Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Habis Sehat Terbitlah Defisit

Mahkamah Agung menganulir kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional. Upaya penyehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terancam.

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan  Muhadjir Effendy, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, serta Menteri Sosial Juliari P. Batubara saat mengikuti rapat kerja gabungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat membahas iuran BPJS Kesehatan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Februari 2020./TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kenaikan iuran JKN untuk kelompok peserta pekerja bukan penerima upah dan bukan bekerja dianulir Mahkamah Agung.

  • Tersisa dua opsi untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.

  • KPK merekomendasikan perbaikan tata kelola program JKN.

RAPAT pleno Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada Rabu siang, 11 Maret lalu, telah rampung. Namun persamuhan yang sedianya membahas dampak putusan terbaru Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional itu urung memutuskan langkah yang akan direkomendasikan kepada pemerintah. Dewan bentukan presiden ini memilih menunggu dokumen putusan MA yang membatalkan sebagian kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional. “Kami akan membaca duduk perkara dan amar putusannya. Karena judicial review MA itu tertutup,” anggota DJSN, Asih Eka Putri, menjelaskan, seusai pertemuan.

Bukan hanya rapat pleno DJSN yang tak membuahkan solusi atas persoalan baru dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Rapat koordinasi yang digelar di kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sehari kemudian, Kamis, 12 Maret, setali tiga uang: menunggu dokumen resmi putusan MA. Rapat menyimpulkan, komunikasi publik mengenai hal ini kelak disampaikan oleh satu menteri atas nama pemerintah.

Kabar bahwa MA telah menganulir kenaikan iuran jaminan kesehatan yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan itu diungkapkan hakim agung Andi Samsan Nganro, Senin, 9 Maret lalu. Juru bicara MA itu mengatakan lembaganya telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi (judicial review) Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan pada 27 Februari lalu.

Diteken Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019, peraturan tersebut menaikkan nilai iuran jaminan kesehatan yang sebelumnya diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018. Penggugat yang tergabung dalam Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia memohon agar MA menyatakan aturan ketentuan anyar itu tak memiliki kekuatan hukum. Namun, menurut Andi, Mahkamah hanya menganulir ketentuan pasal 34 ayat 1 dan 2 yang khusus mengatur iuran bagi peserta JKN di kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muncul beragam respons terhadap hasil akhir perkara ini. Sebagian kalangan memuji MA dan mendesak pemerintah segera melaksanakan putusan tersebut. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah akan mencermati dampak putusan ini. Sebab, ketika merancang dan menerbitkan peraturan presiden tersebut, pemerintah telah mempertimbangkan semua aspek. Karena itu, pembatalan satu pasal saja, Sri melanjutkan, akan mempengaruhi keberlangsungan program JKN. “Kami berharap masyarakat tahu ini konsekuensinya besar terhadap JKN,” ujarnya di Jakarta, Selasa, 10 Maret lalu.

•••

PEMERINTAH menaikkan iuran jaminan kesehatan setelah defisit pada neraca keuangan BPJS Kesehatan makin menganga pada 2019. Menggunakan realisasi anggaran per Juni 2019, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan defisit sepanjang tahun lalu mencapai Rp 32,87 triliun.

Aktivitas pelayanan di Kantor BPJS kesehatan Jakarta Pusat./Tempo/Tony Hartawan

Defisit yang terjadi akibat penerimaan iuran dari peserta tak sebanding dengan besarnya kewajiban pembayaran klaim tersebut sebenarnya bukan barang baru. Pada tahun pertamanya beroperasi pada 2014, BPJS Kesehatan sudah tekor Rp 3,3 triliun. Kondisinya memburuk dari tahun ke tahun, memaksa negara untuk terus menyumpalnya, meski tak sampai menambal seluruh defisit.

Pada 2019, misalnya, pemerintah menyuntikkan Rp 13,4 triliun. Namun dengan kucuran dana itu pun BPJS Kesehatan tetap mengakhiri tahun dengan duit minus Rp 15,5 triliun. Kenaikan nilai iuran peserta, termasuk terhadap kelompok PBPU dan BP yang belakangan dibatalkan MA, merupakan salah satu opsi tambahan pendanaan untuk mengurangi defisit jumbo ini. Kondisi inilah yang membuat Kementerian Keuangan waswas jika kenaikan iuran dibatalkan.

Pada Selasa, 18 Februari lalu, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat sempat melontarkan desakan agar pemerintah membatalkan kenaikan iuran BPJS ini. Dalam rapat gabungan lintas komisi DPR dan pemerintah tersebut, Menteri Sri Mulyani menanggapi permintaan ini dengan mengancam balik bakal menarik lagi kucuran dana 2019 senilai Rp 13,4 triliun jika iuran batal dinaikkan. “Tidak ada masalah kita melakukan itu. Kalau Bapak-bapak minta dibatalkan, artinya Kementerian Keuangan yang sudah transfer Rp 13,5 triliun pada 2019 saya tarik kembali,” ucapnya dalam rapat di Ruang Pansus B DPR.

Sri beralasan suntikan dana Rp 13,5 triliun kepada BPJS Kesehatan tahun lalu juga telah menghitung kenaikan iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Berbeda dengan kelompok PBPU dan PB yang efektif berlaku pada 1 Januari 2020, kenaikan iuran PBI, yang sepenuhnya ditanggung anggaran negara dan daerah, dihitung sejak Agustus 2019.

Seorang pejabat yang mengetahui perhitungan ini menyebutkan putusan MA, meski tak membatalkan seluruh aturan kenaikan iuran dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, akan berdampak terhadap cash flow BPJS Kesehatan. “Akibatnya, pembayaran ke rumah sakit yang sempat membaik berpotensi kembali molor,” ujarnya. BPJS Kesehatan memang selalu menunggak pembayaran klaim pelayanan yang diajukan rumah sakit. Belakangan, sejumlah pengelola rumah sakit menyatakan pembayaran klaim membaik sejak iuran dinaikkan, dari semula molor hingga empat bulan menjadi dua bulan.

Pembatalan kenaikan iuran kelompok PBPU dan PB otomatis juga akan mengurangi potensi pendapatan BPJS Kesehatan. Hingga Oktober 2019, jumlah peserta di kedua kelompok ini mencapai 35,9 juta jiwa atau sekitar 16 persen dari total peserta JKN. Dengan kenaikan iuran, penerimaan dari pembayaran iuran peserta di kedua kelompok tersebut diperkirakan mencapai Rp 29,2 triliun pada 2020.

Masalah lainnya, defisit BPJS Kesehatan selama bertahun-tahun paling besar disumbang kelompok peserta PBPU atau yang biasa disebut pekerja informal. Sebab, kelompok ini pula yang selama ini memiliki tingkat kolektabilitas—pembayaran iuran—rendah. Jika kenaikan iuran di kelompok ini batal dan tingkat kolektabilitas tak membaik, defisit keuangan BPJS Kesehatan hampir dipastikan bakal kembali melonjak.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris belum dapat memastikan bagaimana skema yang disiapkan lembaganya untuk mengatasi dampak putusan MA ini. Seperti halnya pemerintah, hingga Jumat, 13 Maret lalu, Fachmi belum menerima salinan putusan MA.

Fachmi menuturkan, kalkulasi dampak putusan MA terhadap keuangan BPJS Kesehatan akan berbeda jika pembatalan diberlakukan bagi semua peserta atau hanya kelompok PBPU dan PB. BPJS Kesehatan, kata Fachmi, juga perlu mendapat kejelasan mengenai pemberlakuan putusan tersebut, apakah per tanggal diputuskan atau berlaku surut. “Apa pun yang nantinya kami dapatkan, tentu akan kami hitung lagi proyeksi cash flow di 2020 ini, berapa sebetulnya defisit akan terjadi,” ucapnya.

Yang jelas, menurut Fachmi, hanya ada tiga pilihan—atau kombinasi—untuk mengatasi defisit tersebut, yakni kenaikan iuran, penyesuaian manfaat layanan, atau tambahan kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kenaikan iuran yang kini sebagian dianulir MA telah diberlakukan. “Tentu kita kembali pada pilihan kedua, penyesuaian manfaat, atau ketiga, penyuntikan dana,” tutur Fachmi. “Dengan kondisi fiskal pemerintah yang seperti ini, pilihan suntikan dana pasti berat.”

 

•••

DI mata Komisi Pemberantasan Korupsi, tak sesuainya besaran iuran peserta bukan satu-satunya pemicu defisit di neraca BPJS Kesehatan. Kedeputian Pencegahan KPK telah menyampaikan sederet rekomendasi untuk mengatasi persoalan ini kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada November 2019.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menjelaskan, salah satu rekomendasi lembaganya adalah perlu dilakukan evaluasi terhadap penetapan kelas rumah sakit. KPK meminta Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah mengkaji ulang penetapan kelas rumah sakit sesuai dengan kewenangannya. Kementerian juga diminta memperbaiki regulasi tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit serta menyusun prosedur operasi standar (SOP) untuk mengkaji ulang kelas rumah sakit yang akan menjadi panduan bagi daerah.

Dalam kajiannya, komisi antirasuah menemukan banyak rumah sakit di daerah yang klasifikasi kelasnya tak sesuai dengan kondisi di lapangan. “Misalnya kemampuannya hanya kelas C, tapi rumah sakit itu dimasukkan ke kategori kelas B,” ujar Pahala.

Ketidaksesuaian kelas rumah sakit itu sebenarnya juga menjadi temuan audit BPKP. Laporan audit lembaga itu yang dirilis pada 2019 mencatat kelas rumah sakit yang tertera di kontrak tidak sesuai dengan fakta. Setelah pengkajian ulang, sebanyak 615 rumah sakit akhirnya turun kelas—192 unit di antaranya milik pemerintah daerah. Dari satu poin ini saja, BPKP memperkirakan ada potensi tambahan penerimaan BPJS Kesehatan untuk tahun anggaran 2019 senilai Rp 143 miliar.

Tim pencegahan KPK justru mencatat temuan yang lebih besar: sebanyak 898 rumah sakit tak sesuai dengan kelasnya. Walhasil, biaya pelayanan yang diklaimkan kepada BPJS Kesehatan menjadi lebih mahal. Pelayanan kesehatan dengan fasilitas setara dengan kelas II, misalnya, ditagihkan kepada BPJS Kesehatan sebagai layanan kelas I. Menurut Pahala, dalam kalkulasi lembaganya, jika penetapan kelas ini diperbaiki, beban BPJS Kesehatan diperkirakan berkurang sebesar Rp 6,6 triliun.

Pemerintah juga diminta mengkaji opsi pembatasan manfaat untuk pelayanan kesehatan yang menghabiskan biaya tinggi. KPK mengacu pada standar penerapan di sejumlah negara, seperti Thailand, Jepang, dan Prancis, yang membatasi anggaran penyakit katastrofik. Ada juga konsep global budget and performance-based payment untuk rumah sakit, misalnya di Jerman, Jepang, dan beberapa negara bagian Amerika Serikat. Pada sisi lain, BPJS Kesehatan diminta memperbaiki sistem verifikasi klaim peserta atau mempertimbangkan kerja sama dengan pihak lain untuk menurunkan tunggakan iuran.

Pahala optimistis, bila pemerintah dan BPJS Kesehatan menindaklanjuti berbagai rekomendasi KPK, biaya penjaminan bisa ditekan. Bahkan, KPK memperkirakan, total penghematan atas seluruh rekomendasi bisa mencapai Rp 12,2 triliun, yang diyakini bisa menjadi solusi bagi defisit keuangan BPJS Kesehatan tanpa menaikkan iuran.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengatakan lembaganya telah menindaklanjuti rekomendasi KPK. Salah satunya dengan menerapkan rekam medis elektronik pasien dalam penyampaian klaim. Dengan begitu, proses verifikasi diyakini lebih mudah dan cepat.

Adapun Fachmi Idris memastikan lembaganya telah melakukan serangkaian perbaikan sesuai dengan hasil audit BPKP. “Secara umum, di lapangan terus dikerjakan, seperti pembersihan data sebanyak 2,7 juta peserta,” katanya.

RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM, DEWI NURITA, HENDARTYO HANGGI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus