KETEGANGAN mewarnai Musyawarah Nasional Pendidikan Syarikat Islam (SI) di Kaliurang, Yogyakarta, yang ditutup Minggu pekan silam. Khususnya ketika rapat di Komisi "A" (Pendidikan) yang diikuti 115 peserta itu, hingga dinihari. Pimpinan sidangnya kemudian diambil alih dari Ramly Nurhapy, lalu diserah kan pada Drs H. M.A. Gani,M.A., Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan DPP SI yang waktu itu terpaksa dibangunkan dari tidurnya. Anggota DPA ini berhasil merumuskan sebuah keputusan, walau agak benjol. Satu sisi disepakati: semua yayasan pendidikan yang memakai nama SI atau membawa nama tokohnya seperti H.O.S. Cokroaminoto dan Haji Agus Salim "harus" dilebur dalam SI. Sementara itu, Yayasan Pendidikan Islam Cokroaminoto (YPIC) di Solo cuma "diimbau" agar mengaitkan dirinya ke organisasi SI. Rumusan yang melahirkan perlakuan khusus terhadap yang di Solo itu ditempuh setelah melewati debat panjang. Terutama utusan dari luar Jawa, yang menginginkan terkaitnya semua sekolah yang bersimbolkan SI ke dalam organisasi SI. Tetapi kelompok Solo dan Jawa Tengah - sekitar 30 orang - menghendaki lain: secara organisatoris dan administratif tak perlu dilebur ke SI. Persoalannya memang bermuara pada masalah pengelolaan sekolah yang memakai nama atau simbol SI. Selama ini, dari 856 sekolah yang menamakan dirinya SI, baru sekitar 250 buah yang langsung di bawah Yayasan Badan Pendidikan dan Pengajaran Syarikat Islam (YBPPSI), satu-satunya yayasan yang mengibarkan bendera SI itu. Sisanya, walau sekolah itu dikelola 9 yayasan, pendirinya adalah pribadi-pribadi yang menjadi tokoh SI di daerah-daerah. Yang begini yang terbanyak di Banjarnegara (211) dan Solo (50). Keputusan tadi, menurut sumber TEMPO di DPP SI, akhirnya akan mengubah sekolah-sekolah itu dari milik pribadi menjadi milik organisasi. Tapi keputusan ini ada yang menganggap "menyabot" ladang rezeki anggota SI yang membuka "usaha sekolah" itu. Lalu muncul pro dan kontra. Misalnya Chairul Adnin. Kepala SD dan Wakil Ketua Yayasan Kesejahteraan Muslimin Indonesia (Yakmi), Lubukpakam, Sum-Ut, menyambut baik peleburan itu. Selama ini sekolah yang didirikan oleh para aktivis Pemuda Muslimin Indonesia (anak organisasi SI) itu seperti kerakap tumbuh di batu. "Kami bukan saja krisis dana dan mutu, juga kurang murid," kata Chairul kepada Mukhliardy Mukhtar dari TEMPO. "Karena sekolah ini dilahirkan oleh SI, otomatis kami akan kembali ke induk lagi." Juga Ruhani Abdul Hakim, pendiri YPIC Solo. Ia memiliki sekolah mulai dari TK hingga SMA. "Kami berniat akan bergabung ke YBPPSI," katanya. Lain dengan Idi Rochadi. Kepala SMA Cokroaminoto Bandung ini tidak keberatan sekolahnya diambil alih SI, asal organisasi SI lebih dulu bersatu dan tak timbul rebutan. Maklumlah, di Bandung konon kini ada SI kubu A. Margana dan kubu Ramlan. Karena itu, Idi sering bingung, ke SI yang mana harus berinduk. Sementara itu, pihak yayasan yang mengelola sekolah itu bahkan tak pernah kelihatan. "Nama dan alamat ketua yayasannya malah saya tidak tahu," tambah Idi kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Selama ini, kata M.A. Gani, kepemilikan tersebut menjadikan banyak sekolah berada di luar pengawasan SI. Terutama dalam hal penyelenggaraannya yang berkaitan dengan sarana, dana, tenaga, maupun kurikulum. Gani menilai bahwa pendidikan di sekolah-sekolah SI itu sudah tidak lagi mencerminkan cita-cita almarhum H.O.S. Cokroaminoto, yang menginginkan peribangan antara pendidikan umum dan agama. Polanya mungkin nanti mirip Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta dan Al-Abrar, Pejompongan. "Seluruh sistem pendidikannya harus dirombak," katanya. Dan untuk itu, ia optimistis, karena yang ikut dalam pertemuan di Kaliurang itu bersedia menyerahkan pengelolaan sekolahnya ke SI. "Mereka sudah di-bai'at," ujar Ketua Majelis Pendidikan dan Pengajaran SI (MPPSI) itu. Terhadap yang enggan, Gani juga memakluminya. Mereka khawatir bila SI kembali meniti ke jembatan politik. Ketika pimpinan SI (waktu itu sudah bernama PSII) di bawah Arudji Kartawinata, sekolah-sekolah tersebut sempat diperebutkan oleh para politisinya. Kubu Abikusno Tjokrosujoso, yang menentang Arudji misalnya, berusaha menguasai sejumlah sekolah SI yang ada di Solo dan Banjarnegara. Akhirnya pimpinan sekolah-sekolah dimaksud terpaksa melepaskan ikatannya dengan organisasi ini. Sejak didirikan 10 September 1912, SI lebih banyak bermain di arena politik. Berbeda dengan Muhammadiyah, yang mengutamakan bidang pendidikan sejak pagi-pagi didirikan. Sedangkan SI baru pada 1985. Setelah pertemuan puncak eksekutif (Majelis Tahkim) ke-34 membuang baju politiknya, lalu mengubah dirinya menjadi organisasi kemasyarakatan yang mandiri. SI juga bermaksud akan menyeragamkan bidang pendidikan. Maka, dibentuklah Majelis Pendidikan dan Pengajaran Syarikat Islam (MPPSI). Pedomannya, buku H.O.S Cokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim Syarikat Islam. Cuma, rapat kerja untuk maksud itu baru pertama kali dilaksanakan, yang berlangsung di Kaliurang itu. Cokroaminoto yang juga disebut Gatotkaca Syarikat Islam itu sudah mengemukakan pentingnya lembaga pendidikan di SI. Dalam Kongres Tahkim di Banjarnegara, 1934, pemikirannya itu lalu dikukuhkan dengan menetapkan arah, tujuan, dan modelnya. Sepeninggal Cokroaminoto, kemudian SI membentuk lembaga yang bernama Balai Pendidikan dan Pengajaran Cokroaminoto. Lembaga ini bertahan hingga pemilu pertama, 1955. Setelah itu nasibnya buram tidak menentu, gara-gara para pengelola pendidikan aktif bergelut di bidang politik. Untuk kurun sekarang ini, kata Gani, SI tidak ingin kehilangan tongkat kedua kalinya: berbuat yang sama seperti dulu. Makanya, ia juga tak setuju bila pengelola pendidikan aktif di politik. Dan karena SI bukan lagi sebuah partai, ia minta pada pengurus sekolah: pilih politik atau terus mengurus pendidikan. Lalu ia memberi sebuah contoh di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Di sana, puluhan sekolah SI dimiliki oleh orang SI, tapi mereka ada yang aktif di Golkar dan PPP.Agus Basri, Ahmadie Thaha, Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini