Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jejak Kuning di BUMN

Kubu Partai Golkar ditengarai tengah memperkuat basisnya di sejumlah BUMN. Namun Menteri Sofyan Djalil menjamin perusahaan negara akan dibebaskan dari politik.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIN Che Wei bukan sok gagah-gagahan bila terobsesi oleh dua tokoh dunia, Robert Rubin dan Socrates. Rubin adalah praktisi yang 26 tahun malang-melintang di pasar modal kemudian menjadi Menteri Keuangan Amerika Serikat pada 1995-1999. Sedangkan Socrates adalah filsuf Yunani yang antikorupsi. Keduanya seolah menjadi dewa bagi Che Wei dalam memilih jalan hidupnya.

Ia bersedia memimpin PT Danareksa pada Juli 2006 karena terinspirasi kisah Rubin dalam bukunya In Uncertain World: Tough Choice from Wall Street to Washington. Kata Rubin, ”Anak muda sebaiknya menggunakan sebagian waktunya bekerja di layanan publik untuk kebaikan negara dan memperkaya pengalaman hidup.”

Namun, dua pekan lalu, pesan Socrates yang menuntun langkahnya. Ia membuat kejutan, mendadak mundur dari Danareksa, perusahaan jasa keuangan bergengsi di Indonesia. ”Saya lebih baik menderita ketimbang berbuat korupsi,” kata Che Wei, mengutip Socrates. Artinya, lebih baik dipecat daripada tak berdaya menghadapi tekanan untuk korupsi.

Tentu ini sebuah keputusan mengagetkan ketika kinerja BUMN ini sedang cemerlang. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, Danareksa tak merugi. Tahun lalu, perusahaan ini untung Rp 130 miliar atau 430 persen dari target semula. ”Kinerja kami dinilai sehat sekali oleh Kementerian BUMN dengan skor 117 mengacu pada indikator kinerja,” kata Che Wei.

Kabar tak sedap mencuat di balik lengsernya pria 39 tahun kelahiran Bandung ini. Apalagi, pada saat kepemimpinannya, ada sejumlah kasus seperti privatisasi Perusahaan Gas Negara (PGN) yang dinilai merugikan negara.

Informasi lain yang beredar menyebutkan ia ditekan oleh Dewan Komisaris terkait dengan sejumlah kebijakan Danareksa, seperti pembukaan kantor cabang di Cina, perjalanan dinas ke luar negeri, serta penunjukan Dino Patti Djalal—juru bicara Presiden Yudhoyono—sebagai penasihat Danareksa. ”Semua itu sudah kami jelaskan dan tidak ada masalah,” kata Che Wei.

Mengapa dia mundur? Rupanya, di balik semua itu tersiar kabar lebih hot. Menurut sumber Tempo, bekas analis pasar modal kritis ini rupanya tak tahan dengan tekanan politis yang datang bertubi-tubi. Apalagi tekanan itu bertentangan dengan pakta integritas yang telah diteken direksi pada 14 Juli 2005, terkait dengan larangan korupsi. ”Ya, ada saja yang menelepon ke direksi minta setoran,” ujar sumber di Danareksa.

Di kalangan pelaku bursa, santer beredar kabar bahwa Che Wei memang dikenal sebagai pemimpin BUMN yang tidak ”bersahabat” dengan DPR. Bahkan, di Komisi Keuangan DPR, Danareksa dianggap bermasalah sehingga Dewan meminta agar perusahaan ini tidak ditunjuk sebagai broker perusahaan negara yang akan diprivatisasi.

Bila desakan DPR itu tak dipenuhi, tentu saja itu bakal mengganjal program Menteri Negara BUMN yang baru, Sofyan Djalil, yang akan menggenjot privatisasi. Namun Sofyan mengaku belum mendengar kabar tentang setoran ke DPR itu. ”Yang jelas, kami belum tahu alasan Che Wei mundur,” katanya. Apalagi rapat umum pemegang saham (RUPS) yang akan memba has pengunduran Direktur Utama Danareksa belum diagendakan.

l l l

Kisruh manajemen BUMN sesungguhnya bukan kali ini saja terjadi. Perselisihan di Danareksa menambah daftar rentetan konflik antara direksi dan komisaris yang berujung pada mundurnya orang nomor satu di perusahaan negara yang strategis. Lihat saja kasus mundurnya Arwin Rasyid dari Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia dan Iwan Pontjowinoto dari Direktur Utama di PT Jamsostek.

Arwin, misalnya. Ia lengser setelah berseteru dengan Wakil Direktur Utama Telkom Garuda Sugardo, yang kemudian merembet ke komisaris. Permintaan Arwin untuk mengganti jajaran direksi lainnya malah berbalik pada desakan komisaris kepada Sugiharto (Menteri BUMN saat itu) pada 31 Agustus 2006. Isinya, meminta Arwin dicopot karena kinerjanya dianggap tak memuaskan dan kondisi operasional sedang gawat. Gaya Arwin memimpin Telkom juga tak disukai manajemen lain.

Padahal, selama 20 bulan menjabat, Arwin sukses memperbaiki kinerja perusahaan telekomunikasi terbesar ini. Kapitalisasi modal dari semula Rp 97 triliun melonjak dua kali lipat menjadi Rp 196 triliun. Harga saham Telkom melejit dari Rp 4.975 per saham menjadi Rp 9.550 per saham per Januari 2007, menjelang Arwin mundur.

Mantan bankir itu juga berhasil menekan biaya transaksi perluasan jaringan. Misalnya, tender penambahan kapasitas jaringan Flexi 4 juta sambungan yang dimenangkan oleh Huawei dan ZTE pada tahun lalu. Dari pelaksanaan tender ini, Telkom berhasil menghemat biaya Rp 600 miliar dengan cara menekan harga dari US$ 18 menjadi US$ 7 per SST. ”Namun pembenahan ini justru tidak disukai,” ujar sumber di Telkom pekan lalu.

Begitupun dengan Iwan Pontjowinoto. Mantan bos Jamsostek ini akhirnya memilih hengkang setelah sempat bersengketa dengan dewan komisaris yang memecatnya pada 19 Januari 2006. Gaya memimpin yang keras dan hubungan dengan karyawan yang dinilai tidak harmonis menjadi salah satu alasan mengapa komisaris mencopot Iwan dari jabatannya.

Dituding tak becus memimpin, Iwan mengelak. Isu penolakan para kepala cabang Jamsostek atas kepemimpinannya juga tidak benar. Buktinya, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan bahwa tindakan Dewan Komisaris atas nama karyawan melengserkan Iwan dinilai tidak sah. Hasil rapat umum pemegang saham luar biasa juga mencabut keputusan Dewan Komisaris.

Iwan malah mengklaim sukses memperbaiki kinerja perusahaan asuransi ini. Buktinya, laba Jamsostek terus melonjak dan kinerjanya dinilai sangat sehat oleh Kementerian BUMN. Pada 2005, ketika perusahaan menanggung kerugian investasi Rp 800 miliar akibat kebijakan direksi sebelumnya, ternyata laba naik dari Rp 421 miliar menjadi Rp 629 miliar. ”Saya heran mengapa rugi investasi sebesar itu tidak diributkan,” ujar Iwan pekan lalu.

Bila melihat kinerja yang kinclong, wajar saja jika mereka heran dengan ulah dewan komisaris yang selalu mencari-cari kesalahan direktur utama BUMN agar bisa dilengserkan. Spekulasi pun berkembang bahwa ini bukan sekadar konflik antara direktur utama dan komisaris. Disinyalir, ada faktor politis.

Beberapa orang yang terpental dari BUMN strategis itu tadinya dipercaya mewakili kubu Demokrat. Arwin yang terlempar dari Telkom semula dikenal sebagai profesional pilihan Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan Che Wei adalah anggota tim ekonomi SBY sebelum menjadi presiden pada 2004.

Bisik-bisik di kalangan direksi BUMN, konon Bank Mandiri menjadi sasaran berikut yang bakal digoyang. Sesungguhnya, tekanan terhadap manajemen bank terbesar di Tanah Air ini cukup besar. Namun kekompakan Direktur Utama Agus Martowardojo dan Komisaris Utama Edwin Gerungan membuat manajemen tahan gempuran. ”Sayangnya, ada dua pentolan lain yang selalu berupaya membawa bank ini ke ranah politik,” ujar pejabat di Mandiri.

Kecurigaan tentang adanya faktor politis ini bukannya tanpa dasar. Sebut saja di Danareksa. Salah satu yang dipersoalkan Dewan Komisaris sebelum RUPS pada 21 Juni adalah penunjukan Dino Patti Djalal sebagai penasihat di Danareksa. Siapakah Dewan Komisaris itu? Salah satunya adalah Susiyati B. Hirawan, Deputi Ekonomi di Kantor Wakil Presiden. ”Bukankah ini pertanda ada persaingan antara Kantor Wakil Presiden dan Presiden?” kata seorang pejabat di Danareksa.

Namun Susiyati membantah. Dewan Komisaris tak pernah menekan Che Wei. Apalagi tindakan ini dikaitkan dengan posisinya di Kantor Wakil Presiden. ”Saya sudah pensiun dari deputi ekonomi Wakil Presiden sejak Mei lalu,” katanya. ”Kami juga tidak tahu bahwa Dino adalah staf Danareksa.”

Lantas apa yang terjadi di Telkom, BUMN yang memiliki sejumlah proyek jaringan yang bernilai raksasa? Semua orang tahu bahwa Komisaris Utama Telkom Tanri Abeng dikenal dekat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tanri yang getol minta Arwin diganti juga seorang anggota Dewan Penasihat Partai Golkar, yang dipimpin oleh JK.

Tanri menjamin tidak ada unsur politis di balik mundurnya Arwin. Menurut dia, ketika mencuat konflik di tubuh Telkom, ada dua opsi yang sebenarnya dibahas tapi tak muncul ke permukaan. Keduanya mengikuti usul Arwin agar direksi yang lain diganti atau sebaliknya Arwin yang mundur. ”Tapi pemegang saham akhirnya punya solusi terbaik, diganti saja semua direksi,” kata Tanri.

Bagaimana dengan Jamsostek? Jejak Partai Beringin rupanya juga melekat di perusahaan yang memegang duit hingga Rp 50 triliun ini. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI), Syukur Sarto adalah satu-satunya yang dipertahankan ketika semua jajaran komisaris lainnya diganti pada 2007. Syukur adalah Bendahara Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), onderbouw Golkar. ”Ini kan aneh. Kalau sebagai wakil buruh, bukankah banyak aktivis buruh yang lain?” kata sumber di Jamsostek.

Syukur Sarto mengelak ihwal aroma politik di balik penunjukan dirinya sebagai komisaris Jamsostek. Ia memang mengaku sebagai bendahara SOKSI yang aktif di Golkar. Tetapi ia tak pernah memanfaatkan Jamsostek untuk kepentingan partai. ”Kalaupun ada, itu sumbangan doa,” kata Syukur. ”Kalau sumbangan duit, wah kami bisa ditangkap. Itu penjahat besar.”

Bahwa BUMN dijadikan sapi perah partai politik sudah menjadi rahasia umum. Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil tak memungkiri bila gelagat itu masih terjadi. Tapi ia berjanji perusahaan negara akan bebas dari politik. ”Direksi harus dari kalangan profesional dan digaji tinggi,” kata Sofyan pekan lalu.

Dengan alasan tersebut, mantan tim sukses SBY-JK ini tidak sudi mengangkat calon anggota direksi yang disponsori oleh banyak orang. Sebab, itu berarti mereka memiliki banyak utang dan tidak punya kapasitas. Orang seperti ini jelas tidak bisa diandalkan untuk menggapai mimpi-mimpi besarnya. ”Saya bercita-cita, kita punya BUMN seperti Temasek Holdings-nya Singapura atau Khazanah Berhad-nya Malaysia,” ujar Sofyan.

Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus