Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SINYAL agar saham PT Freeport Indonesia bisa masuk ke lantai bursa semakin kuat dalam diskusi yang berlangsung di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Selasa pekan lalu. Pelepasan saham perdana di bursa efek ini diusulkan menjadi salah satu opsi divestasi. Mekanisme ini akan dimasukkan ke revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang ditargetkan terbit sebelum pertengahan tahun.
"Mekanisme ini belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Meski Bambang mengatakan mekanisme initial public offering (IPO) masih dalam tahap pembahasan, opsi ini diam-diam sudah dicantumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam naskah rancangan revisi Undang-Undang Minerba, yang telah dimasukkan ke Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada Januari lalu.
Dalam naskah rancangan itu, opsi ini tercantum dalam pasal 79 ayat 4. Pasal ini mengatur, jika divestasi tidak tercapai dalam tiga jenjang—pemerintah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, dan swasta nasional—penawaran bisa dilakukan melalui bursa saham.
Menurut salah satu sumber yang terlibat dalam perumusan rancangan, Menteri Energi Sudirman Said yang mendorong agar opsi IPO dimasukkan. Usul opsi ini semakin kencang setelah Freeport memasukkan tawaran divestasi 10,64 persen saham dengan angka fantastis, yakni US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 22,9 triliun, pada pertengahan Januari lalu.
Staf Ahli Menteri Energi Said Didu menjelaskan, IPO menjadi pilihan setelah Kementerian mengevaluasi pengalaman divestasi perusahaan-perusahaan tambang pada periode sebelumnya. Di antaranya divestasi PT Newmont Nusa Tenggara, yang sampai sekarang tak tuntas, dan divestasi Freeport pada masa lalu. "Kalau berhenti di swasta lebih bahaya karena kita tidak tahu siapa di baliknya," ujarnya. Menurut Said, dengan melepas saham ke bursa dan menjadi perusahaan terbuka, Freeport terdorong untuk lebih transparan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mendukung opsi melepas saham ke bursa efek. Dia mengaku pernah mengusulkan pilihan ini kepada Sudirman Said. "Concern saya saat itu untuk pengembangan pasar modal," kata Bambang.
Bambang sadar ide yang ia tawarkan akan memantik kontroversi. Tapi, menurut dia, masuknya Freeport ke pasar modal bisa dijadikan ukuran iktikad baik perusahaan berkontribusi ke Indonesia. "Masuknya Freeport bisa membantu pasar modal kita yang masih kecil dibanding negara tetangga," ucapnya.
STRATEGI untuk mengeksekusi divestasi menjadi polemik sejak Freeport memasukkan nilai penawaran ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada pertengahan Januari lalu. "Dulu ribut dorong mereka supaya divestasi. Setelah mereka mau, ributnya lebih banyak," kata Said Didu.
Kontrak karya II yang diteken pada 1991 memang mewajibkan Freeport melepas saham bertahap kepada pemerintah Indonesia. Tahap pertama, sebesar 9,36 persen, dijual dalam waktu sepuluh tahun sejak 1991. Tahap berikutnya, Freeport harus melepas saham sebesar 2 persen per tahun hingga kepemilikan nasional mencapai 51 persen.
Penjualan tahap pertama jatuh ke tangan swasta nasional. Sebanyak 9,36 persen saham Freeport berpindah ke tangan PT Indocopper Investama Corporation, milik kelompok usaha Bakrie. Setahun kemudian, Desember 1992, Freeport membeli 49 persen saham Indocopper. Walhasil, kepemilikan Bakrie Group di Indocopper menjadi 51 persen. Pada awal 1997, Bakrie melepas saham Indocopper kepada PT Nusamba Mineral Industri, milik pengusaha Mohammad "Bob" Hasan. Pengusaha ini dikenal dekat dengan mantan Chairman Freeport-McMoRan James "Bob" Moffett.
Pengalaman penjualan tahap pertama ini membuat Kementerian Energi berhati-hati dengan opsi melepas saham ke swasta nasional. "Soalnya, ujung-ujungnya bisa balik ke Freeport lagi," ujar Said Didu.
Kewajiban penjualan saham tahap kedua, yang semestinya dimulai sejak 2001, tak kunjung tereksekusi. Ini akibat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang membatalkan kewajiban divestasi. Sejak itu proses divestasi mandek.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. Aturan ini mewajibkan perusahaan tambang melakukan divestasi sebesar 20 persen paling lambat satu tahun setelah peraturan berlaku efektif.
Ketentuan inilah yang mendorong Freeport melakukan sisa divestasi sebesar 10,64 persen karena porsi kepemilikan nasional saat ini 9,36 persen. Perusahaan tambang tembaga dan emas ini baru memasukkan tawaran divestasi pada pertengahan Januari lalu—molor tiga bulan dari jadwal.
Kementerian Energi kemudian membentuk tim untuk mengkaji harga. Bila evaluasi harga selesai dan pemerintah berniat membeli, hasil kajian akan dibawa ke Kementerian Keuangan.
Namun Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mewanti-wanti agar harga yang ditawarkan Freeport diteliti lebih dulu dan harus dipastikan menguntungkan negara. "Sebab, kita juga masih banyak prioritas lain kalau ujung-ujungnya menggunakan APBN," katanya.
Harga inilah, menurut Said Didu, yang kemudian menimbulkan banyak perdebatan. "Dari tidak usah membeli, beli saham langsung di induknya, sampai dibeli oleh BUMN saja," ujarnya.
Salah satu yang mendorong agar 10,64 persen saham Freeport dibeli oleh perusahaan pelat merah adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Empat perusahaan tambang negara yang ia dorong telah meneken kesepakatan kerja sama pada 8 Januari lalu. Empat perusahaan itu adalah PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Indonesia Asahan Aluminium.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampoerno menjadi ketua komite eksekutif dari empat perusahaan yang bersinergi. Adapun posisi wakil ketua komite diisi oleh Budi Gunadi Sadikin—saat ini menjabat Direktur Utama Bank Mandiri.
Fajar mengakui di dalam komite ada perbedaan pendapat mengenai pembelian saham Freeport. Salah satunya masukan agar membeli saham langsung ke induknya di Amerika Serikat. "Pertimbangannya, harga sahamnya jauh lebih murah dibanding Freeport Indonesia."
Gagasan ini didukung oleh analis dari Pusat Data Bisnis Indonesia, Christianto Wibisono. Menurut Christianto, harga divestasi yang ditawarkan Freeport sangat tidak wajar. "Kita tahu harga sahamnya di sana sedang jeblok. Seharusnya pemerintah tolak saja dan minta Freeport hitung ulang," katanya.
Menurut perhitungannya, dengan harga saham Freeport-McMoRan yang sekarang berada di kisaran US$ 7,12 per lembar, pemerintah bisa membeli 5 persen saham bursa di New York dengan mengeluarkan ratusan juta dolar Amerika. Ini jauh lebih murah ketimbang membeli saham divestasi, yang nilainya mencapai miliaran dolar. "Dengan porsi 5 persen, kita sudah mendapat kursi dan suara," ujarnya. Dengan porsi saham segitu, menurut Christianto, pemerintah bisa mengatur Freeport Indonesia, yang selama ini sulit diatur.
Ide pembelian langsung saham ke induk usaha Freeport masih diperdebatkan di komite eksekutif. Menurut Fajar, komite menimbang risiko beban utang Freeport-McMoRan sebesar US$ 20 miliar jika kebijakan ini dieksekusi. "Ini yang masih kami hitung supaya jangan sampai pemerintah menanggung rugi," katanya.
RENCANA mengambil divestasi Freeport juga sudah disiapkan oleh PT Aneka Tambang (Antam) Tbk jauh-jauh hari. Antam bahkan pernah memaparkan skema membeli saham tambang di Papua itu di depan Komisi VII DPR, akhir Januari lalu. Salah satu caranya, menurut Sekretaris Perusahaan Antam, Tri Hartono, menggunakan kendaraan investasi khusus dari konsorsium BUMN.
Skema ini, kata Tri, juga sudah disampaikan dan dibahas Komite Eksekutif Konsolidasi BUMN Tambang. Konsorsium bisa patungan modal hingga US$ 510 juta. Sisanya ditutup melalui pinjaman bank, yang pelunasannya dibayarkan tiap tahun dari hasil dividen Freeport. Tri yakin skema ini bisa dieksekusi. "Logika bisnisnya, kami yang produksi emasnya 2,5 ton saja bisa setor dividen, masak Freeport yang 6-7 ton tidak bisa?" ujarnya.
Menurut hitungan Antam, harga divestasi Freeport sangat mahal karena nilai kapitalisasi pasar induk perusahaannya di Amerika hanya US$ 5,1 miliar. Artinya, 10 persen saham Freeport-McMoRan cuma bernilai US$ 510 juta. Sedangkan kontribusi PT Freeport Indonesia ke Freeport-McMoRan selama ini juga hanya 30 persen.
Tri mengatakan, meski konsorsium BUMN sudah menyiapkan skema, mereka belum bisa bertindak apa-apa. BUMN baru bisa bergerak jika Kementerian Energi telah resmi menyatakan sikapnya: berminat atau tidak membeli divestasi Freeport. "Kami berharap BUMN diberi kesempatan, tapi pemerintah juga membantu menekan harganya," katanya.
Freeport memilih tidak banyak berkomentar mengenai divestasi. Perusahaan tambang asal Arizona, Amerika Serikat, ini akan membuka valuasi harga setelah kesepakatan divestasi tercapai. "Akan kami publikasikan jika kesepakatan divestasi 10,64 persen antara Freeport dan pemerintah sudah tercapai," ujar juru bicara Freeport-McMoRan, Eric Kinneberg.
Gustidha Budiartie, Robby Irfany
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo