BANYAK orang rupanya terpukau kepada angka resmi perkiraan
pertumbuhan ekonomi untuk Repelita IV, seperti yang diungkapkan
oleh Pidato Kenegaraan 16 Agustus yang lalu. Apakah artinya
angka 5% rata-rata setahun untuk kurun waktu 1984-1989? Apakah
angka demikian merupakan angka rendah, angka yang cukup tinggi,
atau angka yang "memadai"?
Biasanya angka pertumbuhan ekonomi selama Repelita I, II dan III
lebih tinggi. Angka sasaran Repelita III adalah 6,5%. Mula-mula
angka itu mudah di lampaui dalam pelaksanaannya selama tiga
tahun pertama Repelita III. Akan tetapi, angka pertumbuhan
ekonomi tahun 1982 dan 1983 rendah sekali, di bawah 2,5%
setahun, sehingga sangat mungkin angka rata-rata sasaran 6,5%
setahun itu tidak akan tercapai.
Walaupun Repelita I, II dan III mempunyai angka pertumbuhan
ekonomi yang tinggi (kecuali 1982 dan 1983), dirasakan bahwa
hasilnya belum cukup menjamin tercapainya sasaran pemerataan,
terutama perluasan kesempatan kerja. Maka pertanyaan yang
mengganggu adalah: apakah dengan angka pertumbuhan yang lebih
rendah, sasaran-sasaran pemerataan itu masih, atau lebih banyak,
dapat dicapai? Kedengarannya agak janggal.
Pidato Presiden pada 16 Agustus menyebut pentingnya perluasan
kesempatan kerja dalam Repelita IV. Juga disebut suatu mekanisme
operasional yang harus membantu. Di tahun-tahun mendatang akan
dikembangkan dan disempurnakan informasi ketenagakerjaan serta
pendidikan keterampilan. Soalnya, acap kali terjadi bukan
lapangan kerja yang tidak ada, melainkan karena ketidaktahuan di
mana lapangan kerja itu terbuka dan keterampilan apa yang
diperlukan.
Walaupun sasaran perluasan kesempatan kerja sudah ditegaskan,
kaitan antara prospek pertumbuhan ekonomi (hanya) 5% dan
bagaimana sasaran peningkatan kesempatan kerja dicapai, tidak
begitu jelas. Mungkin perincian operasional kurang pada
tempatnya pada suatu Pidato Kenegaraan 16 Agustus, karena pidato
demikian ebih banyak merupakan pidato politik, yang hanya dapat
memuat garis-garis besar, kebanyakan secara normatif. Menjadi
tugas kabinet untuk menerjemahkannya dalam garis-garis
operasional, menerjemahkan "das Sollen" (harus) menjadi das
Sein (bisa).
Maka pertanyaan yang perlu dijawab secara lebih operasional
strategis adalah, bagaimana pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah dapat dipadukan dengan peningkatan kesempatan kerja.
Untuk pertama kali (oleh Bank Dunia) diintroduksikan konsep
(keperluan) pertumbuhan GDP sektor nonminyak, yakni 6% setahun
paling sedikit.
Kita tahu bahwa sektor minyak secara langsung tidak banyak
mendatangkan kesempatan kerja, karena sektornya sangat padat
modal. Maka kesempatan kerja yang terbesar harus diciptakan di
sektor-sektor di luar migas, misalnya pertanian, industri, dan
jasa-jasa.
Sebaliknya, kita jangan remehkan sumbangan tidak langsung
penerimaan sektor migas terhadap penciptaan bidang-bidang
pekerjaan. Penerimaan dari sektor migas memungkinkan pemerintah,
lewat anggaran belanjanya, untuk banyak memperluas
lowongan-lowongan baru. Maka kalau anggaran belanja pemerintah
tidak banyak meningkat lagi, karena resesi di pasar minyak bumi,
maka pengaruhnya kepada kesempatan kerja juga cukup penting.
Kesempatan kerja diciptakan oleh investasi, dalam proyek atau
kegiatan baru, termasuk perluasan. Maka kaitan pertama antara
angka pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja adalah
jumlah dan pola investasi. Ukuran teknis adalah "capital labor
rasio" dan "capital output rasio (perbandingan antara jumlah
modal yang ditanam dengan tambahan produksi dan kesempatan
kerja).
Secara keseluruhan rasio-rasio ini harus turun dari yang
sudah-sudah, dan harus lebih kecil. Investasi harus lebih banyak
ditujukan kepada obyek-obyek yang lebih padat karya, yang sekala
proyeknya lebih kecil, dan yang lebih tersebar. Pada umumnya
investasi oleh swasta lebih memenuhi syarat ini daripada
penanaman modal (atau proyek) pemerintah.
Capital-output dan capital-labor rasio ini juga berbeda antara
sektor ekonomi, dan antara sub-sektornya. Sektor pertanian dan
jasa-jasa biasanya mempunyai capital-output rasio dan
capital-labor rasio yang lebih kecil daripada sektor industri
(besar), sektor pembangunan infrastruktur (besar), dan
sebagainya.
Sub-sektor industri kecil dan menengah mempunyai rasio-rasio
yang lebih rendah daripada industri besar yang hulu. Maka paket
penanaman modal Repelita IV harus mengutamakan sektor-sektor
pertanian (rakyat), sektor industri kecil dan menengah, sektor
jasa-jasa, dan sektor swasta -- (tanpa mengesampingkan penanaman
modal pemerintah dalam batas-batas tertentu.
Bagaimana pemerintah mengusahakan penanaman modal swasta ini?
Denan rangsangan (insentif) dan dengan menyusun dan memelihara
"iklim usaha" yang memadai. Keperluan "iklim" ini juga sudah
disebut dalam Pidato Kenegaraan, yang dapat dipakai sebagai
pedoman bagi pemerintah pelaksana dalam
kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Misalnya, sistem perizinan tidak
boleh mempersulit berdirinya usaha baru.
Maka secara normatif sudah disebut keperluan-keperluan
policiesnya. Apakah ada jaminan bahwa dengan pertumbuhan 5%
setahun, dengan policies yang memadai, sasaran kesempatan kerja
dapat lebih dipenuhi daripada di Repelita III (dengan angka
pertumbuhan yang lebih tinggi)?
Di sinilah letak ketidakpastian. Negara-negara di Asia Selatan
(India, Pakistan, Sri Lanka, dan sebagainya) adalah
negara-negara berkembang yang dalam dasawarsa yang silam
pertumbuhan ekonominya tidak melebihi 5% setahun rata-rata.
Apakah mereka berhasil memecahkan masalah kesempatan kerjanya?
Kami tidak yakin. Mungkin RRC lebih berhasil, tetapi kita juga
tidak dapat, dan tidak mau, meniru sistem sosial-politiknya.
Maka dilemma pembangunan kebanyakan negara berkembang adalah:
dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi (sekitar 7% setahun)
kebanyakan mereka juga belum mampu untuk menyelesaikan masalah
kesempatan kerjanya. Dengan angka pertumbuhan yang lebih rendah,
5% setahun atau kurang, kebanyakan negara berkembang juga tidak
berhasil menyelesaikan masalah-masalah sosialnya yang besar.
Sebaliknya, dari pengalaman negara-negara tetangga ASEAN kita
dapat mengamat-amati bahwa negara berkembang yang sudah mencapai
tingkat middle income, seperti Malaysia dan Muangthai, tidak
lagi bergulat dengan masalah pengangguran atau setengah
pengangguran yang massal. Indonesia sudah tergolong
loq-middle-income, dan ada harapan bahwa satu dasawarsa lagi
kita dapat mencapai tingkat Muangthai dan Filipina sekarang.
Perbedaan antara negara miskin dan negara pendapatan menengah
yang menyolok adalah produktivitas rata-rata tenaga kerjanya,
yang erat hubungannya dengan tingkat pendidikan rata-rata
penduduknya. Maka suatu strategi pembangunan yang ingin mencapai
peningkatan produktivitas dan kesempatan kerja adalah untuk
mencerdaskan rakyatnya. Ini adalah strategi "human resources
development" yang di Indonesia masih banyak dapat ditingkatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini