PARA pengusaha kehutanan dikejutkan oleh sepucuk SK Menteri
Pertanian, berlaku mulai 8 Oktober lalu. Isinya: Kenaikan iuran
hak pengusahaan hutan (HPH), sekaligus kenaikan iuran hasil
hutan yang rata-rata 3 x lipat. Mungkin karena anggotanya belum
berkumpul di Jakarta atau mungkin karena harga kayu meranti --
itu pelopor ekspor kayu -- sedang menanjak (kini AS$ 60/m3), MPI
belum memberikan tanggapan. Sekalipun beberapa pengusaha kayu
mulai bertanya-tanya.
Seorang pimpinan Mitsubishi Jepang yang punya konsesi 100 ribu
Ha dekat Balikpapan tampak bingung: "Nantinya berapa besar
royalties yang seluruhnya harus kami bayar?" Perusahaan itu
tadinya harus membayar royalties sebesar AS$ 3/m3 yang terdiri
dari 2 komponen: iuran hasil hutan dan pungutan untuk membiayai
pemukiman kembali (resettlement) penduduk asli Kalimantan dan
pengerukan sungai-sungai di daerah konsesi. Dua macam pungutan
itu, bagi maskapai BFI (Balikpapan Forest Industries) itu
besarnya masing-masing AS$ 1,50/m3. Tarif itu tergolong paling
tinggi, sebab konsesi BFI letaknya di wilayah I menurut
administrasi Kehutanan (Kal-tim & Maluku Utara), seperti halnya
kongsi Tri Usaha Bhakti & Weyerhaeuser (ITCI), serta anak
perusahaan Soriano Brothers, KRTP.
Dengan SK Mentan No. 561/1976 itu, iuran hasil hutan bagi ketiga
perusahaan besar itu naik menjadi Rp 2000/ m3, khususnya untuk
meranti berdiameter 50 senti. Nah, kalau iuran hasil hutan yang
dilola oleh Ditjen Kehutanan itu naik 3 x lipat, berapa kenaikan
iuran pemukiman kembali yang dilola Menteri Mintareja &
Sekretariat Negara? Kalau pungutan itu pun naik 3 x lipat, maka
seluruh royalties kayu meranti itu bisa naik menjadi $ 10 per
m3. Atau 16% dari harga kayu meranti di pasaran dunia sekarang.
Sesungguhnya SK Mentan soal kenaikan iuran hasil hutan itu baru
dikeluarkan 5 tahun setelah ketentuan yang lama, dan mungkin
baru 5 tahun kemudian akan diperbaharui lagi. Namun yang
dikhawatirkan eksportir kayu seperti Mitsubishi itu adalah naik
turunnya harga kayu yang bisa terjadi beberapa Rali dalam
periode 5 tahun itu, tergantung keadaan pasaran di luar negeri.
"Dalam jangka pendek", kata seorang eksportir pada TEMPO,
"kenaikan iuran hasil hutan itu masih dapat diserap oleh
tingginya harga meranti eks Ka- limantan Timur. Tapi entah
bagaimana akibatnya kalau pungutan pemukiman kembali itu juga
dinaikkan".
Sementara itu, paket perangsang ekspor 1 April 1974 kabarnya
juga belum mereka nikmati seluruhnya. Sebagai tindak lanjut dari
paket Menteri Radius itu, pajak ekspor untuk meranti diturunkan
sampai 10%, dan kayu bakau malah dihapuskan sama sekali. Tapi
berabenya, para eksportir kayu seringkali belum bisa akur dengan
Bea Cukai soal harga mana yang harus dijadikan patokan untuk
pemungutan pajak ekspor itu: harga patokan (HP) yang ditentukan
oleh Departemen Perdagangan, atau harga riil yang tercantum
dalam kontrak antara eksportir dengan importir di luar negeri.
Para eksportir cenderung mencantumkan HP pada dokumen invoice
sesuai dengan petunjuk Bl melalui surat etarannya akhir April
lalu.
Sebaliknya duane di beberapa tempat minta diperlihatkan kontrak
penjualan kayu itu. Soalnya, para duane juga mathum bahwa HP
yang dicantumkan di dokumen invoice itu sudah ketinggalan zaman
karena naiknya harga di luar negeri. Makanya seorang eksportir
kayu yang berkantor di Jakarta mengusulkan: "penentuan HP itu
baiknya lebih realistis: jangan lebih tinggi dari harga pasaran,
tapi juga jangan lebih rendah kalau pasaran sedang baik".
Ternyata hasratnya terkabul bulan ini: pemerintah menaikkan HP
barang-barang ekspor, termasuk kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini