Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBANG dari Jakarta menuju San Francisco, Amerika Serikat, Sigit Pramono mengemban misi penting. Di negeri adikuasa ini, akhir Juli lalu, Direktur Utama Bank Negara Indonesia itu turun gunung untuk menjala minat investor asing atas saham BNI yang bakal dijajakan. Sigit dan rombongannya juga terbang ke Boston, lalu meneruskan perjalanan darat ke New York.
Jual saham BNI sampai ke Amrik? Begini ceritanya. Setelah tertunda hampir tiga tahun, bank terbesar ketiga di Indonesia ini bersiap kembali untuk menjual 15 persen saham baru lewat penawaran terbatas (rights issue) kepada para pemegang sahamnya. Bersamaan dengan itu, pemerintah akan kembali melego 15 persen kepemilikan sahamnya di BNI lewat penawaran saham perdana kedua (secondary offering). Total saham yang dilepas sekitar 30 persen atau 3,95 miliar lembar.
Pemerintah mematok harga pada kisaran Rp 2.050–2.700 per saham. Dari perkiraan Rp 8–10 triliun fulus yang bisa dijaring, pemerintah berharap dana segar yang bakal mengalir ke kas negara sebanyak Rp 4,7 triliun. Masalahnya, mendulang dana segede itu bukan perkara sepele. Selain investor domestik, peran pemodal asing amat dinanti. Karena itulah Sigit pun ”turun gunung” menyambangi investor di berbagai kota di negeri jantung kapitalisme dunia itu.
Ada perwakilan dua penjamin emisi penjualan saham yang ikut mendampingi: PT Bahana Securities dan JP Morgan. Dua rombongan BNI lainnya juga menyambangi sejumlah negara di Asia dan Eropa. Perburuan investor Asia dipimpin Bien Subiantoro, Direktur Komersial BNI. Sedangkan safari ke Eropa dipimpin Gatot M. Suwondo, Wakil Direktur BNI. ”Total sekitar 85 investor asing kami kunjungi,” kata Sigit pekan lalu.
Sasarannya, tentu saja, tuan-tuan berkantong tebal, yang biasa mengelola dana miliaran dolar. Mereka, di antaranya, Deutsche Asset Management, AIG Investment Corp., Noonday, Morgan Stanley, Goldman Sachs, UBS, dan Merrill Lynch. Beberapa dari mereka memang sudah memiliki portofolio saham di Indonesia. ”Investor yang biasa bermain dalam jumlah besar memang sengaja didekati,” kata Sigit.
Tiga hari pertama, jajak minat berjalan mulus. Para investor masih optimistis bakal masuk ke pasar dan industri perbankan Indonesia. ”Mereka memberikan respons positif,” ujarnya. Namun, keadaan berbalik saat memasuki hari keempat, ketika manajemen BNI bersiap presentasi di New York. Saat itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil ikut hadir.
Pangkal soalnya adalah momentum yang tak pas. Bursa saham Wall Street lagi kelabu karena sejak pertengahan Juli lalu dirongrong permasalahan kredit macet di pasar dana perumahan Amerika. Harga saham perusahaan-perusahaan pendanaan properti di Amerika rontok. Saham American Home Mortgage Investment Corp. bahkan sempat terjun bebas hingga 90 persen.
Kejatuhan indeks saham itu langsung menular ke berbagai bursa dunia lainnya. Indeks Dow Jones dalam kondisi terburuknya sempat anjlok lebih dari 2 persen. Indeks Nikkei di Tokyo rontok 2,2 persen—ini yang terburuk dalam empat bulan terakhir. Indeks Kospi di Seoul luruh 4 persen. Kondisi serupa terjadi di bursa Taiwan, Shanghai, Australia, dan London. Indonesia pun ikut kena imbasnya. Indeks harga saham gabungan Bursa Efek Jakarta melorot lebih dari 10 persen.
Situasi itu, jelas, tak menguntungkan BNI. Apalagi, ”Beberapa investor ikut mengalami kerugian, karena terpuruknya bursa regional.” Alhasil, minat investor langsung loyo. Beberapa di antaranya bahkan mendadak mengurangi permintaan jumlah saham.
Singkat cerita, hasil penjajakan ke Amerika tak berbuah maksimal. ”Jumlah pesanan tidak sebanyak hasil penjajakan ke Asia dan Eropa,” kata Gita Wirjawan, Presiden Direktur J.P. Morgan Indonesia. Meski begitu, BNI, pemerintah, dan penjamin emisi masih bisa bernapas lega. Soalnya, dari jajak pasar di Hong Kong, ”Terjadi kelebihan pemesanan hampir dua kali lipat,” kata Said Didu, Sekretaris Kementerian Negara BUMN.
MELIHAT pasar tak cukup bergairah, apa boleh buat, pada 30 Juli lalu BNI hanya mematok harga Rp 2.025 per lembar saham baru yang ditawarkan. Keesokan harinya, saham pemerintah pun cuma ditawarkan pada harga patokan terendah: Rp 2.050 per lembar.
Penentuan harga itu, menurut Ito Warsito, Presiden Direktur Bahana Securities, didasarkan pada harga penawaran yang masuk. ”Sebagian besar investor menawar di harga itu,” kata Said Didu kepada Heri Susanto dari Tempo. ”Sedangkan yang menawar di harga Rp 2.300 hanya lima persen.”
Dengan patokan itu, total dana yang bisa diserap ditaksir Rp 8,1 triliun. Sedangkan yang masuk ke kas APBN hanya Rp 4 triliun—lebih rendah Rp 700 miliar dari yang ditargetkan.
Reaksi negatif langsung meruyak di lantai bursa. Di hari itu, saham BNI ditutup pada harga Rp 2.475 per saham, padahal sehari sebelumnya masih Rp 2.675. Penurunan harga terus berlangsung hingga Rp 2.125 per saham pada penutupan perdagangan, Selasa pekan lalu. Otoritas bursa akhirnya menghentikan sementara perdagangan saham BNI hingga Jumat pekan lalu.
Rendahnya harga penawaran ini tak lepas dari rontoknya bursa global. ”Siapa sangka pasar global akan terkoreksi sedemikian hebat,” ujar Fauzi Ichsan, Vice President Standard Chartered Bank Indonesia. Ini menjadi salah satu penyebab kegagalan menjaring investor Amerika dan Eropa di harga maksimal. Menurut kalkulasi Edwin Sinaga, pengamat pasar modal dari Finan Corfindo Nusa, nilai wajar dari saham BNI Rp 2.400–2.500 per lembar. ”Tapi, bila ditetapkan di kisaran segitu, saham BNI tidak akan terserap cepat karena pasar lagi jelek-jeleknya.”
Apalagi, kata Edwin, tren penurunan kredit bermasalah BNI kurang baik bila dibandingkan dengan Bank Mandiri. Coba simak angka di bawah ini. Hingga akhir 2006, rasio kotor kredit bermasalah (non-performing loan) BNI sebesar 10,5 persen. Sedangkan rasio bersih kredit macetnya 6,5 persen—pada tahun sebelumnya 8,4 persen. Bandingkan dengan rasio bersih kredit bermasalah Bank Mandiri, yang akhir tahun lalu sudah 5,9 persen. Padahal, tahun sebelumnya masih 16,3 persen.
Membubungnya rasio kredit bermasalah inilah yang menjadi sorotan para investor di New York. Soal sensitif ini juga disorot Moody’s Investor Service dalam laporannya awal Agustus lalu. Namun, Sigit menepis kabar itu. Menurut dia, cerita bohong itu sengaja ditiupkan untuk membuat harga saham BNI jeblok. ”Saya kan bukan satu-dua kali menggelar road show,” katanya. ”Jadi, saya tahu persis bagaimana menghadapi tabiat investor asing.”
Yang jelas, bank pelat merah ini dinilai tak transparan dalam mengumumkan pengutang kakapnya. ”Mereka membandingkan dengan Bank Mandiri yang pernah mengumumkan debitor kakapnya,” kata Sigit. ”Tapi kami sudah jelaskan semuanya.” Cuma saja hasilnya, ya itu tadi, jauh panggang dari api.
Yandhrie Arvian
Harga Saham BNI dalam rupiah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo