Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jaringan Caesar di Kantor Pabean

Para penyelundup telepon seluler leluasa memasukkan barang dengan bantuan para petugas pabean. Penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang cukup efektif menjerat jaringan ini.

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA terdakwa itu disidang bergiliran di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis pekan lalu. Mereka adalah Nengah Sumardana, Kepala Subseksi Intelijen di Kantor Wilayah Bea dan Cukai Mataram, dan I Made Ari Kusuma Bayu, pejabat pelaksana dan pemeriksa di instansi yang sama, beserta istrinya, Ni Kadek Dewi Sridani. Ketiganya dijerat dengan tuduhan pidana pencucian uang.

Mulanya Nengah dan Made Ari didakwa telah menerima suap dari Caesar Muhni Rizal, pemilik 4.428 unit BlackBerry dan iPhone Apple 5 yang diselundupkan melalui Bandar Udara Internasional Lombok pada 11 Februari tahun lalu. Suap itu adalah imbal jasa kepada mereka yang berhasil meredam anak buahnya agar tidak memeriksa perangkat komunikasi selundupan senilai Rp 20 miliar itu. "Hasil penyuapan dialirkan ke beberapa rekening dan pembelian barang," ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah NTB Komisaris Besar Triyono Basuki Pujono, Rabu pekan lalu.

Ini pertama kalinya polisi menggunakan pasal pencucian uang untuk kasus penyuapan di NTB. Untuk itu, mereka harus menemukan hulu kejahatannya, dengan bantuan lima penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta. Salah satunya Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Pencucian Uang Komisaris Besar Agung Setya Effendi, yang belum lama ini menangkap Heru Sulastyono, Kepala Subdirektorat Ekspor Bea dan Cukai. Meski begitu, Triyono tetap mengaku kesulitan mengendus aliran uang haram untuk membongkar jaringan mafia penyelundup di baliknya. Alasannya, polisi tidak bisa menelisik dokumen kepabeanan. "Bukan wilayah kami."

Itu sebabnya, kata Agung, penyelidikan polisi sengaja menghindari tuduhan penyelundupan, yang memang kewenangan Bea dan Cukai. Masalahnya, jika kasus diserahkan ke Bea-Cukai, Agung meyakini perkara ini bakal hilang ditelan bumi. "Kalau koordinasi sama mereka, bubar."

Kasus penyelundupan telepon seluler seperti di Mataram hanyalah ujung dari puncak gunung es yang dasarnya susah ditebak. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengungkapkan, dari sekitar 250 juta ponsel yang beredar di Tanah Air, 70 juta di antaranya diimpor secara tak sah. "Saya cuma mengeluarkan izin 10 unit, tahu-tahu ada 2.000 unit yang masuk ke pelabuhan," Gita memberi contoh. "Pegawai Bea-Cukainya begini (Gita mengedipkan matanya). Oke."

Menurut hitungan Gita, penyelundupan ponsel dalam jumlah luar biasa itu telah menggerus peluang pemasukan negara hingga puluhan triliun saban tahun. Mudahnya barang ilegal itu masuk melalui berbagai pintu impor resmi ataupun tak resmi juga telah memupus peluang bagi Indonesia menjadi basis produksi perangkat tersebut.

Ketua Asosiasi Importir Seluler Indonesia Eko Nilam juga mengeluhkan adanya kelompok tertentu yang seperti diberi fasilitas untuk memasukkan barang ilegal itu di pintu-pintu yang semestinya dijaga Bea-Cukai. "Pengusaha tidak takut bayar pajak. Tapi jangan sampai kami bayar 100, yang lain bayar 20. Sebab, bea masuk ini yang akan mempengaruhi harga unit di lapangan. Kami yang membayar pajak dengan benar pasti dirugikan karena persaingan tak sehat di pasar akibat barang ilegal."

Jaringan penyelundup seperti ditengarai Eko memang bukan cerita kosong. Agung Setya mengatakan Hasan, salah satu buron di Mataram, tercatat 19 kali keluar-masuk Lombok, Palembang, Medan, dan Jakarta dari Singapura, Hong Kong, dan Cina. "Diduga menyelundupkan barang," ucapnya. Modus lain memasukkan barang melalui perusahaan ekspedisi muatan kapal laut dan udara, yang punya koneksi di kantor Bea dan Cukai. Barang milik perusahaan itu dijamin lolos pemeriksaan ketat aparat karena sudah ada kongkalikong.

Pengungkapan jaringan Caesar juga membuktikan hal itu. Kasus ini bermula dari penangkapan Muhammad Rizal di Mataram Mall pada hari barang itu diselundupkan. Pria 48 tahun yang beralamat di Cengkareng, Jakarta Barat, itu adalah suruhan Caesar.

Polisi menggerebek mobil minibus Gran Max B-1533-BFN milik Rizal yang mengangkut tujuh koper, enam tas punggung, dan enam tas jinjing berisi telepon seluler. Saat hendak ditangkap, Rizal menelepon Caesar dan menawarkan sejumlah uang kepada polisi untuk "berdamai". Tapi usahanya tak mempan.

Setelah tas dan koper dibongkar, polisi mendapati barang-barang yang sebelumnya lolos dari pemeriksaan pabean itu.

Karena curiga, polisi menyita rekaman closed-circuit television (CCTV) di bagian pemeriksaan Bea dan Cukai di Terminal Kedatangan Bandara Lombok. Dari rekaman itu diketahui petugas pabean sengaja meloloskan tas dan koper yang dibawa lima orang dengan cara menghindari pemeriksaan di mesin pemindai (sinar-X). Menurut Agung, lolosnya penyelundupan itu karena peran Nengah Sumardana dan Made Ari.

Dalam rekaman yang diperlihatkan kepada Tempo itu, Made Ari terlihat menunggu kedatangan kawanan Hasan, Bustomi, Anjanis Nasrul, Renol Rizal, dan Haryanto Gunawan di depan mesin sinar-X. Penyelundup itu terbang dari Singapura menggunakan maskapai penerbangan Silk Air dan mendarat pukul 18.30 Wita. "Ini pendaratan terakhir. Bandara sepi waktu itu," ujar Agung.

Sebelum pesawat mendarat, Made aktif menjelaskan daftar kode barang yang tidak perlu diperiksa kepada anak buahnya. Padahal, menurut Agung, sesuai dengan prosedur di pabean, barang yang dicurigai akan diberi tanda cross (X) dan dilakukan tindakan pemeriksaan fisik.

Begitu pesawat mendarat dan penumpang antre mengambil barang, Hasan dan kawan-kawan berjalan beriringan di sebelah mesin sinar-X. Tak ada Nengah dan Made saat mereka melintas. Setelah lolos, penyelundup menyewa taksi menuju Mataram Mall. Di sana telah menunggu Rizal dan dua keneknya mengendarai minibus Gran Max. Tapi, sebelum polisi menciduk Rizal, lima penyelundup itu telanjur menghilang. "Sekarang mereka masuk daftar pencarian orang," kata Triyono.

Dengan modus yang hampir sama, dan hanya berselang dua pekan dari kejadian di Mataram, ribuan BlackBerry dan iPhone ilegal lain ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan. Dikemas dalam 16 koper dan tas, 4.764 unit ponsel pintar itu diterbangkan dari Singapura dan mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. "Polanya sama," ujar Agung.

Kemiripan pola inilah yang membuat polisi menduga kedua kasus tersebut berujung pada bandar yang sama, yakni Caesar Muhni. Nantinya barang-barang itu akan ditampung dan dipasarkan lewat toko mereka di sentra penjualan ponsel di Mal Ambassador dan Roxy Mas di Jakarta.

Dari dua kasus itu pula polisi mulai mempelajari modus yang dipakai para penyelundup dan jaringan mereka di Singapura. Caesar, misalnya, memesan ponsel-ponsel itu kepada Joseph, warga negara di Negeri Singa, yang menawarkan harga miring untuk tipe ponsel yang sedang laku di pasar. Perangkat itu kemudian dipisahkan dari kardusnya saat dikirim. Kemasan itu nantinya akan dikirim melalui jalur lain, lalu dikemas ulang saat hendak dipasarkan.

Di Palembang pun polisi menciduk Ismadi Setyawan dan Jimmi Januardi, keduanya pejabat di kantor Bea-Cukai setempat. Aliran uang dari Caesar kepada mereka juga akhirnya terlacak melalui tangan Hasan, orang suruhan sang bandar. "Aliran dana menggunakan kartu ATM (anjungan tunai mandiri) atas nama Hasan yang dipegang Ismadi," Agung menjelaskan. Melalui beberapa kali pengiriman, total duit suap dari Caesar itu mencapai Rp 1 miliar. Ismadi membelanjakannya untuk membeli Honda Accord, membayar karaoke, dan sekali menarik tunai Rp 65 juta. Sebanyak Rp 190 juta lainnya ditransfer kepada Jimmi.

Kamis, 16 Januari lalu, Caesar akhirnya divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang-juga atas tuduhan suap dan pencucian uang. Adapun Hasan dihukum tiga tahun. Selang sehari kemudian, hakim menjatuhkan vonis masing-masing lima tahun kurungan kepada Ismadi dan Jimmi.

Terbongkarnya cara Caesar menyuap pejabat Bea dan Cukai di Palembang itu membuka mata penyidik yang sempat buntu dalam menyigi kasus di Mataram. Ternyata Made Ari pun mengakui pernah diberi kartu ATM atas nama Hasan, tapi kartu itu telah ia buang.

Polisi tak percaya begitu saja pada pengakuan Made Ari. Mereka lalu menggeledah rumahnya. Dari situ ditemukan rekening atas nama istrinya, Ni Kadek Dewi Sridani, berisi Rp 400 juta. Awalnya Made Ari menyebutkan dana itu hasil penjualan tanah di Bali. Belakangan, polisi mengetahui dana itu ditransfer dari rekening Caesar. Dalam putusan Pengadilan Negeri Mataram terhadap Muhammad Rizal, Nengah bersaksi pernah menerima Rp 90 juta dari Caesar via rekening BCA, dua pekan sebelum aksi penyelundupan di bandara itu.

Di pengadilan terungkap bahwa kerja sama antara Nengah dan Caesar tak hanya berlangsung sekali. Antara Januari dan Maret 2012, misalnya, Nengah mengakui meloloskan telepon seluler milik Caesar sebanyak 1.600 unit dalam empat kali pengiriman lewat Bandara Lombok. Atas kontribusinya, ia dihadiahi imbalan Rp 80 juta. Tapi kemudian Nengah mencabut kesaksian tersebut.

Terkuak pula adanya peran pejabat Bea-Cukai lainnya, yakni Anton Mawardi, Kepala Seksi Pabean dan Cukai Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Dalam kesaksiannya, Nengah mengaku kenal Caesar melalui Anton, yang menjabat Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Mataram pada Desember 2011-Januari 2012. Pada periode itu, menurut Nengah, barang selundupan milik Caesar juga pernah diloloskan melalui Bandara Lombok. Nengah menghitung ada uang imbalan Rp 80 juta yang diserahkan di ruangan Anton.

Seorang pejabat Bea-Cukai mengatakan Anton sudah lama terendus ikut terlibat dalam penyelundupan sejak bekerja sebagai Kepala Subseksi Penindakan Bea-Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. "Dia sudah lama merintis permainan ini, juga bekerja sama dengan polisi," ucap sumber tadi.

Kecurigaan penyidik juga menguat setelah melihat harta Anton yang jumbo dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Jumlahnya mencapai Rp 9,9 miliar. Kebanyakan diakui sebagai hasil hibah dan warisan. Jumlah itu dianggap tak sesuai dengan profilnya sebagai kepala seksi. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan Sonny Loho tak menampik jika ia disebut sedang menyorot harta Anton. "Masih dalam proses investigasi," katanya Kamis pekan lalu.

Kepada Tempo, Anton mengakui pernah diperiksa Polda NTB dan menjadi saksi untuk Rizal. Namun ia membantah kenal Caesar, apalagi disebut mengatur Nengah dan Made meloloskan penyelundupan ponsel. "Tidak benar dan salah," ujarnya. Ia balik menuding kicauan Made yang berusaha menjeratnya atas tekanan polisi.

Adapun tentang hartanya yang bombastis, Anton bertanya balik, "Memangnya PNS tidak boleh kaya?" Dia mengatakan sebagian hartanya berasal dari warisan keluarga yang memang sudah kaya. Ia mengaku anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan ibunya masih bersaudara dengan salah satu menteri. "Sejak SMA, saya sudah membawa BMW," katanya.

Hijrat Prayitno, pengacara Nengah dan Made, menyangkal kesaksian kliennya yang menjerat Anton. "Bukannya mau menanggung perkara, tapi dalam sidang tidak pernah terungkap ada peran orang lain," ucapnya. Adapun Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan Bea dan Cukai Bali dan Nusa Tenggara Timur Hendri Darnadi enggan berkomentar ihwal kasus di Bea-Cukai Mataram. "Saya tidak bisa berkomentar, masih diselidiki di internal," ujarnya. Yang sudah pasti, jaringan Caesar sukses membanjiri pasar telepon seluler di Indonesia berkat bantuan para pegawai pabean.

Akbar Tri Kurniawan, Galvan Yudistira, Amandra, Gustidha (Jakarta), Supriyanto Khafid (Mataram), Parliza Hendrawan (Palembang)


Volume dan Nilai Impor Telepon Seluler

TahunVolume (juta unit)Nilai (miliar US$)
200924,951,62
2010432,06
2011451,92
2012521,96

Sumber: Kementerian Perdagangan

Jumlah Pengguna Tiga Provider Besar di Indonesia (Juta)

Telkomsel

  • 2013*: 125,1
  • 2012: 125

    Indosat

  • 2013*: 56,5
  • 2012: 58,5

    XL

  • 2013*: 54,2
  • 2012: 45,8

    *) Jumlah Pelanggan Hingga Semester I

    Pelanggan BlackBerry di Indonesia

    Telkomsel (ribu)

  • 2009: 260
  • 2010: 960
  • 2011: 3.600
  • 2012: 5.800
  • 2013*: 7.020

    XL

  • 2009: 250
  • 2010: 815
  • 2011: 2.500
  • 2012: 3.700
  • 2013*: 3.000

    Indosat

  • 2009: 250
  • 2010: 650
  • 2011: 1.700
  • 2012: 2.500

    *) Hingga September

    PDAT, Diolah dari Berbagai Sumber

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus