LUBANG Hukum Acara (KUHAP), yang masih memungkinkan seorang terdakwa in absentia (buron) untuk menempuh upaya hukum banding ataupun kasasi melalui pengacara, kini sudah tertutup. Mahkamah Agung belum lama ini mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang memerintahkan pengadilan bawahannya agar tak melayani pengacara yang menerima kuasa dari para buron. "Agar perkaranya tak berlarut-larut," kata Ketua MA, Ali Said, kepada wartawan selepas melantik Suwardi Martowirono sebagai Pelaksana Harian Ketua Mahkamah Militer Agung, Kamis pekan lalu. Ketentuan itu tentu saja cukup mengejutkan. Sebab, selama ini para terdakwa in absentia -- tak pernah hadir di persidangan, karena buron -- bisa menempuh upaya hukum, dengan memanfaatkan aturan dalam pasal 233 KUHAP. Pasal itu memang membolehkan permohonan banding dilakukan kuasa terdakwa. Bahkan menurut SEMA, 2 Desember 1982, terdakwa juga bisa mengajukan permohonan kasasi, melalui kuasanya. Berbekal aturan itulah seorang buron dalam perkara penyelundupan, Frans Limasnax, 38 tahun, melakukan terobosan hukum pertama kalinya. Semula ia divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 5 juta, karena terbukti menyelundupkan 2.120 kantung berisi kaset video, karpet, dan barang mewah lainnya -- merugikan negara sekitar Rp 48 juta. Melalui Pengacara Busono Sumardjo, Frans -- dari tempat persembunyiannya di Singapura -- naik banding atas putusan Pengadilan Negeri Ekonomi Jakarta Utara. Upaya Frans itu, September 1986, ternyata diterhna Pengadilan Tinggi Jakarta. Majelis hakim tinggi yang diketuai Nyonya Mursiah Bustaman berpendapat, sesuai dengan KUHAP, seorang terdakwa in absentia diperkenankan naik banding melalui pengacaranya. Di sidang banding, majelis malah membatalkan vonis pengadilan bawahan. Sebab, menurut hakim banding, cara jaksa memanggil terdakwa -- tanpa melalui iklan di surat kabar -- tidak benar. Karena itu, majelis hakim banding memerintahkan agar perkara itu diperiksa ulang. Putusan Mursiah itu belakangan dikukuhkan MA. Tapi sebelum perkara in absetia itu diajukan kembali oleh kejaksaan, Juli 1988, Frans tertangkap. Buron itu dibekuk petugas kejaksaan hanya di rumahnya, di Jalan Rajawali Selatan 10. Kini Frans diadili lagi di Pengadilan Jakarta Utara. "Jurus" Frans tadi selanjutnya ditiru oleh terhukum in absentia dalam kasus manipulasi sertifikat ekspor senilai Rp 2,4 milyar, Santoso Tjoa, 38 tahun. Pada April 1988, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghukum Tjoa 4 tahun penjara dan denda Rp 20 juta untuk tindak pidana ekonomi, dan penjara 6 tahun plus denda Rp 30 juta untuk tindak pidana korupsi. Pada pertengahan Mei 1988, melalui pos udara, Tjoa memberikan kuasa kepada W. Simon Haris dan J.M. Sutarman, dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Wijaya, Jakarta Barat, untuk naik banding. Tapi hingga kini, putusan pengadilan banding belum turun. Penyelundupan hukum para buron itu yang kini dipatahkan MA. Berdasarkan SEMA, 10 Desember lalu, itu tak akan ada lagi pengadilan yang akan melayani permohonan banding dan kasasi para buron melalui pengacaranya. "Kalau cara semacam itu dibiarkan, nanti bisa menjadi preseden buruk, dan proses peradilan jadi berlarut-larut," ujar Ketua Muda Pidana Umum MA, Adi Andojo Soetjipto. Menurut Adi Andojo, ketentuan pasal 233 KUHAP memang memungkinkan buron menggunakan pengacara. "Tapi pasal itu tak bisa diterapkan untuk perkara in absentia," katanya. Dan cara buron itu menempu upaya banding, katanya, menimbulkan kecurigaan. "Dia berstatus buron, tapi bisa berhubungan dengan pengacaranya, 'kan aneh," kata Adi Andojo. Si Pengacara, tambahnya, juga mencurigakan kalau mengaku hanya memperoleh kuasa melalui pos dan tak tahu di mana kliennya berada. Wakil Sekjen Ikadin, Djohan Djauhari, mendukung "larangan" dari MA itu. "Untuk menangani suatu perkara, pengacara kan harus berkomunikasi secara intensif dengan klien. Kalau terdakwanya bersembunyi, bagaimana si pengacara tahu persis duduk perkara itu," kata Djohan Djauhari. Tentu saja pengacara juga tak akan merundingkan soal honorariumnya dengan kliennya hanya melalui pos udara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini