Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belantara gedung-gedung jangkung di Jakarta kedatangan anggota baru. Berdiri tegak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, bangunan itu terdiri atas dua bagian: podium setinggi 29 meter dengan latar belakang menara 73 meter. Bangunan berwarna putih dan abu-abu yang bertakhta di atas lahan 4.220 meter persegi itu merupakan gedung pertama milik Mahkamah Konstitusi—sejak berdiri pada 2003. Sebelumnya, mahkamah yang bertugas melakukan uji materi atas undang-undang dan produk hukum lainnya itu lazimnya memanfaatkan ruangan pinjaman dari instansi lain.
Yang paling menonjol dari bangunan tersebut adalah podium yang tampil dengan pilar-pilar tinggi, dengan kolom-kolom tegas, dan kubah bermahkota. Potongan-potongan batu granit membalut dinding bangunan. Untuk mencapai gedung ini, dari plaza, para pencari keadilan—atau siapa pun pengunjung Mahkamah—harus meniti anak tangga utama. Begitu sampai di balkon dengan pilar-pilar kukuhnya, mereka masuk ke rotunda—bidang lantai berbentuk bulat di bawah kubah—yang berfungsi sebagai lobi.
Pilar-pilar dan kubah yang megah pada gedung Mahkamah Konstitusi mengingatkan orang pada bangunan-bangunan bergaya klasik ala Romawi atau Yunani Kuno. Gaya yang mirip—berkolom-kolom—ada pada Museum Nasional dan Istana Negara, yang jaraknya sepelemparan batu dari gedung baru Mahkamah.
Memang, menurut Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar, para hakim Mahkamah menginginkan gedung bernuansa klasik. Alasan yang diajukan Janedjri adalah untuk menghargai sejarah seni masa lampau beserta nilai-nilainya yang lebih humanis bila dibandingkan dengan gaya modern. Pertimbangan lain, para hakim Mahkamah melihat gedung-gedung neoklasik menampilkan kesan berwibawa.
Masih menurut Janedjri, gaya neoklasik dipilih karena gedung lembaga pemerintahan di berbagai belahan dunia terbukti banyak mengadopsi gaya neoklasik. Menurut dia, salah satu contoh desain neoklasik dengan estetika tinggi yang kerap dirujuk Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH, adalah gedung parlemen Amerika Serikat, Capitol Hill.
Benar adanya jika gedung bergaya neoklasik biasanya digunakan sebagai institusi pemerintahan, meskipun museum, gedung opera, gereja, dan lembaga pendidikan juga banyak yang bergaya neoklasik. Sebut saja Royal Scottish Academy di Edinburgh, Skotlandia; Museum Prado di Madrid, Spanyol; dan Westminster Abbey, gereja bergaya Gothic di London, Inggris. Di Amerika Serikat, juga banyak gedung pemerintahan memiliki arsitektur neoklasik, karena aliran ini dianggap sebagai representasi pesan dari pelopor demokrasi, yaitu Yunani Kuno, dan pencetus republik, Romawi Kuno.
Jadi masuk akal jika Mahkamah Konstitusi ingin punya pancaran citra berwibawa seperti itu. Namun, yang aneh, pilar podium bangunan Mahkamah berjumlah ganjil, yakni sembilan. Ini di luar kelaziman pakem arsitektur neoklasik, yang mewajibkan kolom berjumlah genap. Tak aneh, Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Jakarta sempat menolak rancangan ”ganjil” tersebut. ”Dalam bangunan-bangunan neoklasik, tak pernah ada pilar ganjil. Sebab, yang bagian tengah adalah untuk jalan masuk,” kata Gunawan Tjahjono, profesor arsitektur Universitas Indonesia, yang juga Ketua TPAK. Menurut dia, memang pernah ada sebuah gambar bangunan neoklasik berpilar ganjil, tapi itu untuk kuburan atau mausoleum.
Tentu saja TPAK, yang banyak beranggotakan arsitek, menganjurkan perubahan rancangan jumlah tiang menjadi genap. Sebab, arsitektur neoklasik yang muncul pada abad ke-19 itu becermin pada arsitektur klasik zaman Romawi dan Yunani Kuno. Meskipun dalam aliran neoklasik ada perubahan-perubahan, pakemnya tetap sama, yaitu bila ada kolom, jumlahnya genap. Bahkan bangunan neoklasik baru seperti Schermerhorn Symphony Center di Nashville, Tennessee, AS, gedung konser yang baru dibuka pada September 2006, tetap taat pada pakem neoklasik. Ia berpilar enam.
Namun sang Ketua Mahkamah berkukuh agar kolom tetap sembilan karena itu mencerminkan jumlah hakim Mahkamah—sembilan orang. ”Sebelum rancangan diajukan ke TPAK, Pak Jimly menegaskan sembilan pilar harus tampil,” kata Soeprijanto, arsitek PT Pandega Desain Weharima, yang menggarap gedung Mahkamah. Ia mengaku arsitektur gedung ini tak mengadaptasi langgam neoklasik secara spesifik dan utuh.
Alasan ini tak begitu saja diterima Gunawan, yang sempat menanyakan, ”Bagaimana jika nanti jumlah hakimnya bertambah, misalnya jadi 11? Apakah pilarnya tetap sembilan?” Ia menilai, munculnya hal-hal yang tidak pas dalam arsitektur, seperti jumlah pilar yang ganjil, disebabkan oleh faktor ketidaktahuan (ignorance).
Apa boleh dikata, gedung Mahkamah sudah telanjur berdiri dengan hiasan sembilan pilar di depannya. Janedjri menyebutkan gedung Mahkamah menjadi bangunan pertama dalam sejarah arsitektur yang menggunakan pilar berjumlah ganjil sehingga dapat dibilang sebagai pendobrak konservatisme arsitektur.
Mungkin karena gedung itu sudah telanjur menabrak pakem neoklasik, Gunawan sekalian mengusulkan modifikasi. Semula, bangunan 16 lantai yang berada di belakang podium akan diberi gaya neoklasik berupa empat atap kerucut ala Gothic pada setiap penjuru seperti Katedral Westminster Abbey. Lalu TPAK mengusulkan mengubah desain menara dengan ornamen garis-garis vertikal yang berjumlah sembilan. Ya, agar ”penyelewengan” jumlah kolom menjadi serasi dengan garis-garis yang melatarbelakanginya. Saran ini diterima Mahkamah.
Perubahan lain yang diusulkan TPAK adalah adanya tangga. Semula, tangga bangunan los dari ujung kiri ke kanan sesuai dengan lebar teras. Namun, menurut Gunawan, penampilan seperti itu menimbulkan kesan pongah. Dia menyarankan tangga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu satu tangga utama diapit dua tangga pelengkap berbentuk balkon.
”Bangunan ini nantinya tak berpagar,” kata Janedjri. Dengan cara itu, setiap warga negara yang hendak mengadu dan mencari keadilan gampang masuk. Ada juga fasilitas untuk berdemonstrasi, yaitu tempat yang luas yang juga menyediakan sambungan listrik untuk pengeras suara bagi yang ingin berorasi. Kedatangan demonstran itu, selain pas dengan cita-cita mendirikan gedung ini—terbuka bagi rakyat—bisa meramaikan suasana Mahkamah. Maklum, gedung sebesar itu, dengan 16 lantai, hanya akan dihuni oleh sekitar 200 orang pegawai Mahkamah.
Dan, mudah-mudahan saja, gedung Mahkamah Konstitusi akan benar-benar tak berpagar ketika diresmikan pada 13 Agustus mendatang—bertepatan dengan ulang tahun keempat Mahkamah. Maklum, ada preseden. Gedung Mahkamah Agung, yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, mulanya juga direncanakan tak berpagar. Namun ia akhirnya dipagari juga.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo