudah menyetujui pembukaan sekolah Taiwan. Selain itu, dalam MOU tercantum bahwa pemerintah juga akan menghindarkan para investor asing dari pajak berganda. Di samping investasi mereka dijamin aman, para investor dibebaskan mentransfer profit yang mereka peroleh. "Jaminan seperti itulah yang diharapkan semua investor," kata Muhammad Buang, Direktur Eksekutif Komite Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Korea. Dia yakin, dengan jaminan seperti itu, pengusaha dari Korea pun akan datang berduyun-duyun. "Lho, apalagi mereka kan sudah punya pasar. Jadi, persoalannya hanya tinggal pada proses produksi yang murah," ujarnya. Tidak terkecuali, pengusaha Korea juga membutuhkan jaminan untuk investasi yang aman. Maklum, mereka pernah punya pengalaman pahit di sini. Waktu itu, tahun 1970-an, salah satu anak perusahaan AHYU (dari Korea), yang bergerak di bisnis kayu, terpaksa angkat kaki dari Kalimantan Barat. Mereka ribut dengan mitra lokal. Akhirnya, pengusaha Korea itu terpaksa pulang kandang. Tanpa sempat menarik kembali modal yang sudah mereka tanamkan. Budi Kusumah, Sidartha Pratidina, Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini