Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makanya, Kamis minggu lalu di Singapura, jajaran eksekutif Astra Internasional bertemu para kreditur asingnya. Rini M.S. Soewandi, Presiden Direktur AI, berhasil mengegolkan kesepakatan awal: berhenti membayar bunga utang sebesar US$ 1,4 miliar. Selain itu, pihak Grup Astra juga minta untuk menunda pembayaran utang beberapa anak perusahaan sampai jangka waktu lima tahun.
Bendera putih yang dikibarkan Astra mengagetkan lebih dari 100 bank krediturnya. Karena AI mengaku sudah tidak mungkin lagi membayar utang yang jatuh tempo dalam satu sampai dua tahun ini. Lalu, Astra secara blak-blakan memaparkan nasib anak-anak perusahaannya. Di sana ada temuan yang mengagetkan, ada tiga anak perusahaan andalannya yang tak mampu membayar cicilan uang, yaitu PT AI sendiri, PT Astra Graphia, dan PT United Tractors (lihat info grafis). "Kami adalah satu-satunya perusahaan yang membuka diri soal utang," kata Rini seperti dikutip The Asia Wall Street Journal (AWSJ).
Rini agaknya tak punya pilihan lain selain bersikap transparan karena "dagangannya" sudah terpuruk sejak Juli tahun lalu. Pada semester pertama tahun ini, penjualan mobil merek Toyota, Daihatsu, Isuzu, BMW, Peugeot, dan truk Nissan merosot hingga 78,5 persen, sampai hanya 20 ribu unit saja yang laku. Penurunan kinerja terjadi hampir di semua lini usaha, kecuali sektor pertanian ? yang labanya naik 50 persen menjadi sekitar Rp 130 miliar.
Dengan kondisi "lampu merah" itu, Astra memang ringkes-ringkes. Sebelum pertemuan dengan kreditur misalnya, Astra sudah menjual seluruh saham anak perusahaannya, PT Astra Microtronics Technology (AMT) di Batam. Pabrik yang memproduksi semikonduktor itu dijual senilai US$ 90 juta ke Newbridge Capital, sebuah financial investor dari Amerika. Astra Internasional juga menjual 25 persen saham PT Astra Daihatsu Motor (ADM) senilai Rp 450 miliar kepada prinsipalnya di Jepang akhir September lalu.
Masih ada kans untuk Astra? Masih ada, begitu ramal Muhammad Syahriyal, kepala riset Pentasena Securities. Syaratnya berat, Astra hanya boleh main di lapangan terbatas: agrobisnis, jasa keuangan, dan telekomunikasi. Cabang bisnis lainnya harus diamputasi total. Toyota Astra Motor yang mengurusi Toyota, boleh dikembalikan saja ke Jepang. BMW, Peugeot, atau Isuzu juga mesti dilepaskan. Paling banter, kalau tetap mau "main" di motor, Astra masih boleh merakit sepeda motor. Bisnis alat berat lewat bendera United Tractors disarankan untuk dibuang saja.
Itu pun, kata Syahriyal, belum menjamin umur panjang Astra. Soalnya, tahun ini saja modal kerja dan beban pembayaran utang yang harus ditanggung mencapai Rp 8,9 triliun (dengan kurs Rp 8000). Alhasil, tahun ini Astra perlu suntikan Rp 4,5 triliun agar "tak goyah" jalannya.
Tapi, merek Astra rupanya masih "sakti". Syahriyal yakin bahwa para kreditur asing tak akan membangkrutkan Astra yang sedang gelagapan. Asal, itu tadi, Astra mau main di lahan bisnis yang terbatas.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo