Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ekspor Hilang, Tekor Terbilang

Aturan baru PLTS atap menghapus skema ekspor impor listrik. Tak ada lagi insentif bagi pengguna panel surya. 

5 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses pemasangan panel surya di pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, Desember 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah akan mengubah aturan PLTS atap.

  • Pengguna PLTS atap tak lagi mendapat insentif dari ekspor listrik.

  • Sejumlah asosiasi mengajukan keberatan kepada pemerintah.

PANEL surya seluas 20 ribu meter persegi telah terpasang di atap pabrik PT Coca-Cola Europacific Partners Indonesia yang berada di kawasan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sejak tahun lalu. Sayangnya, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap berkapasitas 2,4 megawatt itu belum bisa beroperasi karena terjegal masalah izin. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur Nur Kholis mengatakan lembaganya sudah menerbitkan izin tahun lalu. Tapi izin dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) belum ada. "Proses kami lebih cepat," katanya kepada Tempo pada Jumat, 3 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lambatnya penerbitan izin dari PLN bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong pemakaian PLTS atap. Di Jawa Timur, Gubernur Khofifah Indar Parawansa menerbitkan surat edaran yang mengimbau pemakaian panel surya di atap gedung kantor pemerintah dan swasta. Pemerintah Jawa Timur juga membantu pemasangan PLTS atap di beberapa pondok pesantren dan bagi masyarakat kurang mampu. Hingga 2020, kapasitas panel surya yang pemasangannya dibantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah mencapai 1.505 kilowatt-peak (kWp). Di Jawa Timur, kapasitas PLTS mencapai 68,21 megawatt sampai tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Nur Kholis, pengembangan PLTS atap terhambat regulasi yang membingungkan. Di satu sisi, pemerintah mendorong pemanfaatan PLTS atap sebagai bentuk energi baru dan terbarukan. Tapi, di pihak lain, PLN memberlakukan pembatasan. “Yang pusing kami selaku pelaksana,” ujarnya.

Pemerintah sedang menyusun perubahan regulasi tentang PLTS atap. Pada 6 Januari lalu, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggelar audiensi untuk menjaring pendapat masyarakat. Tapi sampai saat ini penyusunan draf peraturan itu belum rampung.

Pengurus masjid membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya mandiri di Masjid KH Ahmad Dahlan di Karangploso, Malang, Jawa Timur, Mei 2022. Antara/Ari Bowo Sucipto

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana mengatakan telah menyampaikan paparan publik dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di sektor ini. “Banyak masukan yang kami peroleh,” tuturnya pada Sabtu, 4 Februari lalu. Menurut Dadan, pemerintah akan mengevaluasi aspirasi publik dan menyelesaikan revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap on-grid atau dalam jaringan sistem kelistrikan. 

Poin yang krusial dalam rancangan revisi aturan itu adalah penghapusan net-metering atau ekspor-impor listrik dari PLTS atap ke jaringan PLN serta penerapan kuota pemasangan PLTS atap dalam sistem kelistrikan. Meski belum berlaku, klausul ini sudah menuai protes. Salah satunya dari Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (Perplatsi) yang melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi energi. 

Dalam surat yang diteken Ketua Umum Perplatsi I Gusti Ngurah Erlangga pada Kamis, 12 Januari lalu, tercantum penolakan terhadap penghapusan skema ekspor-impor listrik. Menurut Perplatsi, skema itulah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk memasang PLTS atap. Perplatsi juga mempersoalkan sistem kuota pemasangan PLTS atap. Adapun Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih mengadu ke Komisi VII DPR pada pertengahan Januari lalu. “Kami menerima keluhan dan usulan secara umum,” kata anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto.

Penolakan terhadap penghapusan skema ekspor-impor listrik dan kuota PLTS atap juga disuarakan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI). Dalam suratnya kepada Menteri Energi tertanggal 15 Januari 2023, AESI memberikan matriks usulan terhadap amendemen Peraturan Menteri Energi Nomor 26 Tahun 2021. Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengusulkan skema net-metering tetap berlaku bagi pelanggan rumah tangga, sosial, dan industri kecil-menengah. 

Melalui net-metering, pengguna PLTS atap bisa menjual kelebihan listrik yang dihasilkan panel surya kepada PLN. Hasil penjualan ini menjadi pengurang tagihan listrik bulanan yang harus dibayar pengguna PLTS atap on-grid atau yang tersambung dengan jaringan PLN. Dengan kompensasi ini, tingkat pengembalian investasi PLTS atap bisa lebih cepat dari sepuluh tahun menjadi delapan tahun. Tapi, jika tak ada mekanisme ekspor-impor, pengguna PLTS atap bisa jadi tekor lantaran biaya investasi yang mereka tanggung sangat tinggi.

Sebagai pembaruan, AESI mengusulkan angka faktor pengali sebesar 85 persen. Dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 26 Tahun 2021, faktor pengali atas listrik dari panel surya yang dijual kepada PLN sebesar 100 persen. Tapi, kenyataannya, skema ini tak terwujud karena PLN sebagai pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik hanya memberlakukan faktor pengali sebesar 65 persen, mengacu pada regulasi sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Energi Nomor 49 Tahun 2018. 

Petugas PLN mengecek panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Pulau Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan, Desember 2022. Antara/Abriawan Abhe

Usul AESI berikutnya adalah penghapusan sistem kuota penggunaan PLTS atap. Fabby mengaku khawatir terhadap pemberlakuan sistem kuota yang bisa menghambat pertumbuhan jumlah pengguna PLTS atap. “Kecuali jika tersedia informasi yang terbuka, tepat waktu, dan real-time,” ujarnya. Menurut Fabby, kuota atau pembatasan kapasitas PLTS atap bisa berlaku jika pemerintah membuka data secara transparan dan mengevaluasi pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan ini secara rutin. Dia khawatir ada pihak yang mempermainkan kuota jika tak ada transparansi data. “Ini bisa dipermainkan oleh petugas tertentu, dengan mengatakan kuota sudah habis dan menjanjikan akses dengan imbalan tertentu." 

Ihwal masalah itu, Dadan Kusdiana mengatakan regulasi PLTS atap disusun secara adil. Dia juga meminta pengguna PLTS atap kembali ke tujuan semula, yaitu menggunakan sumber energi itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri. “Bukan menjual listrik ke PLN." Dengan prinsip ini, Dadan melanjutkan, pengguna PLTS atap akan menghitung ulang kebutuhannya sebelum memasang panel surya. Adapun perihal kuota, Dadan memastikan penerapannya dilakukan bersamaan dengan penghapusan pembatasan kapasitas PLTS atap. “Selama kuota masih tersedia, permohonan PLTS atap akan disetujui sepanjang persyaratannya lengkap.”

•••

AKUN Instagram @infien.energy biasanya ramai oleh ratusan pertanyaan tentang tata cara pemasangan hingga pembiayaan pembangkit listrik tenaga surya atap. Infien Energy, perusahaan pemasang panel surya untuk perumahan, selama ini menawarkan solusi pembiayaan bekerja sama dengan beberapa bank. Tapi, sejak awal tahun lalu, akun media sosial perusahaan ini sepi. Lantaran izin pemasangan PLTS atap kian rumit, banyak calon pengguna yang mengurungkan niat.  

Menurut pemilik Infien Energy, Firman, ribetnya aturan pemasangan PLTS atap menyebabkan masalah baru. Akibat jumlah peminat PLTS atap yang merosot tajam, Infien Energy terjerat persoalan keuangan. Sebab, sebanyak 15 paket panel surya yang telah terpasang di atap pelanggan belum dibayar. Pelanggan enggan melunasi pembayaran karena PLTS atap yang terpasang tak bisa beroperasi gara-gara belum tersambung dengan jaringan PLN. “Kapasitasnya 7-15 kWp, semuanya untuk sambungan rumah tangga," tutur Firman.

Nasib serupa menimpa Yves, pemilik Rumah Panel Surya, perusahaan rintisan yang berdiri pada 2020. Beberapa paket pekerjaan yang ia garap sebenarnya telah rampung. Tapi, gara-gara masalah izin sambungan ke jaringan PLN, PLTS atap berkapasitas 5 kWp dan 6 kWp yang sudah dipasang juga belum dibayar penggunanya. “Padahal kami harus membayar vendor sampai upah tenaga kerja,” ujarnya.

Keluhan ini, menurut Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa, menjadi gambaran disinsentif terhadap penggunaan PLTS atap. Karena itu pula AESI ingin revisi aturan tentang PLTS atap segera rampung. Fabby mengatakan sebagian besar anggota asosiasinya adalah instalatur PLTS atap skala rumah tangga. Jika ketidakjelasan aturan ini terus berlangsung, akan banyak perusahaan pemasang PLTS atap yang gulung tikar. 

Persoalan ini juga menghambat pertumbuhan angka penggunaan PLTS atap. Menurut Wakil Ketua Umum AESI Anthony Utomo, pertumbuhan jumlah pengguna PLTS atap sebetulnya bisa jauh lebih besar. Mengacu pada data Kementerian Energi, penggunaan panel surya mulai tumbuh pada 2018-2019. Pada 2018, jumlah pengguna PLTS atap mencapai 609 dan setahun berikutnya melesat menjadi 1.064. Pada 2021, jumlah pengguna panel surya sebanyak 1.787, sementara pada Januari-November tahun lalu 1.667. Ada kemungkinan pertumbuhan jumlah pengguna perangkat ini stagnan. 

Sedangkan Sekretaris Perusahaan Pertamina Power Dicky Septriadi mengatakan diperlukan kepastian regulasi yang mendukung pengembangan PLTS atap. Perizinan yang ringkas, menurut dia, penting sebagai komitmen pemerintah untuk mencapai net zero emission melalui pemakaian energi bersih. Sampai saat ini, Pertamina Power telah membangun panel surya berkapasitas hingga 15,4 megawatt-peak (mWp), yang terpasang di fasilitas operasi dan perkantoran Grup Pertamina. "Sebanyak 1,7 mWp terpasang di atap stasiun pengisian bahan bakar umum," ucapnya. Pertamina Power juga membangun PLTS atap berkapasitas 230 kWp di Kawasan Industri Jababeka.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana menegaskan bahwa regulasi baru yang sedang disusun dapat menyelesaikan semua masalah yang mengganjal pemanfaatan PLTS atap. “Kami melibatkan PLN dan semua pemangku kepentingan dalam pembahasan aturan ini,” katanya. Dadan berharap lewat regulasi baru pertumbuhan jumlah pengguna PLTS atap makin meningkat dan target pemasangan sebesar 3,61 gigawatt pada 2025 tercapai. 

Adapun Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan perseroan berkomitmen menjadi pilar utama transisi energi melalui pengembangan PLTS atap. "Eco lifestyle menjadi gaya hidup baru masyarakat," ucapnya. Ihwal rumitnya aturan pemasangan PLTS atap, Gregorius mengatakan PLN akan mematuhi setiap regulasi yang ditetapkan pemerintah dan menghormati perjanjian yang sudah disepakati bersama pelanggan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus