Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Operasi eFishery berhenti dan terjadi gelombang PHK setelah dugaan manipulasi laporan keuangan mencuat.
Kasus penggelapan dana membuat minat investor terhadap perusahaan startup Indonesia menurun.
Startup baru akan menghadapi lebih banyak tantangan untuk mendapatkan pendanaan di masa depan.
KASUS dugaan pemalsuan laporan keuangan eFishery akhir tahun lalu menambah catatan isu fraud atau kecurangan dalam bisnis startup di Tanah Air. Kasus di startup perikanan tersebut mengemuka setelah situs web berita yang berbasis di Singapura, DealStreetAsia, menerbitkan laporan dugaan fraud pada 15 Desember 2024. Manajemen eFishery lantas mencopot dua petinggi startup bidang teknologi akuakultur tersebut, yakni Chief Executive Officer Gibran Huzaifah dan Chief Product Officer Chrisna Aditya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dugaan penyelewengan laporan kinerja dan pendapatan keuangan perusahaan itu mencuat, operasi perusahaan berhenti begitu saja. Bahkan, sejak Januari 2025, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan yang berdiri sejak 2013 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Mitra Tambak Nusantara Risyad mengatakan banyak karyawan yang terkena PHK masih berstatus kontrak. "Saya tidak bisa memberikan detail angka karyawan kontrak yang terkena PHK. Yang jelas, angkanya lumayan besar," ucapnya saat dihubungi Tempo, Sabtu, 25 Januari 2025. Risyad melanjutkan, di lingkup internal karyawan saat ini beredar isu bahwa PHK akan terus terjadi hingga Maret 2025.
Laporan keuangan itu diduga sengaja dimanipulasi Gibran Huzaifah untuk memperoleh pendanaan seri A. Menurut dugaan manajemen eFishery, laporan keuangan dimanipulasi Gibran dan Chrisna Aditya sejak 2018.
Merespons kondisi internal perusahaan yang kian tak pasti setelah isu manipulasi laporan keuangan mengemuka, sejumlah karyawan lantas membentuk serikat pekerja. Menurut Risyad, kehadiran serikat menjadi wadah para pekerja mendesak manajemen eFishery segera memberikan kejelasan perihal kondisi perusahaan. Sebab, hingga kini manajemen perusahaan belum pernah memberikan informasi resmi apa pun kepada para karyawan.
CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam acara eFishery Impact Report di Jakarta, 29 Maret 2023. Antara/Kuntum Riswan
Selain isu PHK, Risyad mengungkapkan, muncul stigma negatif kepada banyak karyawan eFishery yang tak tahu-menahu soal manipulasi yang dilakukan mantan pemimpin mereka. "Stigma negatif ini berdampak besar. Ada teman-teman yang melamar kerja di tempat lain tiba-tiba di-ghosting karena isu ini," ujarnya.
Terbongkarnya kasus dugaan penggelembungan dana itu mencuat saat perusahaan yang sudah menyandang status unicorn—perusahaan dengan valuasi di atas US$ 1 miliar—ini belum lama mendapat pendanaan seri D sebesar US$ 200 juta. Bahkan, selama masa pandemi, eFishery termasuk salah satu perusahaan rintisan teknologi yang digadang-gadang akan moncer dan punya daya tahan lantaran mencatatkan sejumlah pertumbuhan, termasuk penambahan jumlah karyawan.
Sebelumnya, kasus fraud juga mencuat di perusahaan startup teknologi finansial (fintech), Investree. CEO perusahaan yang bergerak di bidang peer-to-peer landing itu mengalami gagal bayar. Mantan CEO Investree, Adrian Gunadi, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan gagal bayar kepada 22 lender atau pemberi pinjaman. Jumlah kerugian 22 penggugat sebesar Rp 2,58 miliar. Otoritas Jasa Keuangan resmi mencabut izin usaha Investree pada 21 Oktober 2024.
Masalah serupa terjadi pada startup pinjaman online KoinP2P. Perusahaan ini bermasalah karena menunda pembayaran kepada lender. Penundaan pembayaran terjadi akibat fraud yang dilakukan penerima dana sekitar Rp 360 miliar. OJK melaporkan terdapat 88 aduan untuk KoinP2P per 31 Desember 2024. Hal itu membuat kasus KoinP2P menjadi permasalahan terbanyak soal return atau imbal hasil.
Kasus-kasus fraud tersebut berimbas pada iklim startup di Tanah Air. Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia Eddi Danusaputro mengatakan sejumlah kasus penggelapan dana membuat minat investor terhadap perusahaan startup Indonesia cenderung menurun. "Kasus fraud membuat investor berhati-hati serta makin menuntut startup memberikan laporan keuangan berkala yang dibuat auditor independen terdaftar dan kredibel," tuturnya kepada Tempo, Ahad, 26 Januari 2025.
Merujuk pada catatan Center of Economic and Law Studies (Celios), data perkembangan investasi startup digital di Indonesia pada 2014-2023 menunjukkan dominasi perusahaan modal ventura dalam pendanaan sektor ini. Investasi modal ventura mencapai puncaknya pada 2021 dengan nilai Rp 140,5 triliun.
Namun, pada 2022 dan 2023, tren ini turun drastis dengan penurunan investasi mencapai 66 persen pada 2023. Berdasarkan analisis Celios, penurunan minat investor dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global dan selektivitas investor lebih tinggi terhadap startup yang akan didanai.
Kendati demikian, Eddi menilai kasus-kasus fraud yang terjadi tidak mewakili seluruh ekosistem startup di Indonesia. Ia berpendapat, potensi pasar yang besar dan keberadaan founder yang berkualitas di Indonesia membantu menjaga kepercayaan investor terhadap startup digital.
Venture Partner Init-6 Rexi Christopher tak menampik fakta bahwa kasus fraud eFishery belakangan ini berdampak terhadap kepercayaan investor, khususnya pemodal dari luar negeri. Menurut dia, kejadian itu dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap ekosistem startup di Indonesia. "Karena itu, sebagai investor lokal, kami ingin hal ini menjadi wake-up call bagi para pendiri startup dan portfolio agar menjaga bisnis dengan good governance," kata Rexi kepada Tempo, Ahad, 26 Januari 2025. Ia mengingatkan bahwa integritas merupakan hal penting untuk keberlanjutan bisnis.
Rexi berpandangan, pendanaan startup di Indonesia akan terpengaruh oleh kasus-kasus fraud yang terus muncul. Akibatnya, startup baru akan menghadapi lebih banyak tantangan untuk mendapatkan pendanaan di masa depan. Buntutnya, startup baru harus bekerja lebih keras untuk mengantongi kepercayaan investor.
Karena itu, menurut Rexi, penting bagi startup menunjukkan fundamental bisnis yang kokoh dan bisa bertahan tanpa bergantung sepenuhnya pada pendanaan investor. Ia menilai resiliensi akan menjadi kunci untuk startup mendapatkan pendanaan dari investor saat kondisi pasar membaik. Produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar (product-market fit) akan tetap menjadi aspek krusial untuk membuktikan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Rexi mengingatkan, mengejar valuasi tinggi dengan mengorbankan kualitas dan dampak bisnis merupakan pendekatan keliru. "Hanya dengan mengutamakan integritas dan ketahanan, kita dapat memastikan profitabilitas, pendapatan berkualitas, dan keberlanjutan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute Heru Sutadi pun menilai pemulihan kepercayaan investor terhadap ekosistem startup di Indonesia sangat penting saat ini. Sebab, bukan hanya masalah manipulasi keuangan perusahaan, laporan pertumbuhan ekonomi digital yang dipublikasikan pemerintah atau lembaga terkait juga bisa diragukan validitasnya jika ada persepsi bahwa data dalam ekosistem digital tidak dapat dipercaya.
Tidak hanya merugikan investor, Heru menekankan, fraud seperti yang terjadi di eFishery juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Jika masalah ini tidak segera ditangani, ada potensi dampak negatif terhadap ekonomi digital secara umum. Sebab, data yang tidak akurat atau direkayasa mengganggu validitas ekosistem ekonomi digital Indonesia sehingga mengurangi kredibilitasnya di mata dunia.
Terlebih investasi ekonomi digital di Indonesia saat ini sedang mengalami fluktuasi. Berdasarkan data yang dihimpun Dealroom, investasi venture capital di sektor ekonomi digital Indonesia sejak 2014 hingga 2016 terus tumbuh dari US$ 0,9 miliar menjadi US$ 8,25 miliar.
Namun pendanaan dari venture capital turun pada 2017 menjadi US$ 3,39 miliar. Pendanaan kembali meningkat dan mencapai puncaknya pada 2021 sebesar US$ 99,84 miliar. Lalu melandai pada 2022 dan 2023 masing-masing menjadi US$ 34,76 miliar dan US$ 12,46 miliar.
Untuk memulihkan kepercayaan investor, Heru berujar, diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap ekosistem startup, termasuk pemberian sanksi berat kepada pelaku fraud. Langkah ini penting agar masyarakat dunia, khususnya investor, yakin Indonesia serius menjaga transparansi dan tata kelola bisnis.
Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengatakan pemerintah dan otoritas keuangan perlu membuat regulasi yang lebih mendukung ekosistem startup. Misalnya pengembangan kebijakan pajak yang lebih ramah, kemudahan dalam perizinan usaha, serta pembinaan (mentoring) dan pendampingan untuk memperkuat kapabilitas sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan bisnis berbasis teknologi.
Di tengah penurunan minat modal ventura, Nailul mengungkapkan, korporasi dapat menjadi sumber pendanaan alternatif yang lebih stabil bagi startup di Indonesia. Adapun perusahaan korporasi berkontribusi signifikan terhadap pendanaan startup dengan proporsi 34 persen dari total investasi. Ia berharap kolaborasi antara pemerintah, perbankan, venture capital, dan sektor swasta dapat menciptakan ekosistem pendanaan yang lebih terintegrasi serta mendukung keberlangsungan bisnis startup di Indonesia.
Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo