Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH baik mencegah sekarang daripada repot belakangan. Prinsip inilah yang sepertinya dipegang Bank Indonesia (BI) menghadapi tekanan dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, dalam tiga pekan terakhir. Bank sentral memilih berteriak lebih awal, begitu tanda-tanda spekulasi terlihat mulai mencemaskan.
Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengawali jurusnya dengan menunjuk empat bank asing, yang dalam sepekan telah mengeruk sedikitnya US$ 600 juta, atau setara Rp 5,4 triliun, dari pasar domestik. Bukan cuma itu, mereka ditengarai membawa dolar ke luar negeri melalui transaksi antarkantor cabang mereka baik di dalam maupun luar negeri.
Meski Burhanuddin tak menyebut secara rinci bank dimaksud, kecuali sempat keluar nama JP Morgan Chase Bank, media massa mengendusnya dengan cepat. Nama bank yang kemudian menyusul keluar adalah Standard Chartered Bank, Deutsche Bank, dan ABN AMRO Bank. Masalahnya, mengapa bank sentral terkesan begitu panik dan mengingkari sistemnya sendiri, rezim devisa bebas.
Pertanyaan itu muncul karena ternyata langkah BI tak hanya bicara. Surat teguran dilayangkan ke meja para pemimpin bank itu. Menurut juru bicara BI, Rusli Simanjuntak, bank-bank asing tersebut diminta menghentikan usaha spekulasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. "Semacam cease and decease order, atau perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu," katanya.
Rusli menambahkan ancaman dalam keterangannya kepada pers, awal pekan lalu, "Bila tidak dipatuhi, BI berwenang mencabut izin praktek pimpinan banknya." Untuk memastikan ancamannya dipatuhi, bank sentral menempatkan beberapa personel di dealing room (ruang transaksi) tiap bank yang hendak diawasi. Mereka memantau setiap gerak-gerik bank tersebut dalam bertransaksi valuta asing.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Dradjad H. Wibowo, menilai langkah tersebut sangat mustahak. Alasan utamanya, untuk mencegah ekspektasi pelaku pasar berkembang menjadi semakin liar. Sebab, setelah dicegat begitu rupa pun, rupiah tetap saja menembus Rp 9.000 per dolar pada awal pekan ketiga lalu. "Kalau dibiarkan, efek bola saljunya bisa tak terkendali," katanya.
Jika rupiah terus jeblok, perusahaan pemerintah dan bank besar domestik dipastikan akan ikut memborong dolar untuk mengamankan cadangan mereka. Akibatnya, dolar akan semakin langka, dan mendorong rupiah jatuh lebih dalam. "Begitu seterusnya, dan kita akan kembali ke masa krisis," ia menambahkan.
Meski bernada ancaman, surat bank sentral sebenarnya tidak memiliki implikasi legal apa pun, sejauh tak ada aturan main yang dilanggar bank-bank asing tersebut. Ketentuannya, antara lain, mengenai pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank. Di situ diatur, posisi devisa neto (net open position)?atau selisih antara aset dan kewajiban valas?tidak boleh lebih dari 20 persen modal bank.
Bank Indonesia juga membatasi transaksi derivatif dengan pihak non-resident maksimum US$ 3 juta (Rp 27 miliar). Jadi, walaupun bebas, aksi spekulasi tetap dibatasi. Maklum, perbankan sebagai lembaga intermediasi mengelola dana publik, sehingga sepak terjangnya dalam berspekulasi juga harus dipagari. Sejarah mencatat, ada beberapa bank yang kolaps akibat kebablasan berspekulasi valuta asing. "Di mana pun, kebebasan itu tetap memerlukan kontrol," kata Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution.
Di negeri ini, pengawasan sedikit lebih ketat diperlukan, mengingat begitu banyak modal menganggur di brankas perbankan. Duit hampir Rp 400 triliun yang tak tersalurkan menjadi kredit itulah yang dikhawatirkan bisa menggoda para pemiliknya berspekulasi dolar. "Itu bedanya kita dengan Korea, Thailand, dan Filipina, yang tekanannya lebih kecil," tutur Anwar, Jumat pekan lalu.
Sejauh ini, menurut Rusli, memang belum ada aturan yang dilanggar bank-bank asing tersebut. "Kami patuh dan selalu mengikuti peraturan setempat," kata Halim Mahfudz, Vice President Corporate Affairs Standard Chartered Bank. Beberapa perwakilan bank lain yang dihubungi TEMPO terkesan amat berhati-hati dan memilih bungkam dengan berbagai alasan. Tapi, menurut Rusli, mereka cukup kooperatif. "Volume transaksi mulai menurun."
"Gertakan" bank sentral ternyata mampu menjinakkan pergerakan rupiah terhadap dolar pada kisaran Rp 9.000 per dolar. Bahkan Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin yakin, dalam tiga bulan, rupiah bisa kembali ke posisi 8.700 per dolar. Dan cadangan devisa, yang sampai pekan kedua bulan ini mencapai US$ 36,65 miliar, memberikan kepercayaan diri yang cukup bagi bank sentral jika sewaktu-waktu harus melakukan intervensi.
Lagi pula, Anwar menjelaskan, dengan inflasi 5,5 persen dan suku bunga sertifikat Bank Indonesia 7,32 persen, bunga riil Indonesia sebenarnya masih jauh lebih atraktif daripada yang ditawarkan Singapura atau Amerika, yang bahkan hampir nol persen. "Mereka akan rugi kalau pilih dolar sekarang," katanya. Dengan kondisi itulah Anwar maupun Dradjad menganggap tekanan atas rupiah yang terjadi saat ini masih dalam batas aman.
Kalangan pengusaha pun tampaknya belum terlalu terganggu. Sebab, umumnya mereka memasang asumsi kurs Rp 8.500-9.500 per dolar, seperti patokan BI. "Sekarang ini masih beranilah kami berdagang," kata Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia, Djimanto.
Y. Tomi Aryanto
Bangkit Lebih Lambat
BANK Indonesia sebetulnya tak perlu minder dengan penurunan nilai tukar rupiah belakangan ini. Hal yang sama dialami hampir semua mata uang lain di dunia ketika berhadapan dengan dolar Amerika. Bedanya, ketika mata uang lain sudah mulai pulih, sampai Jumat pekan lalu rupiah masih teraniaya hingga Rp 9.049 per dolar. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir April, Rp 8.786 per dolar.
Maret tahun lalu rupiah pernah mencapai kisaran tersebut. Menjelang akhir pekan ketiga, rupiah sempat mencapai Rp 9.090 per dolar. Maklum, dunia sedang terguncang oleh invasi Amerika bersama sekutunya atas Irak. Kali ini alasan menguatnya dolar adalah ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Faktor lain adalah pengereman ekonomi di Cina yang dianggap terlalu "panas" karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 9 persen.
Miranda S. Goeltom, mantan deputi gubernur Bank Indonesia, memperkirakan rupiah tak akan melemah lebih jauh. Alasannya, kondisi pasar saat ini tidak akan menyebabkan rupiah jatuh lebih dalam. Rupiah terdepresiasi lebih dibanding yang lain karena faktor seperti pemilihan umum. Selebihnya, pengaruh sentimen pasar karena kenaikan suku bunga di Amerika.
TA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo