Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu, Senin 12 Januari 2004, beberapa petugas Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, tersenyum gembira. Mereka mendapat "tangkapan" besar. Syahdan, sebuah kapal masuk dari Hong Kong, membawa kontainer berisi dua unit mesin cetak. Menurut keterangan dalam dokumen impor, mesin itu barang baru. Namun, dari hasil pemeriksaan, petugas menemukan mesin itu barang bekas yang berasal dari Inggris.
Impor barang jenis itu tergolong terlarang, kecuali bila ada izin khusus sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 229/1997 dan No. 756/2003. Nah, sewaktu barang tiba, petugas tak mendapati izin khusus tersebut. Tak pelak, CV Sinar Baja Electric & Co., perusahaan yang mengimpor, dianggap melanggar aturan. Menurut prosedur, barang ditahan di gudang Bea-Cukai untuk sementara. Bila terbukti ada pelanggaran, barang bisa dilelang atau diekspor kembali, dan pemiliknya dikenai hukuman.
Tapi apa yang terjadi? Dua bulan kemudian, tepatnya 11 Maret 2004, Direktur Impor Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Aang Kanaan Adikusumah, menerbitkan surat yang membolehkan mesin cetak itu masuk. Syaratnya, mesin cetak hanya boleh berpindah tangan setelah digunakan Sinar Baja selama dua tahun. Dan barang harus dilengkapi sertifikat pemeriksaan dari surveyor yang menyatakan masih layak pakai.
Surat ini otomatis memutihkan status dua unit mesin cetak tersebut. Petugas Bea-Cukai Surabaya pun gigit jari, dan harus mengeluarkan barang dari gudang. Ketika dimintai konfirmasi mengenai hal ini, Aang mengatakan suratnya bukan berisi pemberian dispensasi, melainkan hanya persetujuan impor barang modal bukan baru. Pemberian persetujuan impor setelah barang datang merupakan hal yang lumrah. "Itu bukan pemutihan," katanya.
Sepanjang importir memenuhi persyaratan?seperti memiliki izin usaha industri atau izin usaha industri rekondisi, angka pengenal importir terbatas/umum/produsen, dan tanda daftar perusahaan?Departemen Perindustrian pasti mengeluarkan surat persetujuan impor. "Surat itulah yang mendasari aparat Bea-Cukai mengeluarkan barang modal bukan baru," ujarnya.
Kendati begitu, Aang mengakui mestinya importir mengurus surat persetujuan impor lebih dulu, sebelum barang datang. Sinar Baja sendiri terkesan tertutup dan pelit memberikan keterangan. Seorang petugas keamanan perusahaan yang memproduksi loudspeaker itu bahkan melarang TEMPO memasuki areal perusahaan yang berlokasi di kawasan Tandes, Surabaya itu. Ketika dihubungi melalui telepon, seorang staf bagian sumber daya manusia mengarahkan TEMPO menghubungi manajer bagian pemasaran bernama Esa, yang ternyata selalu tak berada di kantor.
Selain untuk mesin cetak, Aang juga pernah memberikan surat dispensasi kepada sebuah perusahaan untuk mengimpor barang bekas berupa kendaraan dan mesin berat. Namun surat yang diterbitkan pada 6 Januari 2004 itu hanya menyebut jenis dan jumlah unit barang. Tak ada keterangan tentang merek, tipe, dan spesifikasi barang. Ini jelas menyulitkan petugas yang melakukan pemeriksaan. Soalnya, jenis dan harga truk atau trailer berbeda-beda. Pemerintah akan dirugikan jika kendaraan yang masuk merek terkenal dan mahal, tapi bea masuk yang dibayar importir rendah.
Sumber TEMPO membisikkan, praktek semacam itu sering terjadi. Pejabat Departemen Perindustrian kerap memberikan dispensasi dan kemudahan yang tak konsisten dengan peraturan impor barang. TEMPO memperoleh setumpuk dokumen yang menunjukkan betapa mereka sangat gemar "mengobral" dispensasi yang bertabrakan dengan kebijakan resmi. Misalnya, dalam hal impor besi atau baja canai lantaian dan produk baja. Canai lantaian adalah besi atau baja lembaran yang dihasilkan dari proses canai (rolling) panas atau canai dingin.
Sesuai dengan Keputusan No. 711/2003, Menteri Perindustrian jelas melarang impor produk tersebut. Pengecualian hanya diberikan kepada importir produsen dan importir terdaftar. Itu pun mereka harus mendapat persetujuan impor yang memuat jumlah, jenis, dan waktu pengimporan, dan tetap harus melakukan verifikasi tanpa kecuali.
Kenyataannya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Sudar S.A., menerbitkan surat dispensasi kepada sejumlah importir agar barang mereka tak perlu diperiksa, atau periode impornya diperpanjang. Pada 26 Januari 2004, misalnya, Sudar menerbitkan surat dispensasi kepada PT Ancol Terang Metal Printing Industry. Pada 4 Februari 2004, kepada PT Sinarputra Pemuda.
Kepada Ucok Ritonga dari Tempo News Room, Manajer Hubungan Luar Ancol Terang, Ken Syarif, mengaku telah lupa perihal impor tersebut. Tapi ia membenarkan, perusahaannya yang bergerak di bidang pembuatan barang berbahan kaleng kerap mengimpor baja canai lantaian. "Kami tergolong importir produsen," katanya.
Keterangan yang mengejutkan datang dari PT Sinarputra Pemuda. Reni, staf administrasi perusahaan yang berlokasi di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, itu menyangkal perusahaannya pernah mengimpor baja. "Kami hanya perusahaan pembubutan. Kami tak punya kemampuan mengimpor baja canai lantaian," katanya.
Tak cuma mengandung keganjilan, pemberian dispensasi itu juga terkesan diskriminatif. "Mengapa Sudar tak memberikan dispensasi kepada semua perusahaan?" kata ekonom Mohammad Ikhsan. Ditemui di sela kesibukannya mengikuti perjalanan Presiden Megawati dalam acara panen raya tebu di Lumajang, Jawa Timur, dua pekan lalu, Sudar mengaku memberikan surat dispensasi impor besi-baja canai kepada beberapa perusahaan.
Namun ia beralasan hanya ingin "menyodok" agar barang tidak tertahan di pelabuhan. "Dispensasi diberikan karena produk tersebut sudah lama masuk di pelabuhan," ujarnya. Jadi, pemberian dispensasi semata-mata hanya untuk memperlancar impor barang. Sudar membantah menerima imbalan dari pemberian dispensasi itu. "Mengeluarkan surat itu tak susah, kok," katanya pendek (baca Saya Tidak Mungkin 100 Persen Benar).
Seperti halnya Sudar, Aang juga menampik penerbitan surat dispensasi terkait dengan imbalan dari pengusaha. Ia mengaku tidak menarik biaya sama sekali. Bahkan, jika segala persyaratan dipenuhi, surat semacam itu bisa keluar dalam waktu cepat: tiga jam. Mengenai kelancaran proses impor, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Eddy Abdurahman, menjelaskan bahwa pihaknya tidak mempunyai kebijakan untuk menahan atau melepas barang impor. "Kami bekerja menurut prosedur operasi standar," katanya.
Jika ada indikasi penyalahgunaan atau manipulasi impor, produk tersebut akan dibawa ke jalur merah. Artinya, harus dilakukan pemeriksaan fisik barang, yang harus dihadiri importir. "Kalau importir belum datang, kami tunggu. Jadi, kami tidak menahan barang impor berlama-lama," kata Eddy. Bea-Cukai, katanya, hanya merupakan pelaksana kebijakan pemerintah, dalam hal ini departemen teknis. Jadi, jika memang benar-benar diperlukan "sodokan", pejabat Departemen Perindustrian mestinya bisa merumuskan lebih transparan agar memudahkan importir dan tak membingungkan petugas Bea-Cukai di lapangan.
Nugroho Dewanto, M. Syakur Usman, Anastasya (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo