Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Pemerintah Tak Bisa Mencegah Barang Impor Ilegal

Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan kerugian negara Rp 3,9 triliun akibat impor ilegal. Mengapa masih belum teratasi?

6 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Barang impor ilegal yang siap dimusnahkan di Kementerian Pergadangan, Jakarta, 19 Agustus 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Total nilai barang impor ilegal yang disita sepanjang Januari-November 2024 sebesar Rp 6,1 triliun

  • Maraknya aktivitas impor ilegal ini diduga menjadi penyebab utama industri tekstil ambruk.

  • Pakaian jadi dan tekstil gelondongan menjadi barang ilegal paling sering masuk ke Indonesia.

PENYELUNDUPAN barang impor ilegal belum juga teratasi. Sejak Januari hingga November 2024, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan melakukan 31.275 kali penindakan perdagangan ilegal. Namun produk impor ilegal terus membanjiri pasar dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, setiap bulan pemerintah menindak aktivitas perdagangan ilegal lebih dari 5.000 kali. Total nilai barang impor ilegal yang disita sepanjang 2024 sebesar Rp 6,1 triliun. Ia memperkirakan potensi kerugian negara sebesar Rp 3,9 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari seluruh penindakan, mayoritas barang selundupan yang ditemukan merupakan komoditas tekstil dan produk tekstil. Nilainya mencapai Rp 4,6 triliun. “Ini yang meresahkan banyak masyarakat, tapi juga pada saat yang sama kita lihat banyak yang dijual di masyarakat luas,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resmi pada Kamis, 14 November 2024.

Maraknya aktivitas impor ilegal ini diduga menjadi penyebab utama industri tekstil di Tanah Air ambruk. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan barang impor ilegal yang murah membuat produk lokal kalah bersaing di pasar domestik. Menurut dia, lonjakan jumlah produk impor telah berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, terutama di sektor tekstil.

Hingga 15 November 2024, tercatat 30 perusahaan tekstil tutup dan menyebabkan PHK lebih dari 11.207 pekerja. Karena itu, Agus meminta Direktorat Bea dan Cukai konsisten menindak barang impor yang masuk secara ilegal serta memperkuat pengawasan dan penindakan di pelabuhan.

Sengkarut impor ilegal di pasar domestik juga terus disuarakan kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja menyatakan pakaian jadi dan tekstil gelondongan masih menjadi barang ilegal yang paling sering masuk ke Indonesia.

Jemmy menuturkan produk ilegal ini langsung bersaing dengan barang lokal tanpa melalui proses manufaktur lanjutan, sehingga tidak memberikan nilai tambah. Selain menghambat penyerapan tenaga kerja dalam negeri, kehadiran produk jadi impor merusak target pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Berkolaborasi dengan Kementerian Koperasi dan UKM, API mencatat 50 persen impor tekstil dan produk tekstil asal Cina masuk ke Indonesia secara ilegal. Jemmy mengungkapkan ada selisih data impor yang signifikan pada pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) dengan produk lainnya (HS 63). Ia membeberkan Indonesia mengimpor ke Cina pada kuartal I 2024 untuk kode HS 61 senilai US$ 118,87 juta, kode HS 62 senilai US$ 87,75 juta, dan kode HS 63 senilai US$ 116,36 juta.

Sementara itu, berdasarkan data laporan Cina ekspor ke Indonesia, kode HS 61 senilai US$ 269,57 juta, kode HS 62 US$ 247,68 juta, dan kode HS 63 US$ 366,23 juta. Dari data tersebut, API menyimpulkan ada selisih nilai impor dengan jumlah besar yang tidak tercatat. Antara lain selisih nilai impor kode HS 61 sebesar US$ 150,70 juta, kode HS 62 sebesar US$ 159,93 juta, dan kode HS 63 sebesar US$ 249,87 juta.

Menurut Jemmy, kondisi ekonomi global yang melemah mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat terhadap produk pakaian jadi di berbagai negara. Walhasil, terjadi kelebihan pasokan produk di tingkat global yang tidak terserap. Barang tersebut akhirnya masuk ke pasar Indonesia secara ilegal. Ditambah kurangnya pengawasan dan regulasi yang ketat di kawasan pabean yang membuka celah bagi pelaku untuk melakukan impor ilegal.

Jemmy menduga masalah utama sengkarut impor ilegal terletak pada penyelundupan yang dilakukan oleh importir besar. Ia menilai regulasi yang ada saat ini masih memiliki banyak celah yang dimanfaatkan pelaku impor ilegal. Maka pemerintah perlu meninjau kembali aturan yang berlaku dan memperbaikinya untuk menutup celah tersebut.

Di sisi lain, Jemmy berpendapat ada celah lain yang turut mendorong banjirnya impor ilegal, yaitu e-commerce lintas negara. API menemukan bahwa e-commerce lintas negara sering dimanfaatkan oleh importir untuk mendistribusikan barang ilegal. Namun e-commerce hanya berperan sebagai outlet akhir. "Karena itu, kami berharap penegakan hukum bisa lebih berfokus pada pengawasan di kawasan pabean," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 5 Desember 2024.

Sementara itu, penegakan hukum saat ini dinilai kurang efektif, terutama jika hanya dilakukan di pasar. Sebab, Jemmy menilai hal itu malah sering menimbulkan keributan antarpihak dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Dia menekankan bahwa penindakan semestinya dimulai dari regulasi yang kuat dan pengawasan yang ketat di kawasan pabean. Selain itu, memperkuat kolaborasi antara instansi pemerintah dan pihak swasta.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta menuturkan harga jual barang impor ilegal lebih murah sekitar 40 persen dibanding barang impor resmi. Karena itu, pemberantasan impor ilegal mendesak dilakukan untuk memproteksi industri dalam negeri.
 
Redma berpandangan ada tiga masalah utama penyebab impor ilegal. Pertama, barang diimpor dalam jumlah besar tanpa perincian sesuai dengan jenis atau nilai sehingga sulit diawasi. Kedua, penyalahgunaan kode HS untuk barang impor agar dikenakan tarif yang lebih rendah atau salah klasifikasi. Ketiga, pengurangan nilai barang pada dokumen impor untuk menghindari pajak yang seharusnya lebih besar.

Menurut Redman, semua praktik ini membuat barang impor dijual di bawah harga wajar dan merugikan industri lokal. Dengan demikian jika kinerja Bea Cukai dalam menangani impor ilegal tidak juga diperbaiki, kebijakan apa pun akan menjadi kurang efektif.

Ekonom Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan bahwa disparitas harga antara pasar internasional dan domestik memang menjadi salah satu faktor yang membuat barang ilegal menjamur di Tanah Air. "Ketika harga barang di luar negeri jauh lebih rendah, muncul insentif kuat bagi importir untuk membawa masuk barang secara ilegal," tuturnya.

Menurut Yusuf, masalah ini makin diperburuk oleh lemahnya pengawasan di pelabuhan-pelabuhan yang menjadi pintu masuk impor. Dengan banyaknya pelabuhan di Indonesia, seperti di Belawan, Bitung, hingga Soekarno-Hatta, pengawasan menjadi sangat sulit. Ketidakefektifan sistem kontrol dan kurangnya integrasi data antara otoritas domestik dan negara asal barang pun membuka celah bagi penyelundupan.

Barang impor ilegal yang siap dimusnahkan di Kementerian Perdagangan, Jakarta, 19 Agustus 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Untuk menekan disparitas harga tersebut, Yusuf merekomendasikan pemerintah meningkatkan kerja sama antara otoritas kepabeanan, pajak, dan kepolisian, serta menggunakan teknologi informasi untuk memantau pergerakan barang secara real time. Selain itu, evaluasi regulasi perpajakan dan penyederhanaan prosedur impor perlu dilakukan untuk menutup celah yang memungkinkan terjadinya pelanggaran.

Lemahnya pengawasan di titik masuk, seperti pelabuhan dan perbatasan, pun diungkapkan oleh peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah. Shofie menuturkan korupsi di kalangan petugas yang seharusnya mengawasi masuknya barang membuat penyelundupan masih terus terjadi. Faktor geografis Indonesia yang terdiri atas banyak pulau juga memudahkan aktivitas penyelundupan barang ilegal melalui jalur-jalur yang sulit diawasi.

Dengan menganalisis selisih antara data ekspor Cina ke Indonesia yang diperoleh dari otoritas Cina dan data impor Indonesia dari Cina yang diperoleh dari otoritas Indonesia, Next Policy memperkirakan impor ilegal untuk produk tekstil serta pakaian jadi (kode HS 61, 62, dan 63) dari Cina ke Indonesia dalam 6 tahun terakhir, antara Januari 2018 dan Mei 2024, mencapai US$ 3,98 miliar.

Shofie menyarankan pemerintah memperkuat pengawasan berbasis teknologi dan meningkatkan kerja sama internasional dengan negara-negara tetangga untuk mencegah peredaran barang ilegal yang melintasi perbatasan. Ringannya hukuman yang diberikan kepada pelaku impor ilegal juga membuat penyelundupan ini terus berjalan, sehingga pemberlakuan denda besar bagi pelaku bisa memberi efek jera.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus