Masih ada daerah abu-abu dalam kasus PT Freeport Indonesia, setelah telunjuk mengarah ke Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita. Menteri Ginandjar dituduh ekonom Amerika Jeffrey Winters "ada main" dalam hal saham Freeport yang dimiliki konco-konconya?misalnya Aburizal Bakrie atau Abdul Latief. Itu berita pekan lalu.
Lanjutannya, orang bertanya: sudah "luruskah" perpanjangan kontrak karya Freeport pada 1991. Adakah patgulipat di dalamnya? Repot menjawabnya. Bagai bau bangkai: ada baunya, belum jelas apa dan di mana bangkainya. Yang jelas, ada banyak kesibukan. Misalnya, Ginandjar berinisiatif datang ke Kejaksaan Agung awal minggu lalu. Rizal Ramli, sebagai bos Econit, lembaga peneliti yang ditunjuk mempunyai data tentang korupsi di Freeport, juga datang ke Markas Besar Polri. Polisi pun tak kalah sibuk melancarkan investigasi. Semuanya untuk satu tujuan: klarifikasi.
Sayangnya, kasusnya sendiri tidak kelar. Masih saja menggantung pertanyaan tentang perpanjangan kontrak karya sampai tahun 2003 itu. Hal itu wajar karena ada "keanehan" yang menyertai perpanjangan kontrak, seperti beralihnya saham Freeport 10 persen ke Grup Bakrie hanya sehari setelah kontrak diteken. Juga menjadi pertanyaan: mengapa J.B. Sumarlin, yang ketika itu Menteri Keuangan, menolak ketika Ginandjar menawarkan 10 persen saham Freeport untuk pemerintah.
Di tengah ketidakjelasan itu, Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo mengeluarkan pernyataan bahwa Freeport tidak wajib mengalihkan saham (divestasi) ke pemerintah hingga 51 persen. Pernyataan itu langsung diprotes oleh mantan ketua Tim Negosiasi Pemerintah-Freeport, Rachman Wirjosudarmo. Adapun Dirjen Pertambangan Umum, Rozik Boedioro Soetjipto, menyatakan "kita harus punya bukti yang kuat dulu" ketika menjawab apakah perpanjangan kontrak itu akan ditinjau lagi. Apakah kasus Freeport ini akan berakhir seperti sinetron tanpa ending jelas?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini