Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kebyar-kebyar bob dan eka

Menko Ekuin Radius Prawiro mengeluarkan surat edaran,berupa rumusan dan bisa digunakan sebagai petunjuk oleh pengusaha/perusahaan yang akan menjual sahamnya kepada koperasi.Resep jitu sedang dicari.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAPOS. Nama ini kian melejit, setelah dari sana Presiden Soeharto menggelindingkan gagasannya untuk memulai pemerataan ekonomi. Gagasan itu baru permulaan. Realisasinya masih mencari bentuk yang pas. Mungkin karena itu pula, setelah berdialog dengan 31 pengusaha terkemuka di Tapos, Presiden kembali mengumandangkan idenya. Kali ini di hadapan pengurus 146 Kopinkra (Koperasi Industri dan Kerajinan), yang diresmikan Sabtu pekan lalu. Di situ, Presiden menekankan pentingnya peran swasta bagi pertumbuhan koperasi. Apalagi dewasa ini, banyak koperasi yang masih lemah dalam organisasi maupun manajemennya. "Saya yakin, bila ajakan ini dilaksanakan, koperasi pasti bisa menjadi salah satu sokoguru perekonomian bangsa kita," ujar Presiden. Tapi, tampaknya, jalan yang harus ditempuh masih panjang. Pemerintah nampaknya tahu benar apa saja yang merupakan kendala. Makanya, sepekan setelah pertemuan di peternakan Tapos, Bogor, Jawa Barat, Menko Ekuin Radius Prawiro -- yang ditunjuk sebagai koordinator pelaksanaan pemilikan saham perusahaan swasta oleh koperasi -- kerja keras. Hasilnya, surat edaran (SE) 7 halaman, Selasa pekan lalu. "SE ini baru berupa rumusan dan bisa digunakan sebagai petunjuk oleh pengusaha yang akan menjual sahamnya kepada koperasi," tutur Radius. Ternyata, bukan kantor Menko Ekuin saja yang membuat rumusan. Konon, lewat beberapa pakar, ke-31 pengusaha itu tengah memutar otak, meracik resep untuk penjualan saham mereka. Di pihak lain, Menko Ekuin tak bermaksud memaksakan agar rumusannya yang digunakan. Setiap perusahaan, katanya, bebas menjabarkan isi dari SE tersebut. "Silakan saja. Sebab saya tahu, masing-masing perusahaan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda." Dalam SE antara lain disebutkan, yang berhak menjual saham adalah perusahaan yang benar-benar sehat. Yang menentukan sehat tidaknya, boleh dilakukan departemen teknis yang membawahkan perusahaan bersangkutan, atau Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam), ataupun Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Konsep Radius juga menyarankan agar perusahaan yang berbentuk CV dan Firma tak usah ikut serta dalam program imbauan ini. Juga badan-badan usaha Pemerintah (BUMN), tak usah menjual sahamnya. Menurut Radius, perusahaan Pemerintah sudah identik dengan milik rakyat Indonesia. Di pihak lain, koperasi yang akan bertindak sebagai pembeli saham juga harus sehat. Untuk itu, Departemen Koperasilah yang akan menentukan kriterianya. Kabarnya, sudah sejak September tahun lalu, departemen yang dipimpin oleh Bustanil Arifin menyiapkan seperangkat kriteria untuk menilai kesehatan koperasi. Ada 13 kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah koperasi unit desa (KUD) yang sehat. Atau polulernya KUD mandiri. Misalnya, modal minimal harus Rp 25 juta dan KUD harus memiliki badan pemeriksa keuangan sendiri (minimal tiga orang). Tak kalah pentingnya adalah: Laporan keuangan KUD Mandiri harus unqualified opinion alias wajar tanpa syarat alias pembukuan bersih. Bahkan, seperti halnya BUMN dan swasta, KUD yang sehat harus solvabel (sanggup mencicil utangnya) dan likuid (kekayaan yang dapat diuangkan). Tapi, kenapa rentabilitas atau kemampuan mencari laba tak ikut menentukan? Alasannya, koperasi tidak bertujuan mencari untung. "Apalagi sekarang, untuk mencapai titik impas saja sudah sulit," kata Subijakto Tjakrawerdaja, Dirjen Bina Usaha Koperasi. Nah, mungkin karena ketatnya ke-13 kriteria itulah, hingga saat ini baru ada 440 KUD yang benar-benar sehat -- dari 7.000 KUD yang tersebar di Indonesia. Dari sektor koperasi karyawan, yang juga dicanangkan sebagai pembeli saham, baru ada 68 koperasi yang sehat. Yang disebut sehat itu berarti, "Pembukuannya sudah diaudit (pemeriksaan pembukuan secara benar), dan mendapat predikat unqualified opinion. Jadi, seperti Pertamila-lah," ujar Subijakto terkekeh. Setelah melalui saringan Depkop, setidaknya sebagian jajaran koperasi di Indonesia sudah siap untuk transaksi saham dengan perusahaan swasta. Lantas, bagaimana dengan swasta? "Tenang saja, tergantung nantilah. Kita sih mau belakangan," kata Ang Kang Ho, bos Imora Motor yang merakit sedan Honda. Tapi, Eka Tjipta Widjaja justru mau jadi pionir. Bos Sinar Mas Group -- meliputi sekitar 150 perusahaan -- akan menjual saham Bank Internasional Indonesia (BII), dan pabrik kertas PT Tjiwi Kimia. Prosedurnya? Nampaknya tak begitu rumit. Masing-masing perusahaan akan memberi pinjaman, yang disimpan di BII, berbunga 3%. "Saya jamin, saham perusahaan yang saya jual benar-benar menguntungkan kebetulan keduanya sudah go pulic" kata Eka. Lha, kalau rugi? "Koperasi tak perlu membayar bunga. Juga, untuk sementara, tak perlu mencicil," tuturnya. Memang, kalau perusahaan rugi, koperasi tak mungkin mencicil utangnya. Eka tahu, utang itu akan dibayar dengan 75% dividen yang mereka peroleh. Hanya saja, saham sebesar 1% dengan nilai Rp 1,88 milyar ini tidak dijual dengan harga pari. Lalu? Eka akan menjualnya berdasarkan harga perdana. Jadi, kendati harga saham Tjiwi saat ini sudah naik banyak, Eka tetap akan menjualnya dengan harga perdana (Rp 9.500). Langkah serupa juga diajukan oleh Bob Hasan. Raja kayu ini merencanakan, dalam waktu dekat akan menjual 40% saham pabrik tehnya, yang berlokasi di Jawa Barat. Tidak sekaligus, tapi bertahap, 10% demi 10%. "Tergantung keuntungan pabrik," katanya. Berbeda dengan Eka, Bob tak memberi pinjaman pada koperasi dan tak membebaninya dengan bunga. Soalnya, pembayaran saham oleh koperasi akan langsung dipotong dari dividen yang merupakan bagian koperasi. Nah, siapa menyusul jadi pionir? Budi Kusumah, Bambang Aji, Tri Budiono Sukarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus