INDONESIA semakin menyejajarkan diri dengan negara-negara yang menghormati hak-hak milik intelektual (Intellectual Property Rights). Setelah memperbarui undang-undang hak cipta pada 1987, pekan lalu pemerintah menyampaikan lagi sebuah Rancangan Undang-Undang di bidang itu, yang paling esensial, yaitu RUU Paten. Diharapkan undang-undang itu sudah bisa disahkan DPR pada Juni mendatang dan diberlakukan pada 2 Januari 1991. RUU Paten -- terdiri dari 15 bab dan 131 pasal -- konon telah lebih dari 30 tahun dijanjikan pemerintah. Ternyata penyusunannya bukanlah pekerjaan gampang. Selain undang-undang semacam itu belum pernah dibikin Belanda ketika menjajah Indonesia -- berbeda dengan undang-undang hak cipta -- persoalan yang diaturnya juga sangat rumit. Selain itu persoalan paten semakin berkembang, baik di Indonesia -- dengan derasnya teknologi asing masuk ke sini maupun di dunia internasional. Tentu saja undang-undang itu -- selain diharapkan bisa melancarkan arus alih teknologi -- melindungi hak paten pemiliknya, tapi tak merugikan kepentingan masyarakat. Terakhir, yang tak kalah pentingnya, selama ini bangsa kita memang kekurangan tenaga ahli yang paham soal-soal pengaturan intellectual property rights -- bahkan tak ada mata kuliah tentang itu di fakultas-fakultas hukum negeri ini. Menteri Sekretaris Negara Moerdiono sendiri mengaku masih awam ketika diangkat Presiden menjadi Ketua Tim Keppres No. 34 tahwn 1986, yang bertugas membenahi segala permasalahan hak milik intelektual (intellectual property right). "Terus terang, sewaktu saya ditugasi Presiden untuk meneliti dan membenahi masalah intellectual property, saya juga mikir: wah, barang baru apa itu," ujar Moerdiono. Untunglah, Moerdiono, 55 tahun, yang waktu itu masih menjabat Menseskab, termasuk orang yang tak kenal istilah "tak bisa". "Saya percaya pasti bisa," sambung lulusan LAN, tahun 1967, yang gemar tenis itu. Setelah itu ia tak hanya sekadar belajar. Dari dapurnyalah RUU hak cipta lahir dan kini hak paten. Jumat pekan lalu, Pak Moer -- begitu ia biasa dipanggil -- didampingi "tangan kanannya" di bidang itu, Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Menseskab Bambang Kesowo -- lulusan Harvard Law School, yang juga Sekretaris Tim, menerima wartawan TEMPO, Sidartha Pratidina dan Happy Sulityadi, di ruang kerjanya. Berikut ini petikan wawancaranya: Sebentar lagi akan ada sebuah Undang-Undang Paten, dapatkah Bapak menjelaskan dasar pemikirannya? Untuk menuju ke arah masyarakat industri, kita memerlukan alih teknologi dan kelancaran arus modal asing. Semua itu tak mungkin tercapai jikalau di sini tak ada perlindungan hukum di bidang paten. Kita bisa memahami keinginan penanam modal agar teknologinya dilindungi. Sebab, untuk memperoleh suatu penemuan baru di bidang industri, mereka telah mengeluarkan pikiran, tenaga, biaya, dan waktu yang luar biasa besarnya. Untuk penemuan obat-obatan tropis, misalnya, dibutuhkan dana sekitar US$ 100 juta. Buat kita, menghimpun dana sebesar itu -- untuk penemuan yang sama mungkin bisa makan waktu 40 tahun. Selain itu perlindungan paten juga dibutuhkan untuk merangsang setiap arang, termasuk para ilmuwan, agar menghasilkan penemuan baru. Jadi, memang sudah tiba saatnya kita memiliki Undang-undang Paten. Jika ditunda, akan terlambat lagi, nonsens mencapai masyarakat industri. Mengapa baru sekarang RUU Paten lahir? Usaha penyusunan Undang-Undang Paten sudah dimulai sejak 1960-an, setelah janji pendaftaran paten muncul pada 1953. Puncaknya, 1970-an, dengan diselengggarakannya simposium paten oleh Departemen Kehakiman di LPHN -- kini BPHN. Pada 1982, secara resmi Menteri Kehakiman mengajukan RUU Paten pertama kepada Presiden. RUU ini masih disempurnakan lagi hingga 1986. Untuk itu, kita juga berkonsultasi secara intensip dengan berbagai kalangan, seperti asosiasi di bidang industri, Kadin, Persahi. Selain itu, juga diadakan studi perbandingan melalui seminar dengan WIPO (World Intelleaual Property Organization) dan mengundang para ahli paten dari Amerika Serikat, Kanada, Korea Selatan, dan Muangthai. Hasilnya kini, RUU Paten yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan jangka panjang. Apakah kehadiran undang-undang tersebut memang satu-satunya paspor menuiu negara industri? Paten hanya salah satu sarana untuk masuk ke dalam era industri. Sarana lainnya juga diperlukan, seperti iklim investasi, skala modal para pengusaha, kehidupan industri, dan tingkat penguasaan dan kemampuan di bidang teknologi. Seperti isu sewaktu Undang-Undang Hak Cipta diubah, benarkah penyusunan RUU Paten ini atas desakan pihak asing, Amerika Serikat, misalnya? Tidak betul itu. Siapa pun tidak bisa menekan Republik ini. RUU Paten disusun berdasarkan kebutuhan. Lagi pula, penyusunannya sudah berlangsung sejak 1985, jauh sebelum isu itu muncul. Tidakkah Undang-Undang Paten itu malah akan membuat tingginya harga (royalti) alih teknologi asing? Soal yang satu ini memang termasuk masalah paling rumit. Selama ini lisensi teknologi asing diserahkan pada praktek masyarakat, sehingga tak ada data konkretnya. Pada 1970-an, teknologi di bidang tekstil pernah diatur pemerintah agar royaltinya tidak boleh melebihi 2% dari hasil kotor. Tapi lama-kelamaan teknologi di bidang itu tetap saja, bahkan cenderung kedaluwarsa (obsolete), sehingga royaltinya turun. Tapi kalau akibat undang-undang itu harga royalti akan naik, mungkin saja. Karena kita akan menikmati manfaat eknomi dari penemuan orang lain. Hanya saja di bidang farmasi, belum ada alasan kuat untuk mengatakan harga akan naik. Sebab, 98% dari bahan baku obat-obatan yang dibeli pemerintah, ternyata teknologinya sudah kedaluwarsa. Tingginya harga obat bukan disebabkan royalti, tapi karena faktor kemasan, promosi, dan sistem distribusi. Apa saja materi penting dalam RUU tersebut? Dalam RUU, paten hanya diberikan bagi penemuan baru yang mengandung langkah-langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Contohnya, konstruksi Sosrobahu untuk jalan tol Cawang-Tanjungpriok karya Tjokorda Raka Sukawati. Paten dianggap sebagai hak milik perorangan yang bersifat eksklusif dan diberikan untuk waktu 15 tahun. Paten untuk penemun asing dan dalam negeri tak di bedakan. Sebab, teknologi itu 'kan netral. Adakah pembantasan-pembatasan? Ada. Untuk penemuan proses atau hasi produksi makanan dan minuman tidak diberikan paten, karena menyangkut kepentingan masyarakat. Begitu juga penemuan varietas baru tanaman dan hewan. Sebab, semakin banyak penemuan itu bisa diterapkan masyarakat banyak, 'kan semakin baik. Apakah sanksi untuk pelanggaran paten? Penyalahgunaan paten yang dilindung dianggap sebagai tindak kejahatan dan diancam hukuman maksimum 5 tahun penjara. Selain itu, si pemilik paten juga masih bisa menuntut ganti rugi secara perdata. Ada pendapat yang mengatakan, berdasarkan pengalaman negara lain, ternyata paten itu lebih banyak disalahgunakan si pemiliknya sendiri. Sejauh mana perangkat pengawasannya diatur? Dalam RUU ditegaskan, paten harus dilaksanakan dan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Jika tidak, bisa dialihkan lewat lisensi wajib. Impor hasil produksi juga dianggap bukan pelaksanaan paten. Selain itu, kontrak lisensi tidak boleh memuat persyaratan ataupun ketentuan yang merugikan perekonomian nasional dan menghambat pengembangan dan penguasaan teknologinya (restrictive business practices). Selain itu, kontrak lisensi juga harus didaftarkan di Kantor Paten. Sejak Pengumuman Menteri Kehakiman pada tahun 1953, berapa jumlah paten yang sudah didaftarkan? Bagaimana kelanjutan nasib pendaftaran paten itu? Hingga kini di Kantor Paten ada sekitar 13.046 permohonan paten -- 12.540 paten luar negeri dan 496 paten dalam negeri. Permohonan itu akan diperhatikan bila undang-undang itu sudah disahkan. Akibatnya, dokumen paten yang berisi segala informasi teknologi akan dibuka untuk umum dan akan menjadi sumber informasi teknologi. Dari situ diharapkan, mereka yang berminat bisa mempelajari dan mengembangkannya menjadi penemuan baru. Untuk lancarnya proses alih teknologi, akankah Undang-undang Alih Teknologi (UU AT) juga dibuat? Memang banyak suara yang menganggap perlu juga adanya UU AT. Ide itu bagus. Tapi persoalannya tak semudah itu. Tidak semua teknologi dipatenkan, masih ada yang disimpan sendiri oleh si penemu sebagai teknologi "know-how". Selain itu, pengertian teknologi masih rancu -- ada yang menganggap kiat dagang dan metode pendidikan sebagai teknologi. Juga kita belum tahu persis hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan penanaman modal asing. Belum lagi faktor kemampuan pengaplikasian teknologi dan pengetahuan kita tentang teknologi itu sendiri masih kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini