SEPERTI yang diduga banyak orang, Department Store Sogo penuh sesak dengan pengunjung. Kontroversi sekitar toserba itu telah memancing rasa ingin tahu warga Jakarta. Arus kendaraan yang mengalir ke sana, jangan ditanya lagi. Tak ubahnya barisan semut, mengerubuti tumpahan gula. Sejak pembukaannya, lebih dari dua pekan silam, toserba yang berafiliasi dengan jaringan depato (begitu orang Jepang menyebut department store) Sogo berhasil menggaruk tak kurang dari Rp 300 juta sehari. "Setelah minggu kedua memang ada penurunan penjualan kendati hanya sedikit," kata Soetrisno, Direktur PT Panen Lestari Indah yang mengelola Sogo, Senin pekan ini. Padahal, Sogo menjual barang dengan harga tinggi. Maklum, yang dijajakan adalah merk-merk terkenal, yang bisa mengangkat status sosial seseorang. Dari lima lantai podium Plaza Indonesia yang disewa Sogo (seluas 18 ribu m2), tampaknya lantai 2A sangat diandalkan untuk menggenjot omset. Menurut Soetrisno, pendapatan Rp 300 juta sehari itu sebagian besar datang dari mata dagangan pakaian wanita. Selain busana karya desainer lokal seperti Prajudi atau Ghea Sukasah, Sogo juga menjual pakaian impor. Sehelai rok kotak-kotak dengan desain sederhana, harganya Rp 500 ribu lebih. Kok mahal sekali? Ya itulah, barang impor. Lagi pula, merknya Burberrys, yang termasyhur, dari Inggris. Kendati belum dicatat secara sistematis, Panen Lestari memperkirakan tak kurang dari 3.000 orang mengunjungi Sogo setiap hari. Memang tak semua berbelanja. Ada yang sekadar cuci mata, ada pula yang mengecek harga. Bintang film Ratno Timoer bersama istrinya, Tien Samantha, termasuk di antara mereka yang jalan-jalan ke Sogo Sabtu lalu. "Kalau dibandingkan dengan harga-harga di Singapura, ya tak terlalu beda. Cuma kalau di sana pakai dolar yang angkanya sedikit, di sini pakai rupiah sehingga angkanya jadi kelihatan banyak," ujar Tien Samantha, sembari mengelus busana eks impor. Menurut dua pengunjung remaja asal Singapura, harga di sini hampir sama dengan harga di negara kota itu. "Yang beda mungkin dekorasi toko ini," ujar mereka, sambil mencoba T-Shirt merk B.O.D.S. Ernie B. Worang, General Manager Garden Hotel di Manado, misalnya, menganggap pilihan barang di Sogo Jakarta masih terbatas. "Di samping itu, di luar negeri selalu ada obral musiman. Kita bisa mendapat barang dengan kualitas tinggi tapi harganya murah. Sedangkan di sini kan tak ada obral," ujar wanita yang suka pergi ke Eropa ini. Desainer Prajudi menganggap Sogo sebagai, "Pintu yang baik untuk melompat ke luar negeri." Tapi wisatawan asing ternyata banyak juga yang bersantai ke Sogo, terutama turis Jepang yang menginap di President Hotel di seberang toserba itu. Apakah kehadiran Sogo membawa dampak buruk pada omset toko-toko terkemuka di Jakarta? "Pada minggu pertama memang berpengaruh," kata Soetrisno. Ia mengambil contoh toserba Lotus, yang bersama Panen Lestari bernaung di bawah kelompok Gajah Tunggal. Lotus ternyata sepi pengunjung pada minggu pertama sesudah pembukaan Sogo. Fashion show di Lotus bahkan cuma ditonton beberapa orang saja. Jaringan toserba Matahari mengiming-imingi korting 20%. "Hasilnya omset penjualan kami naik 20%," ujar Hidayat, lulusan Unpad yang adalah tangan kanan bos Matahari Group, Hari Dharmawan. Omset jaringan supermarket Hero tak mengalami guncangan sedikit pun. Sementara itu, bos Pasaraya Abdul Latief tak mau berkomentar soal Sogo. Hanya, katanya, penjualan Pasaraya meningkat 124% dibanding tahun lalu. Tahun ini akan muncul satu Sogo lagi di Jakarta. Ini bisa mengundang komentar yang seru. Bachtiar Abdullah dan Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini