Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra telah mengantongi surat keterangan tidak pernah terpidana dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau PN Jaksel. Dalam surat itu, tertulis Yusril memohon surat keterangan sebagai syarat mendaftar menjadi calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Humas PN Jaksel, Djuyamto, mengonfirmasi pihaknya telah mengeluarkan sejumlah surat keterangan tidak pernah terpidana. Surat tersebut terdiri atas nama Yusril Ihza Mahendra, Erick Thohir, dan A. Muhaimin Iskandar. Djuyamto juga mengatakan PN Jaksel mengeluarkan surat itu sebagaimana permohonan para pemohon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Keperluannya di sana di dalam permohonan disebutkan untuk keperluan persyaratan pendaftaran Pilpres,” kata Djuyamto, Rabu, 18 Oktober 2023.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor mengungkapkan bahwa partainya mengajukan dua nama sebagai pendamping Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Nama tersebut adalah putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi sekaligus Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra.
Meski begitu, sejauh ini sejumlah nama telah mencuat sebagai kandidat cawapres Prabowo. Mereka adalah Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Yusril Ihza Mahendra adalah seorang akademisi, advokat, dan politikus asal Belitung Timur, Bangka Belitung. Selain menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril juga pernah menduduki sejumlah posisi strategis di pemerintahan sebagai menteri.
Yusril pun pernah menjadi Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Indonesia pada 1999-2001. Dia juga mantan Menteri Hukum dan HAM pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri periode 2001-2004. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara periode jabatan 2004-2007 sebelum digantikan oleh Hatta Rajasa.
Setelah tak lagi jadi menteri, Yusril kembali ke profesi awalnya sebagai seorang advokat. Dia bahkan telah beberapa kali menangani kasus-kasus besar, mulai dari kasus korupsi Emir Moeis hingga Sengketa Pilpres 2019 lalu. Lantas, apa saja kasus-kasus besar yang pernah ditangani Yusril Ihza Mahendra? Simak beberapa di antaranya berikut ini.
Sengketa Pilpres 2019
Yusril Ihza Mahendra menjadi Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi – Ma’ruf Amin dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2019 lalu. Kala itu, Kubu Prabowo - Sandiaga mengajukan gugatan terkait sengketa Pilpres karena menuding kubu Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin melakukan kecurangan yang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Badan Nasional Pemenangan Prabowo pun mendaftarkan gugatan pada medio Mei 2019.
Hasilnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh gugatan kubu Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Mahkamah menilai dalil tim Prabowo - Sandiaga terkait kecurangan Pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif tak terbukti dan tak beralasan secara hukum. Putusan pun dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang digelar pada Kamis, 27 Juni 2019.
“Menolak seluruh permohonan pemohon,” kata Ketua Hakim MK Anwar Usman.
Selanjutnya: Kasus soal wakil menteri...
Kasus Soal Wakil Menteri
Yusril Ihza Mahendra pernah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait terbitnya Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2012 serta Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012. Dia menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta staf hukumnya tidak paham Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Menurut Yusril, perpres yang dikeluarkan justru memperluas tugas wakil menteri sehingga bertentangan dengan Pasal 10.
"Pasal 10 UU Kementerian Negara mengatakan keberadaan wamen hanya untuk beban kerja khusus. Namun, dalam Perpres 60/2012, dikatakan wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian . Ini membuat tugas wamen menjadi luas," ujar Yusril dalam siaran persnya, Senin, 11 Juni 2012.
Hasilnya, MK mengabulkan sebagian dari tuntutan terkait UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terkait status Wakil Menteri. Putusan yang dibacakan pada 5 Juni 2012 tersebut memaksa Presiden SBY mengubah dan memperbarui Perpres dan Keppres yang sebelumnya ditekan.
Korupsi Pengadaan Al-Quran Zulkarnaen Djabar
Salah satu kasus besar yang pernah ditangani Yusril adalah kasus korupsi yang menjerat politisi Zulkarnaen Djabar. Politikus dari Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut menjadi tersangka korupsi pengadaan Al-Quran dan laboratorium komputer di Kementerian Agama tahun anggaran 2010 hingga 2012.
Zulkarnaen dikenakan pasal alternatif. Yakni Pasal 12 huruf a atau b subsider Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b subsider Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab UU Hukum Pidana.
Kasus Agusrin M. Najamuddin
Agusrin M. Najamuddin adalah terpidana kasus korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dia menggandeng Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum dalam gugatan putusan sela di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah memvonis Agusrin bersalah melalui putusan kasasi dalam perkara korupsi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 20 miliar. Dia kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) karena mengklaim ada kekeliruan dan kekhilafan fatal hakim kasasi MA dalam menghukum dirinya.
Di tengah proses PK, Agusrin juga mengajukan gugatan atas Keppres Nomor 40/P Tahun 2012 dan Keppres Nomor 48/P Tahun 2012. Keppres tersebut berisi instruksi memberhentikan politikus Partai Demokrat dari jabatannya dan mengesahkan pengangkatan Junaidi sebagai gubernur definitif.
Kasus Siti Fadilah Supari
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara kasus alat kesehatan yang menjeratnya. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini menunjuk mantan Menteri Hukum dan HAM itu sebagai ketua tim pengacara.
“Saya sudah meminta Pak Yusril untuk membela saya dalam menghadapi persoalan hukum yang dituduhkan kepada saya," kata Siti Fadilah dalam pernyataan tertulisnya kepada Tempo, Kamis 19 April 2012.
Sebagai kuasa hukumnya, Yusril pun mengungkapkan kliennya tidak bisa dipidanakan. Alasannya, pengadaan alat kesehatan yang ditandatangani Siti pada 2005 itu sudah sesuai dengan peraturan presiden tentang penunjukan langsung.
Sebelumnya, Markas Besar Kepolisian RI menyatakan Siti Fadilah sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan alat kesehatan untuk kejadian luar biasa pada tahun 2005. Modusnya, menurut polisi, Siti merekomendasikan penunjukan langsung pelaksana proyek yang diduga menggelembungkan nilai proyek.
RADEN PUTRI | HAN REVANDA PUTRA | FIKRI ARIGI | ISTMAN MP | ISMA SAVITRI
Pilihan Editor: Yusril Ihza Kritik Tiga Kartu Jokowi