Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan utama Algazali terhadap filsafat Aristoteles--salah satunya menyangkut hukum sebab-akibat yang dinilai mengabaikan kemahakuasaan Tuhan--tertuang dalam buku Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Bagi Algazali, hukum sebab-akibat itu tidak pasti, karena Tuhan berkuasa mengubahnya.
Pendapat itu dikritik oleh Rusyd--masyarakat Barat menyebut dia Averroes--yang ia tuangkan dalam buku Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan). Menurut Averroes, hukum sebab-akibat ala Algazali tidak bisa dijadikan pijakan untuk pengembangan sains yang membutuhkan kepastian.
Melihat judul buku kedua tokoh tersebut, seolah pemikiran keduanya berseberangan. Tapi ternyata tidak sepenuhnya begitu. Sebuah disertasi berjudul Problematika Metafisika dan Fisika dalam Filsafat Islam: Perbandingan Antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd oleh Amsal Bakhtiar berusaha mengurai perbandingan pemikiran kedua ulama tersebut secara obyektif.
Sikap obyektif itu--tidak bersikap oposisional dalam istilah Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang memimpin ujian disertasi di Insitut Agama Islam Negeri Jakarta itu--diperlukan mengingat banyak pembahas pemikiran Algazali dan Averroes hanya memfokuskan pada perbedaannya. "Apakah tidak ada persamaannya? Jangan-jangan perbedaannya hanya retorik," kata Amsal, yang berhak menyandang gelar doktor dalam bidang filsafat Islam itu.
Untuk menjawab asumsi itu, dari sekitar dua puluh bahasan keduanya, Amsal membahas tiga persoalan metafisika dan satu persoalan fisika. Kesimpulannya, kedua tokoh besar dalam sejarah Islam itu memiliki kesamaan dalam persoalan-persoalan akidah yang prinsip, antara lain bahwa Tuhan pencipta alam, bahwa alam adalah ciptaan baru, bahwa Tuhan mampu membangkitkan manusia di akhirat secara jasmani maupun rohani.
Namun perbedaannya juga banyak. Yang paling penting menyangkut hukum kausalitas. Bagi Algazali, tak ada hukum sebab-akibat yang pasti karena Tuhan berkuasa mengubahnya. Alam terbentuk dari teori serba mungkin dan kemahakuasaan Tuhan. Algazali mengutamakan sumber wahyu dan intuisi sebagai rujukan dalam persoalan metafisika dan fisika dan cenderung ingin membuktikan kebenaran mukjizat.
Berbeda dengan Averroes, yang rasional dan cenderung ingin membuktikan kebenaran sains. Menurut "Sang Penjelas Aristoteles" ini, hukum sebab-akibat yang memiliki tingkat kepastian yang tinggi melekat pada setiap benda. Tapi ia mengakui peran Tuhan sebagai pencipta hukum alam--sekaligus koreksi atas hukum sebab-akibat ala Aristoteles. Cara pandang ini oleh Amin Abdullah, doktor filsafat IAIN Yogyakarta, disebut positivisme religius, yakni filsafat ilmu pengetahuan yang mengakui peran Tuhan di belakang hukum sebab-akibat.
Sayangnya, pemikiran Averroes yang berkembang di Barat--setelah mengalami transmisi ke Eropa--menurut Prof. Azyumardi, rektor IAIN Jakarta, adalah hukum sebab-akibat yang mengabaikan peran Tuhan. Averroes hanya dijadikan batu loncatan untuk menggali filsafat Aristoteles.
Pengkajian kembali pemikiran Averroes, juga Algazali, suatu hal yang relevan pada era pascamodern ini. Pemikiran yang menyangkut ontologi - hakikat realitas kembali "dilirik" oleh ilmuwan Barat, terutama setelah ditemukannya beberapa teori fisika--antara lain fisika kuantum--yang telah "membukakan pintu" bagi Tuhan. Memang agama dan filsafat (juga sains) sejatinya adalah "saudara kandung" yang mestinya dirujukkan.
Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo