BAGIAN tersulit menegakkan hukum perbankan di sini: menyeret bankir ke pengadilan. Sudah hampir 16 bulan setelah 16 bank dilikuidasi pemerintah pada awal November 1997, baru satu kasus yang diadili. Itu pun dari bank kecil, Anrico Bank. Kasus bank besar dengan nama-nama terkenal masih belum jelas juntrungannya. Padahal akan banyak kasus baru setelah pemerintah menutup 38 bank belum lama ini.
Pemilik Anrico Bank, Anwar Syukur, hari-hari ini memang sudah duduk di kursi terdakwa dengan tuduhan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK), yang kemudian macet, dan juga tuduhan mark-up aset. Apakah Anwar Syukur sekadar tumbal atau malah ''pembuka pintu" bagi diseretnya bankir lain ke meja hijau, belum ada kepastian. Padahal puluhan bankir dan pemilik bank seharusnya sudah lama menjadi tersangka. Namun menyeret bankir ibaratnya mendaki bukit terjal. Sulit bukan main. Berkas perkara yang menurut polisi sudah beres, ternyata, tak diterima jaksa dan dikembalikan.
Belum lagi soal yang lain, misalnya adanya surat keputusan bersama (SKB) antara Bank Indonesia (BI), Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri), dan Kejaksaan Agung. Dalam SKB itu disebutkan, BI-lah yang menangani dan mengumpulkan bukti-bukti awal. Setelah datanya cukup, barulah perkaranya ditangani polisi atau kejaksaan. Prosesnya memang sangat hati-hati, ''Agar tidak terjadi rush," kata Kolonel Pol. Drs. I Made Mangku Pastika, Kepala Direktorat Reserse Ekonomi Mabes Polri. Kalau ada rush, tentulah pemerintah, yang akan menomboki lebih dulu uang nasabah, akan makin tekor. Tapi cara diam-diam pun tak menjamin duit pemerintah akan kembali dengan cepat.
Dari kasus sepuluh bank yang dibekukan pada April dan Agustus 1998 lalu, polisi baru menangani tiga bank: Bank Umum Nasional (BUN), Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), dan Bank Modern. Gara-gara adanya SKB itu, mereka yang sempat dibui lalu dilepaskan, semuanya, termasuk Presiden Direktur BUN Leonard Tanubrata. ''Kasus itu tidak disetop, melainkan hanya di-pending," kata Pastika. Lagi pula, katanya lagi, kasus-kasus itu belum kedaluwarsa, sehingga masih sangat mungkin dibuka kembali. Kebanyakan berupa pelanggaran BMPK dan rekayasa ''pemolesan" laporan keuangan (window dressing).
Runyamnya, kasus pemeriksaan tiga direktur BI, masing-masing Hendrobudiyanto (mantan Direktur Pengawasan Perbankan), Paul Sutopo (mantan Direktur Pengawasan Devisa), dan Heru Supraptomo (Direktur Hukum), juga tak selesai-selesai satu setengah tahun ini. Pada akhir 1997, ketiganya pernah dijadikan tersangka, tapi lolos. Padahal kasus yang menyangkut BI itu dianggap sebagai barometer penegakan hukum di dunia perbankan yang sudah berlepotan.
Mantan bankir Laksamana Sukardi menegaskan setuju jika pejabat BI juga dihukum, tidak cuma bankir seperti sekarang ini. Sumber TEMPO mengungkapkan, ketiga direktur itu berlindung di balik kedudukan BI sebagai lender of the last resort (pemberi pinjaman terakhir) jika bank itu mengalami kesulitan, misalnya akibat rush. Dan itu diatur dalam UU Perbankan Nomor 10/1998. Akibatnya, kepolisian kesulitan memasuki wilayah itu. ''Ada komplikasi yang rumit," katanya. Atau dirumit-rumitkan? Entahlah.
Walhasil, sulitlah membawa bankir ke pengadilan, apalagi ke bui. Nama-nama besar tetap saja tak tersentuh. Bambang Trihatmodjo, misalnya, ketika Bank Andromeda dilikuidasi, tetap dibiarkan mendirikan Bank Alfa, yang kemudian ditutup juga. Ada lagi The Untouchable Lady, Endang Utari Mokodompit, pemegang saham mayoritas di Bank Pacific. Padahal daftar ''kejahatan" putri raja minyak Ibnu Sutowo itu panjang sekali, dari penerbitan CP yang tak bisa ditebus dan tidak dibukukan, pelanggaran BMPK, ekspor fiktif, sampai penempatan dana di bank lain yang tidak bisa dicairkan. Meski begitu, dia masih bisa melenggang dan masih sering terlihat nongkrong di Hotel Aryaduta, bekas miliknya.
Ada saja bankir yang nyaman di luar negeri. Mau contoh? Sebutlah Bambang Sutrisno (Bank Surya) atau Hendra Rahardja (BHS Bank). Bahkan, menurut anggota DPR, Ichsanuddin Nursy, banyak bankir yang mengaku sakit dan harus berobat ke luar negeri menjelang pengumuman penutupan 38 bank. ''Masa, sakit kok barengan sampai sembilan orang," katanya kepada Andari Karina Anom dari TEMPO.
Namun, menurut Pastika, itu tak berarti penyelesaian kasus para pengemplang berdasi ini mandek. Bahkan Mabes Polri berupaya agar kasus penutupan 38 bank yang terakhir langsung ditindaklanjuti. Soalnya, pemerintah tidak perlu khawatir lagi akan ada rush. ''Banknya kan sudah ditutup," katanya. Malah, Pastika mengatakan, data-data dari BI mengenai 38 bank yang ditutup itu sudah bisa masuk ke Mabes Polri pekan ini juga. Jikapun BI belum bisa menyiapkan datanya, Mabes Polri tetap akan menyidiknya. Benarkah? Asal jangan seperti syair lagu: janji-janji tinggal janji.
M. Taufiqurohman, Dwi Arjanto, Edy Budiyarso, dan Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini