Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH satu bulan sejak PT Freeport Indonesia menawarkan sahamnya, pemerintah belum memberi jawaban. Salah satu sebabnya, menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi keuangan negara.
Apalagi harga yang ditawarkan Freeport tidak murah. Perusahaan yang berinduk di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, itu membanderol 10,64 persen saham seharga US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23 triliun. Angka tersebut, kata Vice President Legal Freeport Indonesia Clementino Lamury, berasal dari asumsi nilai investasi Freeport setelah perpanjangan operasi pada 2021.
Penolakan bermunculan. Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, menilai proposal itu terlampau mahal mengingat nilai pasar Freeport-McMoRan di bursa New York tak lebih dari US$ 4,8 miliar.
Meski begitu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara telah membentuk Tim Divestasi Saham Freeport, yang diketuai oleh Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin. Tim itulah yang akan mengkaji valuasi harga saham yang ditawarkan. "Kalau BUMN mau ambil, silakan saja," kata Bambang kepada Gustidha Budiartie dari Tempo, yang menemuinya di kompleks perumahan menteri Widya Chandra, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu.
Apa untung-rugi divestasi Freeport bagi pemerintah?
Pertama harus dilihat apakah divestasi itu menguntungkan atau tidak. Kalaupun menguntungkan, kita tetap harus melihat kondisi keuangan negara, perlu tidak mengeluarkan uang sebanyak itu. Apalagi pemerintah masih memiliki keperluan lain, seperti membangun infrastruktur. Orang bisa bilang prospek Freeport bagus. Tapi, dengan kisaran harga saham Freeport di bursa New York seperti saat ini, sulit membayangkan prospeknya di masa akan datang.
Apakah tawaran US$ 1,7 miliar terlalu mahal?
Harus diteliti dan dipastikan dulu kalau memang itu harga yang wajar dan menguntungkan bagi kita.
Apakah pemerintah memiliki kemampuan membeli saham divestasi Freeport?
Kalau pemerintah mau membeli, harus lihat dulu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Apalagi kami belum memasukkan rencana itu saat membahas penyertaan modal negara. Jadi, kalaupun hendak membeli, harus dibuat APBN Perubahan. Tapi, kalau BUMN yang akan membeli, bisa pakai pembiayaan sendiri.
Apakah pemerintah tidak punya dana?
Pemerintah sudah punya saham di sana, di PT Freeport Indonesia, sebesar 10 persen. Ya, sudah, sementara sahamitu yang kita miliki. Kalau ingin menambah kepemilikan saham, ya, barangkali BUMN yang mau ambil.
Apakah BUMN sudah menyatakan kesiapan untuk mengambil alih?
Kalau BUMN mau ambil, silakan saja. Apalagi kalau secara bisnis itung-itungannya masuk dan mereka mau. Tapi apakah harga yang ditawarkan wajar?
Berapa kewajaran harga divestasi Freeport?
Kita harus melihat kondisi harga emas dan tembaga. Tapi sekarang harga sedang jatuh, jadi agak sulit melihat prospek komoditas itu.
Benarkah Kementerian Keuangan mengusulkan divestasi melalui skema penawaran saham perdana ke publik (IPO)?
Pasar modal kita saat ini masih kecil, tidak sebanding dengan bursa Singapura dan negara lain. Salah satu sebabnya, kita kekurangan pemain besar. Raksasa IPO saat ini adalah Sampoerna. Perusahaan sekelas Freeport atau Newmont atau semua perusahaan tambang di Indonesia sebaiknya bisa IPO. Skema ini juga membuat masyarakat memiliki akses langsung ke perusahaan. Saya melihat rencana ini bagus untuk perkembangan pasar modal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo