Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kebut Semalam Aturan Ekspor

Kementerian Energi menerbitkan aturan baru mengenai tata cara ekspor mineral. Kebijakan ini dituding mengistimewakan Freeport.

22 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEGUH Pamudji tak membutuhkan waktu lama untuk membereskan berkas rancangan aturan pengganti Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2014, Rabu malam awal Februari lalu. Dalam rapat tertutup bersama Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono dan Kepala Biro Hukum Kementerian Hufron Asrofi, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu memastikan semuanya lengkap. Rapat dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kuningan, Jakarta Selatan.

Selang sehari, Kementerian Energi mengirim rancangan final tersebut ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diundangkan sebagai Berita Negara Nomor 185. Rancangan aturan itu tak lain cikal-bakal lahirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. "Kami prihatin kinerja industri yang terpuruk karena harga komoditas melorot," kata Teguh melalui sambungan telepon, Rabu pekan lalu, menjelaskan alasan penerbitan aturan itu.

Namun seorang pejabat di Kementerian Energi yang mengetahui rapat tersebut mengatakan revisi digarap tergesa-gesa. "Seperti dikejar tenggat, perumusan aturan pengganti Permen (Peraturan Menteri Nomor) 11 kelar hanya dalam enam jam," ucapnya.

Revisi itu tak banyak mengatur hal baru. Sebagian besar pasal dalam aturan yang lama hanya disalin ulang. Perubahan signifikan hanya terlihat pada penambahan ayat di pasal 10 yang memungkinkan perusahaan tambang mengekspor, meski kemajuan smelter tak mencapai 60 persen.

Menurut dia, aturan revisi itu menguntungkan raksasa tambang PT Freeport Indonesia. Sumber tadi mengatakan sikap Kementerian ESDM melunak setelah Freeport-McMoRan—induk PT Freeport Indonesia—melayangkan surat "protes" ke Kementerian ESDM beberapa hari sebelum revisi dibuat.

Dalam surat yang diteken juru bicara Eric Kinneberg itu, Freeport-McMoRan menyatakan keberatan terhadap syarat izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia. Dua syarat yang dipersoalkan adalah bea keluar 5 persen yang harus disetujui Freeport dan kewajiban menyetor uang jaminan smelter US$ 530 juta atau setara dengan Rp 7 triliun. Sejauh ini kemajuan pembangunan smelter Freeport Indonesia baru sekitar 14 persen.

Kepada sejumlah wartawan, Menteri ESDM Sudirman Said mengakui pernah menerima surat dari Freeport. Namun ia menolak menjelaskan lebih detail munculnya revisi aturan tersebut. "Apa tidak ada masalah penting di negeri ini selain Freeport?" ujarnya lewat pesan pendek, Selasa pekan lalu.

Informasi lebih lengkap datang dari Teguh Pamudji. Ia menampik kabar bahwa regulasi dibuat terburu-buru, apalagi hanya demi memfasilitasi perusahaan tertentu. Menurut dia, Kementerian ESDM telah merencanakan perumusan revisi sejak dulu. "Kemarin itu finalisasi saja, tinggal memperbaiki kalimat, redaksional. Makanya tidak terlalu lama," kata Teguh.

Kebijakan pemerintah itu tetap menimbulkan syak wasangka. Nyatanya, hanya sepekan setelah Peraturan Menteri Nomor 5 terbit, Kementerian Energi meloloskan rekomendasi perpanjangan izin ekspor untuk Freeport. Direktur Ekspor Industri dan Produk Perdagangan Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan izin ekspor keluar pada Rabu dua pekan lalu. Dengan surat tersebut, Freeport boleh mengekspor konsentrat mulai 10 Februari hingga 8 Agustus 2016.

Bukan sekali saja pemerintah melunak kepada Freeport. Tutup-buka izin ekspor ini adalah yang keempat kalinya bagi perusahaan yang berinduk di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, itu. Kali ini pemerintah memberikan kuota ekspor sebesar 1.033.758 ton konsentrat, meningkat hampir 30 persen dibandingkan dengan kuota sebelumnya. Padahal, dalam surat persetujuan ekspor yang diteken Kementerian Perdagangan tahun lalu, Freeport hanya dibolehkan menjual ke luar negeri 775.115 ton. Itu berlaku mulai 28 Juli 2015 hingga 28 Januari 2016.

Ahli hukum sumber daya alam Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, menilai pemerintah terlalu mengistimewakan Freeport. Redi menyoroti pasal 10 ayat 3 dalam aturan baru yang menggugurkan kewajiban perusahaan melaporkan kemajuan pembangunan smelter sebesar 60 persen dari total investasi. Pada kenyataannya, seperti disampaikan Direktur Freeport Clementino Lamury di Dewan Perwakilan Rakyat pada pertengahan Januari lalu, kemajuan proyek smelter baru 11,5 persen. "Ini yang menjadi soal. Tidak ada daya paksa dari pemerintah," ujar Redi saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Redi menganggap regulasi baru ini bakal membuat program penghiliran pertambangan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersendat. Apalagi kalau kewajiban menyetor jaminan pembangunan smelter Freeport boleh ditunda. Alih-alih mendapat setoran dana jaminan US$ 530 juta, Freeport boleh melakukan ekspor hanya dengan membayar bea keluar 5 persen. "Instrumen hukum sudah tidak mempan, makanya dipakai instrumen ekonomi dengan penetapan jaminan kesungguhan, tapi jaminan itu dimentahkan sendiri dengan Permen Nomor 5," kata Redi.

Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) merasa diperlakukan tidak adil. Ketua Apemindo Ladjiman Damanik mengatakan pemerintah seperti meloloskan ekspor Freeport tanpa jaminan smelter. "Sedangkan perusahaan lain, seperti penambang bauksit, kesulitan membangun smelter karena dilarang ekspor," ujar Ladjiman kepada wartawan Tempo, Robby Irfany, Kamis dua pekan lalu.

Peraturan Menteri Energi Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan pemerintah mengizinkan ekspor enam komoditas mineral dalam bentuk konsentrat, yakni tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbang, dan mangan, hingga 2017. Sedangkan enam jenis mineral tambang lain (emas, nikel, perak, timah, bauksit, dan kromium) hanya boleh diekspor setelah dimurnikan atau berbentuk logam. Peraturan menteri tersebut merupakan salah satu turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang mewajibkan perusahaan melakukan pengolahan.

Direktur Pengembangan PT Indoferro, Jonathan Handoyo, menilai aturan yang tidak konsisten bisa ditunggangi perusahaan yang ogah membangun smelter. Ia mengakui perusahaannya tidak bisa menyelesaikan pembangunan smelter tepat waktu karena biaya yang mahal, mencapai US$ 360 juta. "Kemungkinan mundur, dari Februari menjadi akhir tahun ini," katanya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono berpendapat aturan baru justru lebih fleksibel dan menjamin kepastian pembangunan smelter. "Harga komoditas sedang turun, Freeport dan perusahaan lain kesulitan uang," tutur Bambang.

Teguh Pamudji mengklaim penggodokan revisi aturan dilakukan secara terbuka melibatkan banyak pihak, di antaranya Kejaksaan Agung, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kepolisian, serta Kementerian Keuangan.

Juru bicara Freeport, Riza Pratama, menolak berkomentar. Ia hanya berterima kasih kepada pemerintah yang telah menerbitkan izin ekspor. "Kami bisa tenang karena kegiatan ekonomi bisa terus berjalan," ujarnya.

Ayu Prima Sandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus