Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKO Siswanto, 33 tahun, tetap menjalani aktivitas rutin seperti biasa. Setelah subuh, karyawan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama itu memacu sepeda motornya menuju Tuban, Jawa Timur, yang berjarak sekitar 70 kilometer dari rumahnya. Sebelum pukul 7, dia tiba di kantornya yang kini sepi, tanpa aktivitas, setelah berhenti berproduksi sejak 21 Mei lalu.
Kilang TPPI stop beroperasi setelah kerja sama pengolahan (tolling agreement) dengan PT Pertamina berakhir pada Mei lalu. Kongsi jangka pendek selama enam bulan dimulai pada November 2013. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan sempat meresmikan proses pengapalan pertama produk kilang tersebut di pelabuhan TPPI pada 13 Desember 2013. Produk perdana berupa paraxylene dipesan PT Chandra Asri yang berlokasi di Provinsi Banten.
Dalam skema tolling agreement, Pertamina memasok bahan baku, membiayai proses pengolahan, dan menerima produk. Sedangkan TPPI memperoleh fee atas jasa pemrosesan. "Seperti orang menjahitkan baju, kami menerima ongkos menjahitnya saja," kata Direktur TPPI Basya Himawan, Kamis pekan lalu.
Menurut Eko, sebelum kerja sama berakhir, perusahaan telah merampungkan pekerjaan besar, yakni memproduksi Premium beroktan 88 sebanyak 150 ribu barel. Bahan bakar minyak ini telah dikirim ke Pertamina menggunakan tanker MT Vastron pada 17 Mei lalu.
Karen sempat memutuskan memperpanjang sementara skema tolling fee hingga Juni. Perusahaan telah melayangkan surat ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) agar tetap memasok kondensat ke kilang TPPI.
Perpanjangan sementara itu, kata juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, memberi waktu bagi manajemen TPPI untuk merampungkan pembicaraan dengan mitra. "Mereka sedang berbicara dengan mitra, sehingga diharapkan TPPI bisa mandiri," ujarnya.
Namun rencana ini batal. Alasannya, kata Direktur Utama TPPI Aris Mulya Azof, SKK Migas telanjur melelang kondensat yang akan diberikan ke TPPI ke pihak lain. Aris adalah satu dari beberapa pejabat Pertamina yang ditempatkan di TPPI. Pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) mencopot Direktur Utama TPPI Honggo Wendratno pada Oktober 2013. Sebelumnya, Aris menjabat Vice President Joint Venture and Subsidiaries Pertamina. Sedangkan PPA menempatkan Basya sebagai perwakilannya di TPPI.
PERTAMINA sengaja tidak melanjutkan kerja sama tolling fee. Menurut Ali, industri petrokimia sedang lesu. Bisnis produk aromatik mengalami siklus lima tahunan. "Dan sekarang pada siklus harga terendah, sehingga kurang menguntungkan," kata Ali Mundakir.
Harga petrokimia di pasar internasional memang menunjukkan tren pelemahan. Berdasarkan Platts Global Petrochemical Index yang dirilis pada 16 Mei, harga petrokimia global jatuh pada April menjadi US$ 1.363 per metrik ton atau turun US$ 8 per metrik ton dari bulan Maret.
Paraxylene, misalnya, harganya sempat naik 1 persen pada Januari 2014 dibanding Desember 2013, menjadi US$ 1.424 per metrik ton. Tapi setelah itu anjlok. Pada Maret, harga rata-rata paraxylene US$ 1.173 per metrik ton, turun 5 persen dibanding Februari. Bulan berikutnya, April, menjadi US$ 1154 per metrik ton.
Platts Global Petrochemical Index adalah penyedia informasi tentang global energi, petrokimia, dan logam. Indeks Platts menjadi acuan atas tujuh produk petrokimia yang banyak digunakan. Petrokimia adalah bahan baku untuk membuat plastik, karet, nilon, dan produk konsumen lain.
Pelemahan harga, menurut seorang pejabat di pemerintahan, yang membuat Pertamina merugi hingga US$ 38 juta. Tapi sumber lain menyebutkan kerugian disebabkan oleh pergeseran antara perencanaan dan realisasi operasi, bukan cuma penurunan harga.
Dari sisi bahan baku, misalnya, semula kondensat direncanakan berasal dari Senipah, yang diperkirakan bisa optimum menghasilkan produk aromatik. Dalam perjalanannya, pabrik dipasok pula kondensat BRC (Bontang Return Condensate) dari Kalimantan Timur dan kondensat NWS (North West Shelf) asal Australia.
Dari sisi distribusi, pejabat tadi menambahkan, tanker pengangkut kondensat tak cuma mengirim ke kilang TPPI, tapi juga singgah di kilang-kilang Pertamina lain. "Tapi seluruh ongkos dibebankan ke TPPI."
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko M. Afdal Bahaudin menolak berkomentar tentang hal ini. "Saya tidak mau komentar soal TPPI. Yang lain saja," ujarnya.
Aris Mulya tidak menampik informasi tersebut. Tapi, menurut dia, kerugian lebih disebabkan oleh harga produk aromatik yang sedang jeblok. Sebab, harga produk petrokimia lebih murah ketimbang bahan baku (kondensat).
Belakangan, kerugian bisa ditekan dengan mengubah komposisi produk kilang. Porsi produk aromatik, yang semula menempati bagian terbesar, diturunkan. Kilang dioptimalkan untuk menghasilkan mogas 88 dan solar sejak April.
RAPAT direksi Pertamina dengan petinggi TPPI di kantor pusat Pertamina, Rabu dua pekan lalu, tidak melahirkan kesepakatan apa-apa. Padahal, dalam beberapa kali pertemuan sebelumnya, pembahasan telah mengerucut: kilang Tuban akan beroperasi kembali secara independen dan Pertamina akan menjadi pembeli produk kilang tersebut.
Rencana itu sebenarnya sempat diungkapkan Ali Mundakir. Dia yakin TPPI akan menyiapkan skema bisnis baru untuk mengolah kondensat menjadi mogas dan solar. "(Itu) salah satu opsi. Pertamina bisa jadi off taker produknya." Namun soal jaminan pembayaran kondensat ke SKK Migas, kata Ali, menjadi masalah akuntansi yang bisa dibahas lebih lanjut.
Nyatanya, dalam rapat tersebut, direksi belum memutuskan untuk menyetujui usulan TPPI bahwa Pertamina akan menjadi pembeli produk. Padahal manajemen TPPI menargetkan pabrik harus hidup lagi paling lambat Juli atau Agustus tahun ini.
Beroperasinya kilang TPPI sebenarnya cukup membantu Pertamina memenuhi kebutuhan bahan bakar nasional. Ketika meresmikan pengapalan perdana produk TPPI pada Desember 2013, Karen optimistis Indonesia akan mendapat tambahan suplai produk petrokimia, bahan bakar minyak, dan elpiji, sehingga akan mengurangi impor 20-30 persen dari total impor senilai US$ 5,5 miliar.
Pabrik ini, kata Karen waktu itu, akan menghasilkan sedikitnya 530 ribu ton produk petrokimia (paraxylene, benzene, orthoxylene, dan heavy aromatic). Juga mogas 88 dan solar 1,5 juta barel, ditambah elpiji 36 ribu ton dan light naphtha 300 ribu ton atau 2,8 juta barel.
Namun, hingga akhir pekan lalu, belum ada kesepakatan yang nyata antara Pertamina dan TPPI. Menurut Aris, secara prinsip, Pertamina tidak menolak. "Mereka hanya meminta kajian yang lebih lengkap," katanya.
Ali menjelaskan, Pertamina terus melakukan kajian atas opsi-opsi terbaik yang layak secara bisnis. Ia berharap penyelesaian masalah TPPI tak hanya dibebankan kepada Pertamina, tapi juga melibatkan pihak terkait lain. "TPPI bukan hanya tanggung jawab Pertamina. SKK Migas juga punya piutang, PPA punya saham. Mari bersama-sama, enggak bisa semua ditumpukan ke Pertamina," katanya.
Perusahaan yang dulu dimiliki Honggo Wendratno ini memikul utang yang superjumbo. Yang utama, utang atas multi-year bond (MYB) yang diterbitkan Menteri Keuangan senilai Rp 2,8 triliun. Ada pula utang berjaminan sebesar US$ 375 juta kepada Pertamina dan US$ 160 juta kepada SKK Migas. Juga utang tidak berjaminan kepada Pertamina US$ 230 juta dan sejumlah pihak lain.
Persoalan piutang itulah yang membuat SKK Migas ogah memasok kondensat. Menurut Aris, manajemen baru TPPI telah beberapa kali membuka pembicaraan dengan SKK Migas untuk bisa mendapat suplai kondensat. Tapi SKK Migas selalu meminta rencana pembelian tersebut dikaitkan dengan utang.
Masalahnya, Aris menambahkan, mekanisme penyelesaian utang telah diputuskan dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). "Kami tidak bisa melanggar keputusan sidang PKPU," katanya. Juru bicara SKK Migas, Handoyo Budi Santoso, menolak berkomentar mengenai hal ini.
Basya meyakinkan bahwa TPPI berupaya mencari skema terbaik untuk beroperasi kembali. Saat ini sedang dilakukan pembicaraan dengan sejumlah pihak untuk mendapatkan pasokan bahan baku ataupun menjual produk. Selain dengan Pertamina, pembahasan ini dilakukan dengan beberapa perusahaan asing. "Ada yang sudah memberikan usulan persyaratan," katanya.
Terkatung-katungnya nasib kilang TPPI ini membikin karyawan resah. Serikat Pekerja TPPI sempat menemui Bupati dan DPRD Tuban serta pemuka NU dan Muhammadiyah, meminta bantuan agar pabrik tidak ditutup.
Hingga akhir pekan lalu, para pekerja tetap datang ke pabrik tepat waktu, dan bekerja dari pukul 07.00 hingga 16.00. Cuma teknisi bagian perawatan dan pemeliharaan alat-alat produksi pabrik yang sibuk, bagian lain menganggur. "Tapi perusahaan tetap memberi gaji penuh," kata Eko. Jika perundingan gagal, proyek senilai US$ 500 juta ini bisa mangkrak.
Retno Sulistyowati, Gustidha Budiartie (Jakarta), Sujatmiko (Tuban)
Profil TPPI
Didirikan pada 1995
Produk: nafta, minyak aromatik, dan olefin (bahan baku plastik), serta bahan bakar seperti Premium, solar, dan minyak tanah.
Pekerja: 703 orang (423 permanen dan 280 kontrak)
1995
TPPI berdiri.
1997
Pembangunan proyek pabrik aromatik dimulai.
1998
Konstruksi proyek pabrik aromatik dihentikan akibat utang US$ 400 juta dan krisis ekonomi Asia.
2000
MOU restrukturisasi utang Tirtamas Group.
2001
- Pertamina berpartisipasi menyelesaikan proyek dengan konsep product swapping. Dana US$ 400 juta dikucurkan dengan imbalan Pertamina mendapat saham 15 persen.
- Pendirian PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) untuk penyelesaian restrukturisasi utang Tirtamas Group.
- Keputusan KKSK 01/K.KKSK/05/2001 menyetujui alternatif struktur Newco dalam restrukturisasi utang Tirtamas Group melalui pembentukan Newco (Tuban Petro) yang akan menguasai saham perusahaan: 70 persen saham TPPI, 80 persen saham Polytama, 50 persen saham PON, 50 persen saham Pacific Fibretama.
2002
- Kepemilikan Trans Pacific Petrochemical direstrukturisasi oleh BPPN sebagai bagian dari penyelesaian utang senilai Rp 4,2 triliun. Pengalihan 70 persen saham Tuban Petro ke BPPN.
- Konsorsium bank Jepang pun masuk sebagai debitor.
2004
Restrukturisasi BPPN selesai, pendanaan dari konsorsium bank Jepang masuk. Pengalihan 70 persen atas nama BPPN ke Kementerian Keuangan.
2006
Trans Pacific Petrochemical mulai beroperasi.
2007
Persetujuan bondholder atas penggunaan uang Rp 50 miliar untuk pelunasan awal sebagian nilai pokok MYB dan pengurangan sebagian kewajiban Tirtamas kepada Tuban Petro.
2009
Pertamina dua kali menyatakan TPPI gagal membayar utang (default) senilai US$ 500 juta. TPPI mengusulkan restrukturisasi kepada Pertamina dan kreditor lain.
2010
Pertamina kembali menetapkan TPPI gagal bayar untuk ketiga kalinya, dan mendaftarkan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Arbitrase memenangkan Pertamina. TPPI diharuskan melunasi utang ke Pertamina paling lambat 1 September 2011.
2011
- September: penyusunan perjanjian restrukturisasi utang TPPI.
- Desember: Honggo mengajukan proposal penyelesaian utang (master restructuring agreement/MRA). Ia akan meminjam US$ 1 miliar sekitar (Rp 9 triliun) kepada Deutsche Bank AG cabang London, Inggris, untuk melunasi utangnya kepada sejumlah kreditor pemerintah. Konsep ini gagal.
2012
- 16 Agustus: Honggo gagal membayar utang.
- 27 September: MYB holder menerbitkan default notice. Kuasa dan hak suara PT Silakencana Tirtalestari diambil alih PT PPA.
2013
- Januari: Penetapan pengurus baru perwakilan pemerintah tanpa perwakilan dari Silakencana.
- Mei: Penandatanganan perjanjian pengolahan (tolling) bersama Pertamina-TPPI.
- Desember: Manajemen baru mengoperasikan TPPI kembali.
Mei 2014
Pabrik berhenti beroperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo