Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKONOMI kita sedang mengalami “perdarahan” hebat. Ada aliran devisa yang keluar dengan amat kencang sebulan terakhir. Inilah imbas wabah global Covid-19 yang mengguncang pasar finansial global. Semua investor, baik besar, kecil, individu, maupun institusi, sekarang sedang melakukan realokasi investasi portofolionya, mencari aman.
Realokasi investasi itulah yang memicu “perdarahan” devisa di Indonesia. Dana investasi asing yang sebelumnya tenang-tenang saja parkir di berbagai obligasi negara ataupun pasar saham mendadak gelisah, dan kemudian hengkang dalam jumlah signifikan.
Terjadilah obral portofolio, investor asing menjual saham ataupun berbagai obligasi pemerintah yang mereka miliki. Dari pasar saham, selama sebulan hingga Jumat sore, 20 Maret lalu, asing secara neto menjual saham senilai Rp 9,68 triliun. Dari pasar obligasi negara lebih dahsyat nilainya. Posisi kepemilikan asing per 18 Maret tinggal Rp 975 triliun, berkurang Rp 95 triliun dalam sebulan saja.
Jika “perdarahan” ini berlanjut, kurs rupiah akan terus merosot. Gambaran sederhananya begini: investor asing akan menukar rupiah hasil penjualan portofolio itu dengan dolar Amerika Serikat untuk dibawa pulang. Permintaan akan dolar Amerika di dalam negeri mendadak naik dan membuat harganya melonjak. Itulah sebabnya dalam sebulan terakhir kurs dolar terbang dengan cepat, sempat melampaui batas Rp 16 ribu per dolar.
Aliran dana yang keluar dari obligasi negara senilai Rp 95 triliun, atau sekitar US$ 6 miliar, itu memang cukup signifikan. Dana yang sudah pulang tersebut setara dengan 10 persen dari posisi total sebulan lalu. Pertanyaan krusialnya, seberapa besar aliran dana ini bakal terus keluar? Apakah sudah cukup sampai 10 persen atau akan berlanjut hingga 20 persen, atau bahkan lebih? Kalau dana yang keluar baru 10 persen saja kurs rupiah sudah terbang sampai sekitar 16 ribu per dolar Amerika, bagaimana jika dana yang hengkang mencapai 20 persen?
Dana asing yang parkir di investasi portofolio memang merupakan titik lemah ekonomi Indonesia. Inilah tumit achilles yang bisa menjungkirbalikkan keadaan tanpa Indonesia bisa berbuat apa-apa. Memang begitulah karakter investasi portofolio: sangat likuid, mudah datang dan pulang. Jika ada guncangan eksternal seperti saat ini, dengan mudah dana itu kabur serentak membuat kurs rupiah ambles.
Selain mencari tempat berlindung yang lebih aman, tentu ada faktor turunnya keyakinan pada Indonesia yang memicu keputusan investor untuk pergi. Itu tecermin pada terbangnya imbal hasil atau yield obligasi pemerintah. Per 20 Maret, yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun tercatat 8,214 persen, naik hingga 25,36 persen hanya dalam dua pekan. Sementara imbal hasil naik tajam, harga obligasi merosot tajam. Dari situ terlihat menurunnya keyakinan investor. Mereka tetap mengobral obligasinya meski harganya ambrol.
Baik pemerintah maupun otoritas keuangan harus berupaya dengan sangat serius memulihkan keyakinan investor agar “perdarahan” tidak terus berlanjut. Upaya ini memang tidak mudah karena banyak perkiraan dan analisis bahwa wabah Covid-19 akan cukup telak memukul ekonomi Indonesia. Kritik yang berhamburan dari mana-mana terhadap pemerintah dalam soal penanganan Covid-19 yang jauh dari ideal kian melunturkan keyakinan investor bahwa wabah ini bisa dengan cepat teratasi. Walhasil, ekonomi Indonesia bisa lebih keras lagi terpukul pagebluk.
Maka pasar sekarang menunggu bagaimana respons kebijakan pemerintah ataupun otoritas keuangan untuk memulihkan keyakinan dan mengatasi “perdarahan” ini. Jika tidak ada sesuatu yang meyakinkan, dan “perdarahan” terus berlanjut, entah sampai mana rupiah akan terpuruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo