Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Murah Meriah telepon Pintar

Peredaran dan pasar gelap telepon seluler berserak di tempat-tempat terang, ditopang sistem pengawasan yang amburadul. Menteri Gita dan Tifatul saling lempar tanggung jawab.

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK perlu bisik-bisik untuk mendapatkan barang yang semestinya dilarang itu. Para penjajanya bahkan kadang berteriak bersaing mendapatkan perhatian para pengunjung Mal Ambassador yang lalu-lalang. Rabu sore pekan lalu, pusat belanja yang kondang sebagai salah satu sentra penjualan telepon seluler dan perangkat komputer di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, itu dijejali pembeli. "Mau yang garansi resmi atau tidak resmi?" seorang pria penjaga toko di lantai tiga mal itu menawarkan satu unit telepon pintar BlackBerry tipe 7220.

Si pedagang memberi pilihan, "Kalau mau yang garansi resmi, harganya Rp 2,6 juta. Dengan garansi distributor cukup Rp 2,3 juta." Dia mencoba meyakinkan kualitas antara barang resmi dan tak resmi itu sama saja. Bedanya, garansi resmi berlaku selama dua tahun dan bisa diservis di pusat perbaikan BlackBerry yang ada di Indonesia. Sedangkan garansi distributor, kata dia, hanya berlaku selama setahun di toko tertentu. Produk dengan merek lain, seperti Samsung, iPhone, Lenovo, dan Nokia Lumia, juga ditawarkan dengan cara serupa.

Di sentra penjualan ponsel terbesar di Jakarta, yakni ITC Roxy Mas, situasinya setali tiga uang. Di sinilah, beberapa waktu lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan melakukan inspeksi mendadak dan menemukan ribuan ponsel ilegal dipasarkan terang-terangan. Barang-barang impor itu tak dilengkapi label dan garansi yang semestinya. Tak ada pula terjemahan bahasa Indonesia dalam kartu garansi, sebagai syarat edar barang itu. Beberapa tipe ponsel terbaru, yang resminya belum diluncurkan di Tanah Air, dengan mudah di­peroleh hampir di semua toko di sana.

Kepada Tempo yang menemuinya Selasa pekan lalu, Gita mengungkapkan perkiraannya, dari 250 juta ponsel yang ada, tak kurang dari 70 juta unit di antaranya merupakan barang yang masuk ke pasar kita secara ilegal. Dia mengatakan data itu ia peroleh dari pengakuan para operator telepon seluler. "Kalau yang mendapat izin impor dari saya 10 unit, ternyata dia bawa 2.000. Nah, yang 1.990 unit itu merembes ke vendor-vendor yang memasok ke Roxy, Telkomsel, Indosat, XL, atau ke Ratu Plaza," ucapnya.

Barang-barang yang masuk tanpa membayar bea sepatutnya itu menyebar cepat sampai toko-toko kecil pengecer di kota-kota hampir di seluruh negeri. "Sewaktu saya ke Roxy, banyak banget BlackBerry yang di boksnya tidak ada kartu garansi. Banyak banget yang di boksnya ditulis hanya boleh dijual di Malaysia. Tapi kok dijual di sini?"

Data yang dilansir Ketua Asosiasi Importir Seluler Indonesia Eko Nilam bahkan lebih bombastis. Menurut hitungannya, sekitar 100 juta ponsel ilegal masuk Indonesia setiap tahun. "Rata-rata harganya US$ 70-80 per unit. Maka potensi pajak yang hilang sebesar US$ 7-8 miliar per tahun dari pajak pertambahan nilai 10 persen," ujarnya Rabu pekan lalu.

Eko menjelaskan, ada dua kategori ponsel ilegal yang masuk ke pasar domestik. Yang pertama barang yang masuk Indonesia tanpa dokumen alias barang gelap. "Biasanya masuk lewat pelabuhan-pelabuhan tikus." Kategori kedua adalah barang ilegal yang diselundupkan lewat pelabuhan resmi dengan manipulasi dokumen. "Kalau kontainer isi ponsel, lapornya sandal jepit. Atau kalau ada 1.000 unit ponsel bilangnya 100 buah. Bisa juga bilang harga ponsel per unitnya US$ 20, padahal aslinya US$ 100."

Barang ilegal kategori kedua ini bisa lolos, kata Eko, karena ada petugas yang membantu. "Menyelundupkan di Indonesia itu mudah, asalkan saya punya teman di Bea-Cukai," ucapnya. "Tinggal telepon, 'Barang saya mau masuk, boleh?' Kalau dia jawab boleh, baru masuk. Dia akan tutup mata dan tidak mengecek. Kalau dia bilang jangan, berarti tak bisa masuk. Dan, kalau dia tak terima telepon, berarti juga tak bisa masuk."

Setelah kontainer keluar dari pelabuh­an, selesai sudah urusan. "Bebas merdeka. Bahkan pedagang ponsel juga tak bisa membedakan mana yang ilegal dan mana yang legal," kata Eko.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang dan Importir Telepon Genggam Boni Angga Budiman mengakui telepon pintar seperti BlackBerry ilegal paling banyak ditemukan di pasar Indonesia. "BlackBerry itu ponsel paling laku. Jadi paling banyak yang ilegal," ujarnya.

Dua macam garansi, seperti ditawarkan di Ambassador dan Roxy, hanyalah istilah para pedagang untuk membedakan keduanya. "Pada dasarnya garansi yang ada itu garansi dari agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan non-ATPM. Garansi resmi, ya, dari ATPM," ucap Boni. Yang katanya garansi toko atau distributor itu bisa dipastikan bukan dari agen resmi, karena itu harganya miring.

Tapi, ia mengingatkan, baik ATPM maupun non-ATPM berpotensi mengedarkan ponsel ilegal di Indonesia. "Ilegal itu kan yang tidak membayar bea masuk. Agen resmi juga bisa menggelapkan. Kalau lapor barang masuk seribu unit, padahal ada 10 ribu yang mereka bawa," katanya. Hal yang sama terjadi pada importir yang bukan agen resmi, karena mereka diperbolehkan mengimpor produk teknologi informasi tertentu, sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 83 Tahun 2012. "Itu sebabnya, kalau sudah di lapangan sulit mengetahui mana produk yang legal atau ilegal."

Tak semua ponsel ilegal itu barang baru. Banyak di antaranya ponsel rekondisi, yakni ponsel bekas yang diperbaiki dan dikemas lagi menjadi seperti baru untuk dijual kembali. "Mereka mengganti casing, mengganti spare part yang rusak, lalu dibungkus dan diberi kotak yang bagus, dan dikirim ke Indonesia untuk dijual," ucap Boni.

Menurut Boni, pemerintah merupakan pihak yang tahu persis berapa jumlah ponsel ilegal di Indonesia. "Cek saja IMEI yang terdaftar berapa, kemudian di-crosscheck dengan data IMEI yang dimiliki operator. Selisihnya itulah IMEI yang ilegal," katanya. IMEI atau international mobile equipment identity adalah 15 digit nomor unik yang dimiliki setiap perangkat mobile. Nomor itulah yang terdaftar di Kementerian Perdagangan sebagai laporan impor, juga di Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai regulator dan pengawas bisnis seluler.

Menteri Perdagangan sangat paham tak mungkin pemerintah bisa melakukan inspeksi mendadak dan penangkapan saban hari. Mengharapkan penegakan hukum dari polisi dan pengawasan impor oleh Bea-Cukai sama susahnya. Karena itu, ia mengusulkan agar pengendalian ponsel ilegal dilakukan melalui sistem dan teknologi. "Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mempunyai daftar IMEI yang di-approve siapa saja. Daftar itu dikasih ke seluruh operator. Kalau handphone yang dipakai nomor IMEI-nya tidak ada dalam daftar yang di-approve, salurannya dimatikan. Itu bisa secara teknologi, gampang banget," ucap Gita. "Sudah saya sampaikan puluhan kali ke Menteri Kominfo."

Boni sepakat cara seperti yang disebut Gita itu bisa efektif dan mudah. Tapi, nyatanya, usul yang disampaikan tahun lalu itu tak bersambut. Menurut Gita, para operator seluler enggan melakukannya karena berpotensi mengurangi pelanggan dan merugikan mereka. "Begitu saya panggil, beberapa pimpinan perusahaan telekomunikasi mengatakan agak takut melakukannya karena ada efek sosial. Banyak pejabat dan tokoh yang punya empat handphone, nanti kalau salurannya dimatikan, mereka komplain. Belum lagi efek ekonominya."

Keengganan juga disampaikan Menteri Komunikasi Tifatul Sembiring. Menurut dia, semua alat komunikasi yang masuk ke pasar dalam negeri harus lewat sertifikasi instansinya. Tapi ia mengakui masih banyak barang ilegal yang beredar. "Yang namanya ilegal itu komoditas lain juga ada. Sapi saja ada," ujarnya. "Harus dirazia dan operasi pasar melibatkan kepolisian dan Bea-Cukai. Saya tidak tahu jumlah pasti yang legal dan ilegal, operator juga tidak tahu. Tanya Kementerian Perdagangan."

Y. Tomi Aryanto, Amandra Mustika, Iqbal Muhtarom, Apriliani Gita Fitria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus