Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Monopoli PLN menghambat transisi energi.
Pertumbuhan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap terancam mandek.
Kebijakan yang keliru bisa mematikan bisnis perusahaan rintisan PLTS atap.
SUDAH banyak bukti praktik monopoli di sektor kelistrikan kerap berujung pada inefisiensi. Di tengah rencana pemerintah mendorong penggunaan energi terbarukan, kompetisi yang tidak sehat tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga berpotensi menghambat transisi energi. Salah satu inisiatif yang terancam mandek adalah penyediaan setrum dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maju-mundur pengembangan energi bersih mengemuka setelah pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 mengenai PLTS atap. Alih-alih mendorong pertumbuhan angka pemakaian PLTS atap, Kementerian Energi hendak menghapus skema ekspor listrik dari pembangkit panel surya ke sistem jaringan PT Perusahaan Listrik Negara. Kebijakan ini sama saja dengan mempertahankan monopoli PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, dalam skema sebelumnya, setiap kelebihan setrum dari PLTS atap yang “diekspor” ke jaringan PLN dapat dihitung sebagai komponen pengurang tagihan atas biaya pemakaian listrik serta jaringan milik perusahaan setrum negara. Skema tersebut sejatinya menjadi insentif bagi pelanggan untuk beralih dari energi fosil ke energi hijau. Tujuannya adalah jumlah pengguna PLTS on-grid kelas industri dan rumah tangga terus bertumbuh. Dengan aturan baru, skema tersebut kelak tak berlaku lagi.
Dampaknya, banyak pelanggan tersandera. Panel-panel surya yang baru terpasang tidak bisa beroperasi karena menunggu kepastian regulasi baru. Para pelaku usaha yang menggarap proyek PLTS atap bahkan belum dibayar atas jasa yang mereka berikan. Disinsentif ini akan mengurangi minat calon pelanggan sekaligus mematikan bisnis perusahaan rintisan PLTS atap.
Masalahnya, pemerintah juga akan membagi kapasitas PLTS atap berdasarkan sistem dan subsistem kelistrikan PLN. Dengan demikian, kuota PLTS atap akan dibagi per wilayah sesuai dengan kebutuhan PLN. Tanpa transparansi kepada publik, pengembangan PLTS atap berdasarkan sistem kuota ini berpeluang menyuburkan praktik suap dan menjadi sarang korupsi. Perubahan ini menunjukkan pemerintah setengah hati menyediakan listrik dari energi matahari.
Padahal pemerintah punya target tinggi: pemakaian PLTS atap mencapai 3.600 megawatt hingga 2025. Inisiatif itu bagian dari upaya pemerintah mewujudkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun yang sama. Target itu kemungkinan besar sulit tercapai. Hingga November tahun lalu, jumlah pelanggan PLTS atap baru 6.461 dengan total kapasitas 77,60 megawatt.
Pertumbuhan PLTS atap jalan di tempat karena, sejak terbit, peraturan Menteri Energi tersebut tak bisa sepenuhnya dieksekusi. PLN menolak membeli 100 persen kelebihan listrik yang dipasok PLTS atap. Penolakan itu semata hanya ditujukan untuk mengamankan kepentingan para pemasok setrum swasta, yang sebagian besar memakai energi fosil.
Agar tidak bergantung pada PLN, sudah saatnya pelanggan melirik PLTS atap berbasis baterai. Seiring dengan inovasi, harga baterai berkapasitas lebih besar akan makin terjangkau. Perkembangan teknologi memungkinkan pelanggan PLTS atap memproduksi setrum secara mandiri tanpa perlu masuk ke sistem jaringan PLN. Kementerian Energi seperti tidak punya visi dalam mengembangkan energi bersih. Kemajuan inovasi di sektor energi terbarukan akan membuat aturan-aturan yang mereka susun sia-sia.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo