Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beradu Siasat di Tambang Emas

Bakrie membidik perusahaan tambang emas Newmont Nusa Tenggara. Konsorsium Trakindo di atas angin.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM lebar menghiasi wajah para direksi dan komisaris PT Bumi Resources Tbk. Bertempat di ballroom Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta, para petinggi perusahaan tambang milik Grup Bakrie itu, Kamis malam pekan lalu, menghadiri perhelatan penting bersama ratusan karyawan dan sejumlah mitra bisnisnya.

Berbagai tarian tradisional Kalimantan, tempat Bumi biasa menambang batu bara, ikut menyemarakkan suasana. Sejatinya acara itu digelar untuk meluncurkan ”Mr. Spirit”, ikon perusahaan Grup Bakrie tentang tata kelola perusahaan yang baik. Tapi rupanya ada kegembiraan lain yang tengah dirayakan.

Mau tahu? Lihatlah suvenir yang dibagikan kepada para tamu undangan di akhir acara. Di dalamnya terselip informasi tentang kisah sukses Bumi melego 30 persen saham dua anak perusahaannya, yaitu PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, senilai US$ 1,1 miliar (Rp 10 triliun lebih).

Pembeli saham dua perusahaan tambang batu bara itu adalah Tata Power Company Limited, perusahaan pembangkit listrik asal India. Perjanjian jual-beli diteken pada 30 Maret 2007, tapi transaksi baru rampung pada 27 Juni lalu.

Dengan duit ”segepok” itu, Bumi sudah memutuskan akan melunasi utangnya US$ 900 juta. Sedangkan sisanya, US$ 200 juta, bisa dipakai untuk membiayai ekspansinya ke bisnis pertambangan emas di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang sedang diincarnya. Komisaris Utama Bumi, Suryo B. Sulisto, mengatakan bahwa niat itu telah dibeberkan manajemen Bumi dalam rapat umum pemegang saham bulan lalu. ”Kami ingin multi-source, bukan hanya batu bara,” katanya ketika dihubungi Tempo, Selasa pekan lalu.

Adapun perusahaan tambang emas yang ditaksir Bumi adalah PT Newmont Nusa Tenggara. Perusahaan ini merupakan pemegang konsesi areal pertambangan yang memiliki cadangan emas 11,9 juta ons dan tembaga 10,6 miliar ton. Setiap tahun, sekitar 515 ribu ons emas dan 615 juta pon tembaga dihasilkan dari areal tambang ini.

Peluangnya memang terbuka. Sebab, kontrak karya pertambangan yang diteken Newmont pada 1986 lalu mewajibkannya menjual 51 persen saham perusahaan ke pihak Indonesia (pemerintah atau swasta nasional). Sebanyak 20 persen di antaranya telah dilego ke PT Pukuafu milik Jusuf Merukh, sehingga kewajiban divestasi yang tersisa tinggal 31 persen.

Pada saat ini, 80 persen saham masih berada dalam genggaman Newmont Partnership. Perusahaan ini patungan antara Newmont Indonesia Limited (56,25 persen) dan Nusa Tenggara Mining Corporation yang dikendalikan Sumitomo Jepang (43,75 persen).

Berdasarkan kontrak, proses penjualan 31 persen saham jatah divestasi itu akan dilakukan bertahap selama lima tahun mulai 2006. Pada tahap pertama dilepas 3 persen, sedangkan empat tahun berikutnya masing-masing 7 persen. Dengan harga 100 persen saham Newmont sekitar US$ 3,36 miliar, berarti untuk membeli 3 persennya dibutuhkan dana US$ 100,8 juta (hampir Rp 1 triliun).

Pada tahap awal, pemerintah pusat memang punya hak prioritas untuk mendapat penawaran dari Newmont. Tapi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Februari lalu, telah memberikan sinyal bahwa kondisi keuangan negara yang masih cekak tak memungkinkan pembelian saham itu.

Prioritas berikutnya adalah pemerintah Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa, dan Sumbawa Barat. Bila mereka menolak, barulah penawaran dibuka ke pihak swasta nasional. Tapi Bakrie tak mau ketinggalan kereta. Sejumlah siasat disiapkannya untuk bisa segera masuk ke tambang emas itu dengan menggandeng pemerintah daerah.

l l l

DESEMBER 2006. Direktur Utama Bumi, Ari Saptari Hudaya, meluncur ke Mataram. Menurut sumber Tempo, di hadapan Gubernur NTB Lalu Serinata, Bupati Sumbawa Jamaluddin Malik, dan Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli, Ari mempresentasikan niatnya menggandeng pemerintah daerah dan membentuk konsorsium untuk membeli 3 persen saham Newmont.

Sayangnya, langkah Ari kalah cepat dengan pemerintah Sumbawa Barat. Daerah ladang eksplorasi emas ini pada pertengahan 2006 sudah melayangkan surat ke Newmont dan pemerintah pusat soal ketertarikannya membeli saham. Karena itulah, Bupati Zulkifli menolak ajakan bergabung dalam konsorsium.

Bumi tak langsung menyerah. Pada Maret lalu, sebuah pertemuan kembali digelar dengan para pejabat daerah di Hotel Mulia, Jakarta. Kali ini bos Grup Bakrie, Nirwan Bakrie, langsung turun tangan. Pertemuan berujung pada penandatanganan nota kesepahaman antara PT Gerbang NTB Emas, perusahaan daerah Kabupaten Sumbawa, dan Bumi dengan membentuk PT Bumi Sumbawa Emas.

Anehnya, belakangan pembentukan konsorsium tiga pihak ini sama-sama dibantah pemerintah NTB, Sumbawa, dan Bumi. Asisten II Sekretaris Daerah NTB, Abdul Malik, mengatakan bahwa Bumi tidak dilibatkan dalam Bumi Sumbawa Emas. Begitu pula suara Ari Hudaya. ”Memang sudah ada nota kesepahaman, tapi kami belum bikin perusahaan joint venture,” kata Ari pekan lalu. ”Wong, kami nggak diajak.”

Pernyataan berbeda datang dari Direktur Keuangan Bumi, Eddie J. Soebari. Ia membenarkan adanya kerja sama itu, kendati tak mau menjelaskan bentuknya seperti apa. ”Saya belum bisa kasih komentar,” katanya singkat.

Abdul Malik, Asisten II Sekretaris Daerah NTB, pada pertengahan Maret lalu pernah mengatakan bahwa pendirian PT Bumi Sumbawa Emas adalah realisasi dari pertemuan di Hotel Mulia. Pembagian sahamnya: 85 persen porsi Bumi, sedangkan 15 persen sisanya jatah daerah. Untuk biaya divestasi, disepakati Bumi akan menalangi sepenuhnya. ”Mana ada uang daerah untuk membayarnya. Sampai seratus tahun juga tidak akan mampu,” kata Abdul Malik saat itu.

Sumber Tempo mengatakan, belakangan memang ada upaya mengaburkan masuknya Bumi, setelah penasihat hukum Sumbawa Barat mempertanyakan status PT Bumi Sumbawa Emas. ”Kalau perusahaan daerah berkonsorsium dengan swasta, apakah perusahaan baru itu masih bisa dikatakan sebagai pemerintah?” kata sumber itu mengutip sang penasihat hukum. Karena itulah, surat-surat dari NTB menyangkut divestasi Newmont pun selanjutnya memakai kop surat gubernur.

Masalah Bakrie tak hanya itu. Diam-diam pemerintah Sumbawa Barat ternyata sudah digandeng PT Trakindo Utama. Keberadaan perusahaan penjualan dan penyewaan alat berat milik keluarga Hamami itu diakui Bupati Zulkifli. Trakindo, kata dia, akan mendanai seluruh pembelian saham atas nama perusahaan daerah PT Tambang Sumbawa Barat. ”Kami akan memperolehnya gratis,” ujarnya tertawa.

Di Newmont Nusa Tenggara, Trakindo bukan pemain baru. Perusahaan yang berafiliasi dengan Caterpillar, produsen alat berat asal Amerika Serikat, itu menjadi kontraktor proyek Batu Hijau, tempat eksplorasi Newmont di Sumbawa Barat, sejak 1980-an.

Zulkifli pernah mengatakan, Sumbawa Barat dan Trakindo nantinya akan berbagi rata perolehan dividen. Jika dikalkulasi dari keuntungan Newmont Nusa Tenggara sebesar US$ 200 juta setahun, berarti dengan porsi kepemilikan 3 persen saham, keuntungan yang bisa dicicipi Sumbawa Barat dan Trakindo sebesar US$ 6 juta (Rp 54 miliar). Ini tentu menggiurkan bagi kabupaten yang memiliki pendapatan asli daerah Rp 17,5 miliar dengan APBD Rp 279 miliar pada 2006 itu.

Dalam proses ini, Sumbawa Barat dibantu oleh konsultan Asoka Bratanata. Putra Menteri Pertambangan di era Presiden Soekarno, Slamet Bratanata, ini masih tercatat sebagai komisaris PT Gajah Tunggal Tbk. Asoka, kata sumber lainnya, juga dikenal dekat dengan pemilik Trakindo.

Menurut Asoka, kerja sama Sumbawa Barat dengan Trakindo dilakukan dengan membentuk konsorsium antara PT Tambang Sumbawa Barat dan perusahaan afiliasi Grup Trakindo. Keduanya sepakat berupaya mendapatkan 3 persen saham Newmont di tahap awal, juga di tahap divestasi selanjutnya.

Dibanding pesaingnya, Sumbawa Barat tampaknya berada di atas angin. Sebab, Newmont telah memberikan tawaran manis. Lewat letter of intent yang dilayangkan pada 4 Mei lalu, Robert Humberson dari Newmont dan Rio Ogawa dari Sumitomo menyatakan kesediaannya menjual 3 persen saham kepada Sumbawa Barat. ”Letter of intent ini hanya diberikan kepada kami,” kata Zulkifli. ”Artinya, pelimpahan 3 persen saham kepada Sumbawa Barat sudah final.”

Kabar gembira itu langsung disiarkan secara tertulis kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Mei lalu. Surat juga ditembuskan ke sejumlah pejabat tinggi negara seperti Wakil Presiden, Ketua DPR, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sebagai tindak lanjutnya, kata Zulkifli, saat ini sedang disusun surat kesanggupan kedua untuk mendetailkan surat pertama. Ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum Indonesia, Amerika Serikat, dan Jepang. Asoka membenarkan adanya pembahasan letter of intent kedua tersebut.

Lantas, apakah peluang Bakrie sudah terkunci? Kesempatan ternyata masih ada. Pasalnya, menurut Asoka, kesepakatan Newmont-Sumbawa Barat baru akan berlaku efektif bila ada persetujuan dari pemerintah pusat. Pihak Bakrie pun tampaknya belum akan menyerah. ”Kami sangat serius ingin masuk ke Newmont,” kata Suryo.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, M.S. Marpaung, menyangkal kata akhir ada di tangan pemerintah pusat. Menurut dia, kewenangan itu ada di tangan Newmont sebagai pelaksana. Alasannya, posisi pemerintah pusat sama dengan provinsi dan kabupaten sebagai pihak yang ditawari untuk membeli saham. ”Masak, pihak yang ditawari yang membuat keputusan,” ujarnya.

Menurut juru bicara Newmont, Rubi Purnomo, persoalannya, di dalam kontrak disebutkan bahwa selama proses divestasi, Newmont harus menawarkan sahamnya ke pemerintah pusat, provinsi, dan daerah. Itu berarti, ketika pemerintah Provinsi NTB dan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat sama-sama berminat, pemerintah pusatlah yang harus memutuskan: siapa yang akan ”maju” atau membeli saham. ”Jadi, posisi kami sekarang menunggu keputusan pemerintah,” katanya.

Retno Sulistyowati, Heri Susanto, Supriyantho Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus