Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jika Permen Dibalas Ikan

BPOM melarang beredar produk makanan Cina yang ditemukan mengandung formalin. Beijing menghentikan impor hasil laut Indonesia.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR menyentak bertiup dari Beijing, Cina, dua pekan lalu. Terhitung mulai 3 Agustus, pemerintah Negeri Panda itu menghentikan sementara impor semua hasil laut dari Indonesia. Alasannya, produk akuatik Indonesia mengandung logam berat—seperti merkuri dan kadmium—zat kimia, dan obat-obatan.

Pengumuman itu dikeluarkan General Administration of Quality Supervision, Inspection, and Quarantine (GAQSIQ), semacam Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia. Badan ini memerintahkan, barang yang masuk setelah 3 Agustus harus dikembalikan atau dimusnahkan. Produk yang tiba sebelumnya akan diperiksa ketat. Hanya produk yang lulus pemeriksaan yang boleh masuk.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menuding Cina tidak fair, karena tuduhannya tidak disertai hasil uji laboratorium. Ketua Asosiasi Pengusaha Coldstorage Indonesia, Susilo Subandrio, menilai tuduhan itu berat karena menganggap seluruh produk laut asal Indonesia tidak aman dikonsumsi. Ia khawatir tuduhan itu tidak hanya menyebabkan pendapatan ekspor raib, tetapi juga berpotensi merusak citra Indonesia di mata negara lain.

Saat ini, nilai ekspor ikan olahan Indonesia ke Cina mencapai US$ 70,3 juta atau sekitar Rp 600 miliar. Secara keseluruhan, ekspor Indonesia ke Cina mencapai US$ 8,3 miliar, dan impornya US$ 6,6 miliar. Artinya, Indonesia masih mencatat surplus US$ 1,7 miliar, lantaran adanya ekspor gas ke Negeri Panda itu. Sebaliknya, Cina hanya bisa mengekspor produk nonmigas.

Sudah tiga pekan terakhir ini hu-bungan dagang Indonesia-Cina memang ”memanas”. Konflik bermula ketika BPOM mengeluarkan surat peringatan, 24 Juli lalu, tentang produk pangan Cina yang mengandung bahan berbahaya. Dari 39 produk Cina—seperti permen, manisan, dan buah kering—yang diambil sampelnya dan diuji, tujuh jenis produk dinyatakan positif mengandung formalin (lihat tabel).

BPOM pun menyegel produk itu untuk dimusnahkan. Lembaga ini juga merazia toko-toko makanan. Dalam tempo sepekan, lebih dari 30 jenis penganan Cina yang dinyatakan mengandung formalin disita. Barang itu ditemukan di Palembang, Yogyakarta, Pontianak, Makassar, dan Mataram.

Pada 1 Agustus, BPOM kembali meluncurkan peringatan publik. Lembaga ini mengumumkan, 26 merek kosmetik yang beredar—di antaranya produk Cina—mengandung bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya oleh Departemen Kesehatan. Zat berbahaya yang ditemukan antara lain merkuri (Hg) alias air raksa, yang penggunaannya sebagai krim pemutih bisa menyebabkan iritasi kulit. Dalam dosis tinggi, zat ini bahkan merusak saraf otak dan bersifat karsinogenik.

Sumber Tempo mengatakan, peringatan publik BPOM itu membuat para petinggi Cina panik. Apalagi jika diingat bahwa Indonesia termasuk pasar terbesar bagi produk asal Cina, selain Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pihak Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina di Jakarta pun segera ingin bertemu Kepala BPOM, Husniah Rubiana Thamrin Akib. Mereka ingin mendapatkan klarifikasi tentang kandungan formalin dalam makanannya.

Pada Selasa pekan lalu, Husniah menerima delegasi Cina di markasnya, di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Mendampingi Kepala BPOM, hadir Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Diah Maulida. Tim Cina dipimpin Li Haiqing, Deputi Direktur GAQSIQ Bidang Kerja Sama Internasional, dan Fang Qiuchen, Konsulat Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Cina untuk Indonesia.

Pertemuan yang diagendakan pada 15.00 itu molor sejam lebih, menunggu Husniah yang masih dalam perjalanan dari Palembang. Begitu tuan rumah tiba, rapat dibuka. Selama sekitar dua jam mereka bicara tentang peringatan publik BPOM.

Menurut Husniah, dalam pertemuan itu Cina membenarkan produk makanannya mengandung formaldehid. Formaldehid adalah komponen formalin, selain air. Di Indonesia, formalin dilarang keras dicampurkan ke dalam makanan. ”Ini standar internasional, tidak boleh ada formaldehid di dalam makanan,” kata Husniah kepada Tempo.

Sebaliknya, Cina menyodorkan aturan internal mereka bahwa formaldehid diizinkan sampai batas maksimum 30 miligram per kilogram produk. Mereka juga meminta Indonesia mengubah standar mutu produk menjadi seperti yang berlaku di Cina. ”Tentu enggak bisa, karena standar kita sudah sesuai dengan standar internasional,” kata Husniah. ”Kalau mereka punya standar sendiri, silakan, kami menghormati.”

Cina juga mempertanyakan, mengapa tiba-tiba Indonesia memeriksa produk mereka. Akan perkara ini, Husniah merujuk beberapa media internasional, bahkan media lokal Cina, yang mempublikasikan pemeriksaan Beijing terhadap 6.000 lebih pabrik di sana. Hasilnya, 19,1 persen produknya tidak memenuhi standar. Akibatnya, ratusan pabrik ditutup.

Artinya, Husniah menambahkan, apa yang dilakukan lembaganya bukanlah bentuk sentimen terhadap Cina, melainkan murni soal keselamatan pangan masyarakat. ”Kami mendengar produk Cina—yang juga beredar di Indonesia—ditemukan mengandung bahan berbahaya di beberapa negara. Apakah saya akan diam? Tidak. Kami berkewajiban memeriksa meskipun tidak ada keluhan dari masyarakat.”

Cina juga tak kekurangan dalih. Menurut Fang Qiuchen, sampel White Rabbit yang diambil BPOM bukanlah permen yang berasal dari negerinya. Tim investigasi Cina menemukan dua produk yang mirip White Rabbit, berasal dari Taiwan dan satu lagi buatan lokal dari pabrik di Medan.

Tapi Husniah mengaku telah mengantongi sejumlah bukti. Di antaranya sampel yang diberikan oleh importir resmi White Rabbit. Setelah diuji di laboratorium, hasilnya juga positif mengandung formalin. ”Jadi, barang yang diimpor resmi pun mengandung bahan terlarang itu.”

Mengenai pencekalan hasil laut Indonesia di Cina, Li Haiqing menjamin kebijakan itu bukan serangan balik. ”Ini adalah pemeriksaan reguler,” ujarnya. Yang jelas, Li menambahkan, sejak Desember tahun lalu sudah ditemukan 230 produk perikanan Indonesia yang tidak memenuhi standar. ”Kami sudah beberapa kali menginformasikan kepada pemerintah Indonesia, tapi tidak ada feedback,” katanya.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pun tak mengartikan kejadian itu sebagai perang dagang Indonesia-Cina. ”Ini masalah rutin dalam perdagangan,” katanya. ”Indonesia menerapkan standar, dan semua negara berhak menerapkan standarnya juga.”

Namun, Direktur Standardisasi dan Akreditasi Departemen Kelautan dan Perikanan, Nazori Djazuli, menangkap sejumlah kejanggalan atas kebijakan Cina itu. Mestinya, yang ditolak adalah produk dari perusahaan yang bermasalah. ”Bukan kok produk ikan seluruh Indonesia langsung dilarang,” katanya kepada Tempo. Juga soal tenggat. Jika diumumkan pada 3 Agustus, misalnya, berlakunya baru pada 30 Agustus. ”Nah, ini berlaku pada saat diumumkan,” katanya. ”Ini tidak fair. Bagaimana nasib barang yang sedang dalam perjalanan?”

Nazori mengaku tak pernah menerima peringatan atau protes tentang produk laut Indonesia dari Cina selama beberapa bulan terakhir. Informasi penghentian impor oleh Cina baru diketahuinya lewat media. Makanya ia buru-buru mencari informasi ke Kedutaan Besar RI di Beijing. Hasilnya, kedutaan mencatat 19 kasus komplain produk perikanan Indonesia selama 2005 hingga 2007. Kasus terakhir, yang berbuntut penghentian impor produk akuatik, melibatkan tujuh perusahaan Indonesia yang diambil sampelnya.

Persoalannya, Nazori menambahkan, ketujuh perusahaan itu tidak mengantongi sertifikat ekspor. Artinya, ekspor ikan itu dilakukan ilegal. ”Di Eropa, produk tak bersertifikat tidak bisa masuk. Enggak tahu kenapa di Cina bisa masuk,” ia mempertanyakan.

Departemen Kelautan telah melacak dan memanggil perusahaan-perusahaan itu. Tapi baru satu yang merespons. Pemilik perusahaan mengaku bersalah. Karena itu pemerintah akan menjatuhkan sanksi, misalnya peringatan atau teguran, lantas diawasi ketat. ”Jangan sampai perusahaan itu tutup,” kata Nazori. ”Ini menyangkut banyak sekali tenaga kerja.”

Retno Sulistyowati, R.R. Ariyani, Agus Supriyanto


Produk pangan impor Cina yang mengandung bahan berbahaya

Tidak memiliki izin edar, dijual dalam bentuk curah:

  • White Rabbit Creamy Candy, Permen Kiamboy, Permen Classic Candy, Permen Blackcurrant, Permen White Rabbit, Manisan Plum.

    Bernomor Depkes RI:

  • Permen White Rabbit (SP No. 231/10.09/96)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus