Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat penyerapan subsidi kendaraan listrik masih di bawah 1 persen.
Pemerintah akan mengubah mekanisme dan penyaluran subsidi.
Program subsidi kendaraan listrik dianggap salah sasaran.
TAK seperti yang diperkirakan, penjualan sepeda motor listrik bersubsidi ternyata lesu darah. Tiga bulan setelah program subsidi meluncur, baru 969 sepeda motor listrik yang dilirik konsumen. Jika dirinci lebih jauh, angkanya sangat menyedihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silakan tengok laman Sisapira.id, situs web yang dikembangkan oleh PT Surveyor Indonesia untuk memantau penjualan sepeda motor listrik bersubsidi. Hingga Jumat malam, 7 Juli lalu, subsidi baru tersalurkan buat 35 sepeda motor. Artinya, pemerintah baru membayar subsidi bagi 35 sepeda motor listrik yang sebelumnya ditalangi dealer dan produsen. Data di laman itu juga menunjukkan 23 unit sepeda motor listrik menunggu verifikasi dan 911 lainnya baru terdaftar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur PT SWAP Energi Indonesia Anita Laban juga heran melihat angka penjualan sepeda motor listrik bersubsidi yang rendah. SWAP Energi adalah produsen sepeda motor listrik merek Smoot. Jika menghitung jatah subsidi sepeda motor listrik tahun ini yang mencapai 200 ribu unit, tingkat penjualan hingga 7 Juli malam baru 0,48 persen. "Saya juga sedang mendalami hal ini, belum ada kesimpulannya," katanya pada Jumat, 7 Juli lalu.
Bukan hanya sepeda motor, penjualan mobil listrik yang juga mendapat insentif berupa potongan pajak masih lesu. Pada Maret lalu, angka penjualan mobil listrik mencapai 1.013 unit. Pada Juni lalu atau dua bulan setelah kebijakan insentif berlaku, tingkat penjualannya hanya naik 10,67 persen atau 2.539 unit.
Subsidi motor listrik diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2023 yang terbit pada 20 Maret lalu. Dalam aturan ini, sepeda motor listrik dengan kandungan lokal minimal 40 persen berhak mendapat subsidi Rp 7 juta. Dalam skema subsidi ini, konsumen membeli sepeda motor dengan harga diskon. Dealer atau produsen yang menalangi selisih diskon atau subsidi itu kemudian menagihnya kepada pemerintah.
Sedangkan insentif untuk mobil listrik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2023. Dengan aturan yang berlaku mulai April hingga Desember mendatang, pembeli beroleh diskon pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 1 persen. Selisih PPN ditanggung oleh dealer atau produsen yang nantinya bisa mendapat penggantian melalui mekanisme restitusi pajak.
Karyawan di showroom kendaraan listrik Selis di kawasan Ciledug, Tangerang Selatan, Banten, Desember 2022. Tempo/Tony Hartawan
Pemerintah meluncurkan program subsidi dan insentif agar masyarakat mau membeli sepeda motor atau mobil listrik. Tapi harapan itu masih belum terwujud. Masalah ini pun dibahas dalam rapat di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, dua pekan lalu. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ikut hadir dalam rapat tersebut.
Kepada Tempo, Moeldoko, yang juga mendirikan perusahaan bus listrik bernama PT Mobil Anak Bangsa Indonesia dan menjabat Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia, mengungkapkan masalah lesunya penyerapan insentif. "Usulan saya di rapat kemarin, skema restitusi jangan jadi penghambat," ucapnya di kantornya pada Rabu, 5 Juli lalu. "Bayangkan saja, pencairan restitusi harus menunggu setahun. Laporan pajaknya juga diperiksa dulu. Dealer ketakutan."
Kementerian Keuangan sebetulnya telah menjamin pencairan restitusi insentif kendaraan listrik beres dalam satu bulan, bukan setahun seperti yang biasa berlaku. Selain menyinggung restitusi, Moeldoko mempersoalkan mekanisme pencairan subsidi bagi sepeda motor listrik. Dengan mekanisme yang mirip dengan restitusi, skema pencairan subsidi, menurut dia, memberatkan dealer dan produsen. "Seberapa kuat dealer menalanginya? Anggap saja subsidi baru cair dua bulan setelah penjualan, terus unitnya laku, berapa kemampuannya menalangi itu?" ujarnya.
Dalam rapat tersebut, Moeldoko melanjutkan, sejumlah kementerian dan lembaga menyoroti syarat penerima subsidi sepeda motor listrik. Aturan subsidi menetapkan masyarakat menengah ke bawah yang boleh mendapatkan sepeda motor listrik murah. Mereka harus masuk satu dari sejumlah kategori, yakni penerima kredit usaha rakyat, penerima bantuan produktif usaha mikro, penerima bantuan subsidi upah, atau penerima subsidi listrik rumah tangga maksimal 900 volt-ampere. "Syarat ini yang menyebabkan penyerapan subsidi rendah," kata Moeldoko.
Moeldoko mengaku sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Presiden, dia menjelaskan, mempertanyakan angka penyerapan subsidi yang sangat rendah. "Yo angel nek (Ya susah kalau) persyaratannya empat itu," tuturnya.
Empat syarat itu sejatinya muncul saat pemerintah menggagas program subsidi dan insentif. Sebelum aturan ini terbit, pemerintah menghadapi gelombang protes publik yang menganggap subsidi itu disediakan buat orang kaya yang mampu membeli kendaraan listrik. Padahal masih banyak warga yang terjerat kemiskinan selepas pandemi Covid-19.
Saat menerbitkan aturan subsidi dan insentif, pemerintah beralasan skema pemanis itu diadakan untuk menumbuhkan industri dalam negeri, agar Indonesia bisa menciptakan pasar bagi kendaraan listrik. Program subsidi dan insentif kendaraan listrik juga sejalan dengan niat mengurangi subsidi bahan bakar minyak, jika pada akhirnya pemilik kendaraan berbahan bakar Pertalite atau solar beralih ke mobil atau sepeda motor listrik.
Tapi opini publik sudah kadung terbentuk. Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara segendang sepenarian dengan pendapat publik. Jalan tengah akhirnya muncul. Skema insentif bagi mobil dan bus listrik menggunakan diskon PPN, sementara subsidi hanya diberikan kepada masyarakat menengah ke bawah. "Dampaknya seperti sekarang, penyerapannya rendah," ucap Moeldoko.
Dalam rapat dua pekan lalu, kata Moeldoko, Kementerian Keuangan melihat masalah ini. "Mereka akan menjawab nanti, di antaranya soal pencairan restitusi," ujarnya. Moeldoko juga mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengevaluasi skema subsidi dan insentif berikut cara dan metode penyalurannya. "Tapi kalau nilainya tidak berubah."
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu tak kunjung menjawab ketika dimintai tanggapan tentang hal ini. Adapun Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengatakan akan meminta penjelasan dulu dari unit yang berwenang.
Ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan kebijakan ini tak tepat sasaran karena masyarakat yang berhak menerima subsidi enggan atau tak mampu membeli sepeda motor listrik. "Mereka lebih membutuhkan bantuan biaya elpiji atau bahan pokok seperti minyak goreng ketimbang subsidi untuk membeli motor listrik," katanya. Dia pun tak yakin program diskon ini bisa laris, minimal hingga akhir tahun nanti.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nasib Diskon yang Tak Laku"