Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pasokan BBM di SPBU swasta, seperti Shell dan BP-AKR, masih kosong di sejumlah daerah.
Perusahaan menyatakan ada kendala dalam pengadaan dan distribusi BBM hingga menyebabkan kelangkaan.
Pengamat energi memperkirakan kelangkaan terjadi karena perusahaan-perusahaan besar internasional biasanya melakukan penataan ulang stok untuk menyesuaikan dengan tahun anggaran baru.
SUDAH hampir tiga pekan pasokan bahan bakar minyak (BBM) di stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU milik perusahaan swasta langka. Di Jalan Panjang, kawasan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, SPBU milik BP-AKR terlihat sepi, bahkan tidak ada aktivitas pengisian BBM seperti biasanya.
Di depan pintu masuk SPBU itu tertulis, "Stok yang tersedia hanya BBM Ultimate Diesel". Febrian, satu-satunya petugas yang berjaga, mengatakan stok BBM di stasiun pengisian ini sudah habis sejak pertengahan Januari 2025. Awalnya BBM jenis BP 92 dengan kandungan RON 92 yang habis. Lalu, dua pekan kemudian, stok BP Ultimate dengan kandungan RON 95 ikut kosong.
“Dari tadi juga yang datang ya sudah lewatin saja. Kebanyakan nyari yang bensin," tutur Febrian saat ditemui Tempo, Rabu, 5 Februari 2025. Akibat kelangkaan BBM ini, kantornya hanya memberlakukan satu petugas dalam satu kali shift.
Suasana serupa terjadi di SPBU Shell di Jalan Soeroso, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Aktivitas pengisian BBM nihil. Tidak ada lagi antrean seperti biasanya. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang singgah untuk sekadar bertanya mengapa pasokan BBM di stasiun pengisian ini tak ada.
Meskipun aktivitas jual-beli BBM tidak berjalan, lini bisnis Shell lainnya tetap beroperasi di SPBU tersebut, antara lain layanan Shell Advance MotoCare Express dan Shell Helix Oil Change. Selain itu, ada Shell Select yang menjual makanan untuk pengendara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, SPBU Vivo di Jalan Kedoya, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, masih beroperasi seperti biasa. Seorang petugas Vivo yang enggan disebutkan namanya mengatakan Vivo memang belum mengalami kehabisan pasokan. Namun jumlah stok yang ada tidak sebanyak biasanya.
Kelangkaan ini dikeluhkan oleh para pengendara, termasuk Andika, pengemudi ojek online berusia 30 tahun. Ia kesulitan mengisi bahan bakar sepeda motornya di SPBU swasta. Padahal, menurut dia, SPBU swasta selama ini menjadi pilihan utama para pengemudi ojek online karena lebih irit. “Semoga jangan sampai langka terus-menerus,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Direktur BP-AKR Vanda Laura mengatakan stok di SPBU milik perusahaan asal Inggris itu memang sedang terbatas. Walhasil, beberapa jaringan pom bensin BP tidak dapat melayani penjualan produk BBM secara lengkap.
“BP-AKR berkomitmen untuk segera memulihkan ketersediaan produk dan memastikan semua jaringan SPBU BP saat ini tetap beroperasi untuk memberikan layanan pembelian produk bahan bakar yang tersedia,” kata Vanda kepada Tempo, Rabu, 5 Februari 2025. BP-AKR pun menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas ketidaknyamanan yang terjadi.
President Director and Managing Director Mobility Shell Indonesia Ingrid Siburian mengakui ada hambatan yang dihadapi perusahaan sehingga terjadi kelangkaan. “Saat ini terdapat kendala dalam pengadaan dan penyaluran produk BBM,” tutur Ingrid kepada Tempo, Rabu, 5 Februari 2025.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut, Shell Indonesia berupaya berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk memastikan ketersediaan produk BBM di SPBU Shell secepatnya. Ingrid belum bisa memperkirakan kapan ketersediaan produk kembali normal. Namun saat ini SPBU Shell hanya akan beroperasi untuk layanan lain, seperti Shell Select dan bengkel.
Adapun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menampik soal kendala pengadaan dan penyaluran BBM untuk perusahaan swasta. “Enggak ada persoalan,” ucap Ketua Umum Partai Golkar itu saat ditemui di kantornya, Jakarta, 3 Februari 2025.
Kalaupun ada kelangkaan, menurut Bahlil, hal itu kemungkinan terjadi karena persoalan teknis, seperti keterlambatan kapal pengangkut BBM. Pasalnya, Kementerian ESDM telah memberikan izin kepada perusahaan minyak dan gas swasta untuk mengimpor serta mendistribusikan BBM di dalam negeri sejak Januari 2025.
Bahlil kemudian membandingkan kondisi pasokan BBM di SPBU swasta dengan Pertamina. Ia menyatakan pasokan BBM di perusahaan pelat merah tersebut tersedia dalam kondisi normal dan tidak ada konsumen yang kesulitan memperolehnya. “Berarti untuk konsumsi masyarakat itu tidak ada masalah,” ujarnya.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengimbuhkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas. Ia menekankan bahwa Kementerian ESDM perlu memastikan lebih dulu penyebab kendala yang terjadi guna menyelesaikan persoalan kelangkaan BBM ini.
Pengamat energi dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, berpandangan bahwa kelangkaan BBM di SPBU swasta saat ini lebih disebabkan oleh masalah manajemen stok, terutama pada awal tahun. Pasalnya, perusahaan-perusahaan besar internasional biasanya melakukan penataan ulang stok untuk menyesuaikan dengan tahun anggaran yang baru.
Hal ini terjadi karena pengadaan BBM sebelumnya didasarkan pada harga dan biaya yang sudah tidak relevan, yang dihitung dengan nilai tukar serta biaya lama. Sebagai hasilnya, stok lama perlu habis lebih dulu sebelum perusahaan mengganti dengan stok baru yang lebih sesuai dengan harga dan kebutuhan anggaran tahun berjalan.
Menurut Komaidi, masalah kelangkaan BBM tersebut tidak bersifat permanen, melainkan lebih pada proses penataan stok yang terjadi di awal tahun. Dalam waktu dekat, masalah ini diharapkan dapat teratasi seperti tahun-tahun sebelumnya karena lebih terkait dengan manajemen stok dan perencanaan anggaran perusahaan.
Pengisian bahan bakar minyak di SPBU BP-AKR Kebayoran Lama, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, berpendapat ada kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara regulator dan operator. Sebab, SPBU swasta yang ingin mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM harus memperoleh izin dari Kementerian ESDM. Sedangkan Kementerian ESDM juga memiliki hubungan dengan Pertamina, yang merupakan penyedia utama BBM di Indonesia dan merupakan pesaing SPBU swasta.
Meskipun izin impor mungkin keluar pada Januari, Nailul mengatakan, pengiriman BBM dan proses distribusi memerlukan waktu. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam penyediaan BBM di SPBU swasta, yang dapat mengarah pada kelangkaan.
Nailul menilai Kementerian ESDM semestinya mempercepat proses pemberian izin impor ketika stok BBM makin menipis. Masalahnya, izin impor ini cenderung lebih mudah dan cepat diberikan kepada Pertamina. Sedangkan SPBU swasta menghadapi perbedaan perlakuan dalam hal perizinan.
Perbedaan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Liquefied Petroleum Gas. Dalam aturan ini disebutkan bahwa Kementerian ESDM bertanggung jawab untuk memberikan izin distribusi kepada badan usaha, termasuk Pertamina dan perusahaan swasta.
Pertamina diberi kewenangan mendistribusikan BBM bersubsidi ke SPBU dan distributor lain sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal ini menjadikan Pertamina sebagai pemain dominan dalam distribusi BBM bersubsidi di Indonesia. Sedangkan perusahaan swasta dapat mendistribusikan BBM non-subsidi di pasar, tapi mereka harus memenuhi berbagai persyaratan, termasuk memiliki izin distribusi dari BPH Migas dan Kementerian ESDM, lebih dulu.
Selain itu, perizinan perdagangan BBM diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan ini memperkenalkan sistem perizinan yang mengklasifikasikan tingkat risiko suatu kegiatan usaha. Dengan demikian, perusahaan swasta yang ingin beroperasi dalam distribusi BBM harus melalui proses perizinan yang lebih ketat sesuai dengan klasifikasi risiko yang berlaku.
Sesuai dengan aturan tersebut, proses perizinan untuk Pertamina lebih sederhana dan cepat karena mereka merupakan BUMN yang memiliki peran strategis dalam pasokan energi nasional. Sebaliknya, perusahaan swasta harus melalui proses yang lebih panjang dan mendetail untuk memperoleh izin distribusi, terutama untuk jenis BBM tertentu.
Adapun Pertamina diperkirakan mengendalikan mayoritas impor BBM di Indonesia, dengan kontribusi 50-60 persen. Sedangkan SPBU swasta hanya menyumbang 20-30 persen dari impor BBM di Indonesia. Kendati demikian, Nailul berpendapat bahwa kelangkaan BBM di SPBU swasta hanya masalah sementara. Ketika proses perizinan selesai dan distribusi BBM berjalan lancar, ia memperkirakan kelangkaan bisa teratasi dan situasi akan kembali normal.
Tempo berupaya meminta tanggapan Direktur BBM BPH Migas Sentot Harijady Bradjanto Triputro soal kendala dalam proses pendistribusian BBM ke SPBU swasta. Namun, hingga berita ini ditulis, Sentot tidak merespons pesan Tempo. ●
Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo