TRAGEDI yang sampai menelan korban jiwa itu kali ini dialami oleh Bank Pasar Pemda Kabupaten Banjarnegara (BPPKB), Jawa Tengah. Sudah hampir satu bulan bank ini menutup pintu, sementara ratusan nasabahnya bergerombol dalam keadaan setengah putus asa. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Sebanyak 53 karyawan BPPKB, yang dulu menggantungkan hidupnya pada bank itu, kini tak lagi menerima gaji. Sebagian malah di-PHK-kan. "Terpaksa kami tutup sementara, karena tak ada lagi dana untuk membayar nasabah," kata sebuah sumber di BPPKB. Tidakkah BPPKB bisa bangkit kembali? "Pasti bisa. Kami belum mati," janji Endro Suwaryo, Bupati Banjarnegara, yang menjadi pembina BPPKB. "Sekarang kami sedang mencari jalan keluar untuk bisa mencairkan kredit yang macet," ujarnya. Namun, siapa pun tahu, ini bukan pekerjaan gampang. Sejak 1987, jumlah kredit yang tak bisa ditarik dari debitur mencapai Rp 3,5 milyar. Padahal, itu semua dana mahal. Sejumlah Rp 2,17 milyar diperoleh dari 510 deposan. Dan Rp 1,4 milyar lainnya merupakan milik 7 ribuan penabung. Memang, ada upaya darurat untuk menahan pukulan berat itu. BPPKB, misalnya, mendapat suntikan dari BPD Ja-Teng (Rp 250 juta), BRI Semarang (Rp 200 juta), dan Pemda Ja-Teng (Rp 183 juta). Cuma Rp 633 juta, tak begitu banyak artinya. Tragedi itu semestinya bisa dihindarkan asalkan direksi BPPKB menjalankan banknya secara wajar. Tapi ini tidak. "Banyak pinjaman yang diberikan tanpa melalui prosedur yang semestinya," kata Endro. Dan tak sedikit debitur yang memperoleh kredit tanpa agunan. "Pimpinan BPPKB juga tidak memperhitungkan kemampuan nasabah," tambah Endro. Misalnya, ada seorang pegawai pemda yang meminjam Rp 1 juta, sementara gajinya hanya Rp 100 ribu per bulan, belum dipotong berbagai pinjaman kantor. "Nah, bagaimana mereka bisa mengangsur?" kata Bupati, yang tampaknya masygul sekali. Ia juga menyesalkan penyaluran kredit yang jumlahnya cukup besar tanpa dukungan agunan yang memadai. Akibatnya, ketika nasabah menyatakan tak sanggup membayar, hasil lelang dari agunan itu tak cukup untuk menutup seluruh tagihan beserta bunganya. "Karena ada permainan," tutur Endro. "Ada main" ini terjadi antara karyawan dan pelaksana lelang. Contohnya: sebidang tanah yang diagunkan Rp 10 juta, ketika dilelang, hanya laku Rp 2 juta. Selain itu, jumlah pegawai yang 50 orang itu dianggap Endro berlebihan. Kini, sebagian karyawan sudah disalurkan ke kantor pemda dan beberapa perusahaan swasta. Setelah itu, entah langkah apa lagi yang akan diambil. Yang pasti, "Kami tidak mau uang kami hilang begitu saja," kata Ny. Marsito. Di BPPKB ia mendepositokan Rp 8 juta. Bagusnya lagi, Ny. Marsito tak mau mengikuti jejak dua rekannya, yang bunuh diri karena tabungan mereka di BPPKB tak bisa dicairkan. BK (Jakarta) dan Slamet Subagio (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini