DUA bulan lagi, para petani cengkih akan panen. Tapi, panen tahun ini diperkirakan tidak akan menjadi panen raya seperti tahun 1988. Waktu itu, panen cengkih membubung sampai 100.000 ton. Setahun terakhir ini, banyak petani menelantarkan kebunnya akibat harga cengkih jatuh sampai Rp 3.000/kg. Dalam kondisi seperti itu, wajar jika belum apa-apa harga cengkih sudah melambung. Harga pada PT Kerta Niaga, Senin pekan ini, rata-rata sekitar Rp 9.000. Padahal, pekan lalu, Pengurus Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia) telah menghadap Menteri Perdagangan Arifin Siregar dan mengimbau agar harga itu dikembalikan kepada harga patokan Rp 6.500/kg. Mereka juga mengimbau supaya sistem perdagangan cengkih diluncurkan ke pasar bebas. Soalnya, produsen rokok khawatir bahwa PT Bina Reksa Perdana (BRP) -- perusahaan milik Tommy Hutomo Mandala Putra -- akan memainkan peran sebagai pemasok tunggal. Andai kata hal itu terjadi, produsen rokok akan amat bergantung pada BRP sebagai pemasok cengkihnya. Ternyata, pekan lalu, pihak BRP juga sudah dipanggil Menteri Perdagangan. Menurut mereka, Arifin Siregar bisa memahami peran yang hendak dimainkan BRP sebagai buffer stock (stok penyangga). Masalahnya, PT Kerta Niaga tak mampu lagi menampung produksi cengkih yang belakangan meningkat rata-rata 10,76% per tahun. Lagi pula, pihak BRP berjanji akan menjaga stabilitas harga cengkih. Dan jangan lupa, industri kretek pernah menikmati keuntungan besar pada saat harga cengkih anjlok. Likuiditas mereka tinggi sekali. Sementara itu, cengkih, yang menjadi sumber utama penghasilan petani di Indonesia Bagian Timur, harganya meluncur tak tertahankan. Pihak BRP mengusulkan harga cengkih yang wajar adalah Rp 12.500/kg. Menurut perhitungan mereka, petani cengkih yang memiliki lahan 2 ha, setiap tahun menderita rugi Rp 1.615.000, jika harga cengkih tetap dipertahankan pada Rp 6.500/kg. Itu berarti bahwa petani dan daerah penghasil cengkih menyubsidi industri kretek. Dan jika keadaan ini terus dibiarkan maka petani akan kehilangan gairah untuk memelihara kebun cengkih mereka. Akibatnya, produksi cengkih menurun, swasembada terancam. Akhirnya, Indonesia kembali harus mengimpor cengkih, dan Pemerintah mengeluarkan devisa. Inilah kemunduran yang harus dicegah lewat fungsi BRP yang bertugas menyangga stok. Namun, Gappri mengeluh. Meskipun PT Gudang Garam mengakui harga Rp 10.000 masih terjangkau, industri kretek kecil akan megap-megap. "Kenaikan harga tak soal bagi kami, asalkan wajar," ujar T.D. Rachmat, salah seorang Direktur PT GG. Sementara pengusaha kretek kecil bilang, kalau harga melonjak hingga Rp 10.000 maka pabriknya akan amblas. Ini diutarakan oleh Herman, Kepala Bagian Umum PT Karya Niaga Abadi, yang memproduksi rokok cap "Grendel", pabrik rokok terbesar kedua di Jawa Timur, setelah Bentoel. Menurut perhitungan pihak Gappri, jika harga cengkih menjadi Rp 10.000/kg, belum akan menutupi ongkos produksi rokok yang harganya Rp 475 per bungkus. Alasannya, setelah dikurangi biaya PPN, PPh, dan ongkos produksi (buruh dan bahan baku lain), pabrik akan merugi Rp 6 per bungkus. Perhitungan Gappri tadi sulit diterima mengingat dulu, sewaktu harga cengkih mencapai Rp 15.000/kg, sementara harga rokok masih Rp 200 per bungkus, tak ada industri yang amblas. Menteri Muda Perdagangan Soedrajad Djiwandono pun berpendapat demikian. "Aneh juga kalau pengusaha kretek mengeluhkan kenaikan harga itu. Dulu sewaktu harga cengkih jatuh, mereka kok diam saja," kata Soedrajad. Sidartha Pratidina, Bambang Aji (Jakarta), Jalil Hakim, M. Baharun (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini