Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengguna PLTS atap terganjal prosedur yang rumit.
Skema ekspor listrik ke PLN tak berjalan sepenuhnya.
Pertumbuhan jumlah pengguna PLTS atap terancam mandek.
ADA satu janji yang belum ditunaikan Ismail Fahmi kepada warganet: memberikan hitungan biaya pemasangan panel surya. Ismail, pendiri Drone Emprit, lembaga pemantau percakapan di media sosial, kebanjiran pertanyaan dari warganet saat dia memasang pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap di rumah barunya di kawasan Jakarta Selatan pada November 2022. Selain penasaran akan biayanya, pengikut akun media sosial Ismail menanyakan cara mendapatkan izin dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) hingga pemakaian PLTS atap. "Aku pusing, enggak mau ngitung," katanya kepada Tempo pada Kamis, 2 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail jadi "sasaran" warganet saat PLN dikeluhkan banyak calon pengguna PLTS atap. Mereka kecewa karena tak kunjung mendapat izin pemasangan panel surya dari PLN. Kalaupun dapat, pemasangan dibatasi maksimal 15 persen dari kapasitas daya terpasang di rumah atau kantornya. Ismail salah satu yang mengeluh. Setelah mempelajari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap on-grid atau panel surya yang terhubung dengan jaringan listrik PLN, seharusnya dia bisa beroleh skema net metering 100 persen. Artinya, semua listrik yang dihasilkan panel surya di rumahnya bisa dibeli PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLN akan membeli listrik dari pengguna panel surya melalui penggantian tagihan listrik di rumah atau kantornya. Skema ini menarik bagi calon pengguna PLTS atap karena, dalam aturan sebelumnya yang terbit pada 2018, batas izin untuk skema ini hanya 65 persen. Tapi Ismail menghadapi kenyataan berbeda. "Saat survei ke PLN, syaratnya panjang dan hanya bisa memasang maksimal 15 persen," ujarnya.
Hal serupa ternyata dialami perusahaan pengguna PLTS atap. Ismail mengaku sudah bertanya kepada sejumlah perusahaan yang mengajukan permohonan izin pemasangan panel surya. Hasilnya, ada yang sudah mengajukan 20 proyek, tapi izin tertahan. “Akhirnya kami memasang panel off-grid,” katanya. Artinya, panel surya dipasang secara mandiri atau di luar jaringan PLN. Konsekuensinya, Ismail harus keluar duit lebih banyak karena mesti memasang baterai penampung listrik tenaga surya yang tak terpakai. Kelebihan listrik itu pun tak bisa dijual kepada PLN.
Warga membersihkan panel surya atap rumahnya di Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, September 2019. Antara/Harviyan Perdana Putra
Sistem off-grid juga memerlukan pekerjaan tambahan karena pengguna panel surya tetap harus memakai sambungan listrik PLN. Sambungan ini diperlukan jika listrik dari panel surya tersendat karena perangkatnya rusak atau sumber energi dari matahari tak cukup. Walhasil, dengan sistem off-grid, Ismail mesti merogoh kocek hingga Rp 300 juta untuk memasang panel surya berkapasitas 10 kilowatt-peak dan baterai 28,8 kilowatt serta membayar biaya sambungan listrik PLN. Sedangkan biaya jaringan on-grid yang tak memerlukan baterai hanya sekitar Rp 50 juta.
Jika dihitung-hitung, biaya listrik PLTS atap off-grid memang lebih hemat daripada tagihan PLN. Sebagai perbandingan, saat memakai sambungan listrik PLN 16 ribu volt-ampere (VA), Ismail harus membayar tagihan bulanan sekitar Rp 4 juta. Setelah memakai panel surya, dia hanya membayar separuhnya. Tapi jika investasi pemasangan jaringan ini diperhitungkan, penghematan baru terasa setelah 12 tahun ke depan. Padahal usia baterai dan peralatannya hanya 10 tahun. "Selama itu pula ada biaya perawatan." Toh, Ismail legawa karena niatnya memasang panel surya hanya sebatas eksperimen.
Kurniawan, pegawai senior salah satu badan usaha milik negara, menghadapi pengalaman serupa. Tahun lalu dia memasang panel surya on-grid yang disediakan perusahaan bernama ATW Solar dan mendapat izin pemasangan sampai 15 persen dari kapasitas daya rumahnya yang sebesar 11 ribu VA. Dia pun bisa memasang panel surya 8,1 kilowatt-peak. Tapi Kurniawan tidak mendapatkan skema net metering 100 persen yang ditetapkan dalam regulasi Menteri Energi. “Kontraknya tak jelas. Setiap hari kami ekspor kelebihan listrik, tapi nilainya tak pernah diketahui," tuturnya pada Kamis, 2 Februari lalu.
Sejak Oktober 2022 sampai bulan ini, panel surya Kurniawan mengirim 2.030 kilowatt-jam (kWh) listrik ke PLN dan memakai 306 kWh dari jaringan PLN. Namun tagihan bulanannya tak berkurang, masih saja Rp 800 ribu. “Padahal saya sudah investasi Rp 120 juta untuk panel surya ini,” ujarnya, kecewa. Walhasil, Kurniawan cuma bisa menghibur diri, bahwa rumahnya sudah memakai energi baru dan terbarukan (EBT). Dashboard panel surya miliknya menunjukkan reduksi emisi 2,92 ton atau setara dengan dampak penanaman 159 pohon. “Jadi semacam personal environmental, social, and governance saja."
Persoalan semacam ini yang menghambat pertumbuhan angka penggunaan PLTS atap. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Anthony Utomo, pertumbuhan jumlah pengguna PLTS atap sebetulnya bisa jauh lebih besar. “Tapi tidak terjadi. Mereka mau mengadu saja susah," katanya.
Mengacu pada data Kementerian Energi, angka penggunaan panel surya mulai tumbuh pada 2018-2019. Pada 2018, pertumbuhan jumlah pengguna PLTS atap mencapai 609 unit dan setahun berikutnya melesat menjadi 1.064 unit. Pada 2021, angka tersebut mencapai 1.787 unit, sementara pada Januari-November tahun lalu 1.667 unit. Ada kemungkinan pertumbuhan jumlah pengguna perangkat ini stagnan.
Utomo Solar UV, perusahaan milik Anthony, terkena dampak mandeknya pertumbuhan jumlah pengguna panel surya. Pada 2021, Utomo Solar UV menjual inverter atau pengubah daya listrik hingga 110 megawatt. Tapi tahun lalu jumlah daya terjual anjlok menjadi 40 megawatt saja. “Itu pun setelah kami membuka pasar PLTS atap off-grid ke daerah-daerah yang belum ada listriknya,” ujarnya. Anthony paham bahwa panel surya akan membebani sekaligus menggerus jumlah pengguna listrik PLN. Namun dia yakin tren PLTS atap yang sedang menanjak di seluruh dunia tak bisa dibendung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo