PEMASANG iklan digugat. Oleh siapa? Tak lain tak bukan oleh pemilik sebuah biro iklan terkemuka di Jakarta. Mengapa? Karena para pemasang iklan, sebagai pihak yang menjembatani antara produsen dan konsumen, telah bertindak tidak seiring dengan tata krama. Atau katakanlah, tidak begitu etis. Khusus mengenai ini, iklan rokok dan iklan minuman keras telah ramai diperbincangkan dalam Diskusi Bulanan Kelompok Studi Problematik Alkohol, pekan lalu. Adalah Ken T. Sudarto, Direktur Utama Matari Advertising, yang melontarkan soal iklan rokok dan minuman itu. Menurut dia, banyak iklan rokok atau minuman keras yang melanggar etika periklanan. Ken membandingkan dengan iklan rokok maupun minuman keras yang banyak bertebaran di media massa di Amerika. Sesuai dengan kode etik di negara itu, di samping produk yang diiklankan -- biasanya tidak ditonjolkan -- tak ditunjukkan orang yang menikmati produk tersebut. Nyata benar bedanya dengan iklan di Indonesia. Iklan rokok, misalnya, menggambarkan sepasang muda-mudi sedang menikmati rokok dengan sedotannya yang nampak asyik. "... filter, cocok untuk pacaran," bunyi iklan itu, tanpa sedikit pun basa-basi. Atau iklan rokok putih yang menampilkan seorang cowboy, lengkap dengan seekor kuda dan seutas laso. "Number one in USA, number one in the world," katanya. Juga iklan bir, dengan gambar pria muda ceria -- semacam eksekutif muda-lah. Slogannya tak kalah menarik dan mudah diingat. "Kawan di antara Kawan," misalnya. Bagaimanapun, sangat berbeda dengan iklan di Amerika atau di Australia. Di sana jangankan yang sedang dinikmati, iklan rokok atau minuman beralkohol yang ditenteng pun tidak diperbolehkan. Contohnya, iklan brandy E&J di majalah Life atau wiski merk White Label di majalah Discover, yang hanya menampakkan produknya. Hanya Marlboro, agak lain. Tampil di majalah Discover dengan dua cowboy sedang duduk, salah seorang di antaranya dengan sebatang rokok terselip di jarinya. Bedanya dengan iklan Marlboro di Indonesia ialah, di sudut iklan dua halaman berwarna itu disertakan peringatan, bahwa merokok bisa menimbulkan penyakit kanker, hati, dan penyakit-penyakit lainnya. Begitu pula pada kemasannya, hampir semua rokok menempelkan peringatan serupa. Di Indonesia, lagi-lagi, peringatan untuk hal yang bisa menjerumuskan itu tak ada. ahkan sebaliknya, ada rokok yang pada kemasannya, bertuliskan, "Rokok ini... dapat melonggarkan jalannya napas supaya dapat menyaringkan suara. Bila mengisap rokok lain mendapat batuk, mengisap rokok ini segera tahu faedahnya." Masya Allah. Tapi jangan lantas beranggapan bahwa iklan di Indonesia semuanya seperti itu. Beriklan dengan peringatan pernah pula dilakukan di Indonesia. Ken bercerita, ketika perusahaannya menerima order iklan dari Bir Bintang, ia menyarankan dicantumkan peringatan bahwa bir hanya diperuntukkan bagi orang dewasa. "Itu salah satu tanggung jawab moral kami pada konsumen, dan kebetulan perusahaan Bir Bintang menerima saran kami," kata Ken. Tapi tidak semua biro iklan bersikap seperti itu. Buktinya, sekarang tak ada lagi iklan bir (merk apa pun, yang menyertakan peringatan. Dan kekeliruan ini bukan semata-mata tanggung jawab biro iklan atau si pamasang iklan. "Yang tak kalah penting adalah media massanya sendiri," kata Ken. Contohnya, ketika mendapat pesanan dari perusahaan rokok BAT, Ken menyarankan dicantumkannya peringatan, sama seperti Bir Bintang. Tapi kliennya menolak. Maka, apa boleh buat, Matari "terpaksa" mengikuti kemauan BAT. Ada, memang, media yang tak mencaplok sembarang iklan yang masuk. Kompas, misalnya, sampai saat ini masih bertahan untuk tidak mengiklankan rokok dan minuman keras. Ketika sekali waktu Kompas memuat iklan rokok Marlboro satu halaman, kontan ada pembaca protes. Sementara itu, majalah wanita Femina selalu meneliti dulu gambar iklan yang memamerkan busana kaum hawa atau iklan obat pelangsing tubuh. "Kalau gambarnya merangsang, akan kami tolak," kata Anggraeni, Kepala Bagian Iklan Femina. Iklan bir dan rokok dianggapnya "tidak relevan dipasang di majalah wanita". Selain itu, ada juga media yang menghindarkan diri dari iklan-iklan yang berbau harapan dan iming-iming, misalnya tentang SDSB. Sebenarnya, sudah ada buku tentang tata cara beriklan yang diterbitkan Persatuan Pengusaha Periklanan Indonesia (P3I). Di situ disebutkan bagaimana cara mengiklankan rokok, minumam beralkohol, dan obat-obatan. Misalnya iklan tidak boleh bersifat merangsang orang, untuk segera menenggak minuman keras dan merokok. Tapi apalah artinya sebuah aturan kalau tanpa sanksi. Memang, ada P3I yang bisa bertindak sebagai "polisi". Sehingga kalau ada iklan yang melanggar tata krama, bisa langsung diperingatkan. "Tapi kalau tidak digubris, bagaimana?" tanya Ken Sudarto. Ketua P3I Bati Subakti membenarkan kemungkinan itu. "Memang, ada juga beberapa yang membangkang," ujarnya. Sepanjang tahun 1988, ada 10 surat teguran yang dikeluarkan P3I untuk perusahaan iklan. Yang paling baryak melanggar, kata Bati adalah iklan-iklan obat. Misalnya, ada iklan yang menampilkan tenaga profesional seperti dokter, yang jelas-jelas dilarang dalam aturan beriklan.Budi Kusumah dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini