Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dengan pertumbuhan 5% setahun

Dengan angka pertumbuhan ekonomi 5% atau kurang dalam setahun, tidak akan berhasil menyelesaikan masalah sosial yang besar. seperti halnya mendatangkan kesempatan kerja, dipadukan dengan pertumbuhan ekonomi.

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK orang rupanya terpukau kepada angka resmi perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk Repelita IV, seperti yang diungkapkan oleh Pidato Kenegaraan 16 Agustus yang lalu. Apakah artinya angka 5% rata-rata setahun untuk kurun waktu 1984-1989? Apakah angka demikian merupakan angka rendah, angka yang cukup tinggi, atau angka yang "memadai"? Biasanya angka pertumbuhan ekonomi selama Repelita I, II dan III lebih tinggi. Angka sasaran Repelita III adalah 6,5%. Mula-mula angka itu mudah di lampaui dalam pelaksanaannya selama tiga tahun pertama Repelita III. Akan tetapi, angka pertumbuhan ekonomi tahun 1982 dan 1983 rendah sekali, di bawah 2,5% setahun, sehingga sangat mungkin angka rata-rata sasaran 6,5% setahun itu tidak akan tercapai. Walaupun Repelita I, II dan III mempunyai angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi (kecuali 1982 dan 1983), dirasakan bahwa hasilnya belum cukup menjamin tercapainya sasaran pemerataan, terutama perluasan kesempatan kerja. Maka pertanyaan yang mengganggu adalah: apakah dengan angka pertumbuhan yang lebih rendah, sasaran-sasaran pemerataan itu masih, atau lebih banyak, dapat dicapai? Kedengarannya agak janggal. Pidato Presiden pada 16 Agustus menyebut pentingnya perluasan kesempatan kerja dalam Repelita IV. Juga disebut suatu mekanisme operasional yang harus membantu. Di tahun-tahun mendatang akan dikembangkan dan disempurnakan informasi ketenagakerjaan serta pendidikan keterampilan. Soalnya, acap kali terjadi bukan lapangan kerja yang tidak ada, melainkan karena ketidaktahuan di mana lapangan kerja itu terbuka dan keterampilan apa yang diperlukan. Walaupun sasaran perluasan kesempatan kerja sudah ditegaskan, kaitan antara prospek pertumbuhan ekonomi (hanya) 5% dan bagaimana sasaran peningkatan kesempatan kerja dicapai, tidak begitu jelas. Mungkin perincian operasional kurang pada tempatnya pada suatu Pidato Kenegaraan 16 Agustus, karena pidato demikian ebih banyak merupakan pidato politik, yang hanya dapat memuat garis-garis besar, kebanyakan secara normatif. Menjadi tugas kabinet untuk menerjemahkannya dalam garis-garis operasional, menerjemahkan "das Sollen" (harus) menjadi das Sein (bisa). Maka pertanyaan yang perlu dijawab secara lebih operasional strategis adalah, bagaimana pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dapat dipadukan dengan peningkatan kesempatan kerja. Untuk pertama kali (oleh Bank Dunia) diintroduksikan konsep (keperluan) pertumbuhan GDP sektor nonminyak, yakni 6% setahun paling sedikit. Kita tahu bahwa sektor minyak secara langsung tidak banyak mendatangkan kesempatan kerja, karena sektornya sangat padat modal. Maka kesempatan kerja yang terbesar harus diciptakan di sektor-sektor di luar migas, misalnya pertanian, industri, dan jasa-jasa. Sebaliknya, kita jangan remehkan sumbangan tidak langsung penerimaan sektor migas terhadap penciptaan bidang-bidang pekerjaan. Penerimaan dari sektor migas memungkinkan pemerintah, lewat anggaran belanjanya, untuk banyak memperluas lowongan-lowongan baru. Maka kalau anggaran belanja pemerintah tidak banyak meningkat lagi, karena resesi di pasar minyak bumi, maka pengaruhnya kepada kesempatan kerja juga cukup penting. Kesempatan kerja diciptakan oleh investasi, dalam proyek atau kegiatan baru, termasuk perluasan. Maka kaitan pertama antara angka pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja adalah jumlah dan pola investasi. Ukuran teknis adalah "capital labor rasio" dan "capital output rasio (perbandingan antara jumlah modal yang ditanam dengan tambahan produksi dan kesempatan kerja). Secara keseluruhan rasio-rasio ini harus turun dari yang sudah-sudah, dan harus lebih kecil. Investasi harus lebih banyak ditujukan kepada obyek-obyek yang lebih padat karya, yang sekala proyeknya lebih kecil, dan yang lebih tersebar. Pada umumnya investasi oleh swasta lebih memenuhi syarat ini daripada penanaman modal (atau proyek) pemerintah. Capital-output dan capital-labor rasio ini juga berbeda antara sektor ekonomi, dan antara sub-sektornya. Sektor pertanian dan jasa-jasa biasanya mempunyai capital-output rasio dan capital-labor rasio yang lebih kecil daripada sektor industri (besar), sektor pembangunan infrastruktur (besar), dan sebagainya. Sub-sektor industri kecil dan menengah mempunyai rasio-rasio yang lebih rendah daripada industri besar yang hulu. Maka paket penanaman modal Repelita IV harus mengutamakan sektor-sektor pertanian (rakyat), sektor industri kecil dan menengah, sektor jasa-jasa, dan sektor swasta -- (tanpa mengesampingkan penanaman modal pemerintah dalam batas-batas tertentu. Bagaimana pemerintah mengusahakan penanaman modal swasta ini? Denan rangsangan (insentif) dan dengan menyusun dan memelihara "iklim usaha" yang memadai. Keperluan "iklim" ini juga sudah disebut dalam Pidato Kenegaraan, yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi pemerintah pelaksana dalam kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Misalnya, sistem perizinan tidak boleh mempersulit berdirinya usaha baru. Maka secara normatif sudah disebut keperluan-keperluan policiesnya. Apakah ada jaminan bahwa dengan pertumbuhan 5% setahun, dengan policies yang memadai, sasaran kesempatan kerja dapat lebih dipenuhi daripada di Repelita III (dengan angka pertumbuhan yang lebih tinggi)? Di sinilah letak ketidakpastian. Negara-negara di Asia Selatan (India, Pakistan, Sri Lanka, dan sebagainya) adalah negara-negara berkembang yang dalam dasawarsa yang silam pertumbuhan ekonominya tidak melebihi 5% setahun rata-rata. Apakah mereka berhasil memecahkan masalah kesempatan kerjanya? Kami tidak yakin. Mungkin RRC lebih berhasil, tetapi kita juga tidak dapat, dan tidak mau, meniru sistem sosial-politiknya. Maka dilemma pembangunan kebanyakan negara berkembang adalah: dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi (sekitar 7% setahun) kebanyakan mereka juga belum mampu untuk menyelesaikan masalah kesempatan kerjanya. Dengan angka pertumbuhan yang lebih rendah, 5% setahun atau kurang, kebanyakan negara berkembang juga tidak berhasil menyelesaikan masalah-masalah sosialnya yang besar. Sebaliknya, dari pengalaman negara-negara tetangga ASEAN kita dapat mengamat-amati bahwa negara berkembang yang sudah mencapai tingkat middle income, seperti Malaysia dan Muangthai, tidak lagi bergulat dengan masalah pengangguran atau setengah pengangguran yang massal. Indonesia sudah tergolong loq-middle-income, dan ada harapan bahwa satu dasawarsa lagi kita dapat mencapai tingkat Muangthai dan Filipina sekarang. Perbedaan antara negara miskin dan negara pendapatan menengah yang menyolok adalah produktivitas rata-rata tenaga kerjanya, yang erat hubungannya dengan tingkat pendidikan rata-rata penduduknya. Maka suatu strategi pembangunan yang ingin mencapai peningkatan produktivitas dan kesempatan kerja adalah untuk mencerdaskan rakyatnya. Ini adalah strategi "human resources development" yang di Indonesia masih banyak dapat ditingkatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus