Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
The Fed sudah menaikkan suku bunga, tapi inflasi tetap melonjak.
Surplus neraca perdagangan membuat Indonesia menikmati rasa aman palsu.
Tren penurunan harga komoditas akan berlanjut dan mengancam neraca perdagangan.
DATA inflasi di Amerika Serikat yang terbit pekan lalu benar-benar mengejutkan. Inflasi tahunan per Juni 2022 melonjak luar biasa, 9,1 persen. Inflasi setinggi itu di negara dengan perekonomian terbesar di dunia tentu mengkhawatirkan. Dampaknya bisa sangat luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski pasar menilainya agak terlambat, sebetulnya The Federal Reserve tidaklah duduk diam ketika melihat gelagat inflasi mulai menggelegak. Pada akhir kuartal pertama 2022, The Fed sudah mulai mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Maret 2022, bunga The Fed naik 0,25 persen dan tak berhenti sampai di situ. The Fed bahkan makin agresif menaikkan bunga pada Mei dan Juni, masing-masing sebesar 0,5 persen dan 0,75 persen. Dus, sejak awal tahun bunga The Fed sudah naik tiga kali dan total kenaikannya mencapai 1,5 persen.
Fakta itulah yang membuat pasar terperenyak melihat angka inflasi Juni. Ketika bunga sudah naik begitu kerap, dan begitu besar, mengapa inflasi malah melonjak makin tajam? Situasi ini sepertinya akan menyudutkan The Fed untuk mengambil keputusan yang lebih ekstrem. Pada 26-27 Juli ini, The Fed akan kembali bersidang guna memutuskan suku bunga. Bunga akan kembali naik, itu sudah pasti. Seberapa besar? Itulah yang kini menjadi spekulasi seru.
Maka pandangan Christopher Waller langsung menarik perhatian pasar sedunia. Dia salah seorang anggota Dewan Gubernur The Fed, yang semuanya berjumlah tujuh orang termasuk Ketua The Fed Jay Powell. Waller berjanji mendukung kenaikan bunga yang lebih besar jika berbagai data yang terbit hingga menjelang sidang nanti menunjukkan ekonomi masih memanas. Data yang akan menjadi patokannya adalah penjualan retail dan juga properti.
Jika benar pada Juli ini kenaikan bunga The Fed mencapai 1 persen, pasar sedunia tentu akan heboh tak terkira. Sekarang saja, ketika kenaikan itu masih berupa spekulasi, investor sudah mencari selamat. Investor justru menganggap dolar Amerika Serikat sebagai tempat berlindung paling aman ketika pasar finansial sedang bergejolak. Maka perpindahan investasi dari mata uang berbagai negara ke dolar Amerika makin kencang. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Dana investasi portofolio milik asing terus berbondong-bondong mengalir keluar.
Namun rezeki Indonesia memang masih bagus. Hingga Juni lalu, masih ada bantal empuk dari surplus perdagangan yang mengurangi dampak buruk gejolak pasar terhadap kurs rupiah ataupun ekonomi secara keseluruhan. Neraca perdagangan bulanan per Juni 2022 mencatat surplus US$ 5,09 miliar.
Secara keseluruhan, selama semester I 2022, ekonomi Indonesia berhasil menarik surplus dolar dari perdagangan total senilai US$ 24,89 miliar. Dibanding surplus pada semester I tahun lalu yang cuma US$ 11,84 miliar, rezeki nomplok tahun ini melompat lebih dari dua kali lipat.
Itu sebabnya semuanya masih terlihat aman-aman saja di sini, meski di seluruh dunia ekonomi sedang bergolak. Para pejabat pemerintah dengan gagah berani mengatakan ekonomi Indonesia baik-baik saja. Namun Indonesia sebetulnya sedang menikmati rasa aman palsu yang membuai tapi bisa menjerumuskan.
Apa yang sedang terjadi di pasar komoditas seharusnya sudah menyalakan alarm waspada bagi investor dan, terutama, otoritas ekonomi di negeri ini. Harga-harga komoditas mulai berjatuhan. Bahkan harga minyak, yang menggila karena invasi Rusia ke Ukraina sudah memicu krisis energi di Eropa, kini mulai menurun.
Harga acuan berbagai komoditas ekspor utama Indonesia juga melorot. Harga acuan minyak sawit mentah Juli, misalnya, sudah turun menjadi US$ 1.615,83 per metrik ton, merosot hampir 5 persen dari harga Juni. Harga acuan nikel per Juli juga turun 8,8 persen ketimbang bulan lalu menjadi US$ 27.414,47 per metrik ton.
Jika ekonomi dunia melesu, tren penurunan harga komoditas akan berlanjut. Surplus perdagangan Indonesia bakal mengempis. Saat itulah ekonomi Indonesia baru akan merasakan dampak buruk gejolak yang kini terjadi. Tentu saja, hanya orang bodoh yang tak bersiap-siap ketika badai sudah di depan mata.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo