EMPAT tahun lalu, banyak orang menghindar terbang dengan Sempati. Kini, maskapai yang dirintis oleh PT Truba salah satu unit usaha TNI-AD itu dalam waktu singkat mencuat sebagai pesaing utama Garuda, BUMN yang menjadi flag-carrier republik ini. Sempati-lah maskapai swasta pertama yang juga melayani jalur luar negeri. Mula-mula ke kota di perbatasan (Singapura dan Penang), Sempati sekarang sudah terbang ke Taipei dan Perth, Australia. Pekan lalu Sempati, yang didukung armada jet Fokker 100, Boeing 737, dan Airbus A-300, kembali memperluas rute domestiknya dengan penerbangan SingapuraJakartaDenpasar, berlanjut terus ke Kupang dan Dili. Dan minggu ini JakartaSurabayaUjungpandang diteruskan sampai Ambon. Dalam penerbangan DiliDenpasar, Direktur Utama Sempati, Hasan Soedjono 42 tahun, ayah tiga anak, yang menjadi tokoh kunci di balik sukses maskapai milik Humpuss dan Nusamba ini berbicara kepada Ivan Harris dari TEMPO. Petikannya: Sempati begitu agresif membuka rute baru. Mengapa? Ah, siapa bilang agresif? Ini kan karena kami sedang mengejar waktu sebelum liburan sekolah saja. Kalau baru buka setelah musim liburan, ya, percuma saja. Termasuk perluasan ke Dili dan Ambon? Kalau ke sana, itu lebih banyak untuk optimasi operasi pesawat. Menurut pabriknya, batas waktu operasi pesawat, katakan saja, 18 jam per hari. Kalau sampai Denpasar atau Ujungpandang, kan baru 1112 jam. Apa salahnya kalau sisanya dimanfaatkan, tinggal menambah biaya untuk bahan bakar dan landing fee (ongkos pendaratan). Ada info, investasi untuk perluasan Sempati ini dimungkinkan karena utang kepada Garuda masih belum dibayar. Terutama untuk perawatan pesawat di bengkel Garuda Maintenance Facilities (GMF) dan katering Aero Catering Service (ACS) milik Garuda. Di hanggar GMF memang ada enam pesawat kami. Tapi, dengan sewa US$ 150 per hari untuk satu pesawat, utang Sempati di GMF hanya US$ 30.000 sebulan. Padahal, harga pesawat kami ratusan juta dolar. Coba, apa pantas dibilang cash-flow Sempati datang dari Garuda? Memang ada duit (maksudnya: utang) di ACS. Tapi ini cuma ada di perhitungan pembukuan, karena pembayaran dilakukan setiap 60 hari sekali. Dalam pencatatan biasanya, utang dua bulan selalu dijumlahkan dengan utang pada bulan pembayaran. Jadi, utang kami sebenarnya cuma Rp 1,5 miliar. Tapi, karena ditambah utang dua bulan sebelumnya yang sudah dibayar, tercatat Rp 2,9 miliar. Kelihatan gede, kan? Padahal, dibandingkan dengan pertumbuhan sales kami yang mencapai Rp 30 miliar setahun dengan omset Rp 200 miliar, apa artinya Rp 2,9 miliar. Dengan utang sebesar itu kan artinya ACS juga tumbuh bersama Sempati. Namanya juga bisnis. Kalau mau menangkap ikan paus, ya, jangan pakai pancing untuk ikan teri. Lalu soal landing fee? Itu kami bayar kepada Dirjen Perhubungan Udara. Bukan kepada Garuda. Tampaknya, Anda tidak puas soal ketentuan tarif. Ini memang sulit. Tahun 1990, saat Sempati baru memakai jet, saya dimarahi karena masih memasang tarif pesawat baling-baling yang lebih murah 15 persen (ketika menjabat Dirjen Perhubungan Udara, Wiweko mengizinkan diskon tarif bagi pesawat propeler untuk menolong maskapai swasta yang megap-megap). Ya, sudah. Saya menyesuaikan dengan tarif jet. Sekarang, ada maskapai yang sudah jetisasi dan tetap dengan tarif propeler, kok, didiamkan saja? Melihat latar belakang Anda (Hasan Soedjono lulus summa cum laude untuk teknik perminyakan di Universitas Petroleum & Mineral Dhahran, Arab Saudi, 1975, dan meraih gelar M.B.A. dari Harvard Business School dua tahun kemudian. Sebelum ditempatkan Humpuss di Sempati tahun 1989, ia bekerja di Mobil Oil dan produsen alat listrik Raychem), bagaimana Anda bisa terjun di bisnis seperti ini? Saya tidak pernah belajar bisnis penerbangan. Dalam mengurus Sempati, saya hanya melihat dari kacamata seorang konsumen. Dari sini saya melihat banyak peluang. Saya rasa, dengan tidak tahu dunia penerbangan, kecuali sebagai konsumen, ini menjadi aset saya. Apa perlu jadi koki untuk bisa buka restoran? Kalau Sempati bukan dalam grup Humpuss dan Nusamba (milik konglomerat Bob Hasan), apa mungkin Anda bisa mengembangkannya seperti ini? Susah. Bukan karena bisnis ini perlu pemegang saham yang mampu membuka pintu di pemerintahan. Tetapi perlu pemegang saham yang kenal dunia penerbangan, sadar ini bisnis jangka panjang, dan kuat secara finansial. Nah, Humpuss dan Nusamba sudah punya pengalaman di dunia penerbangan dengan Gatari-nya. Satu hal lagi, kalau bukan Humpuss yang ikut memegang saham, ya, saya tidak bakal ada di sini (Hasan bergabung di Humpuss sejak 1986, sebagai Presdir PT Humpuss Methanol Indonesia. Kini, ia juga komisaris di tiga perusahaan Humpuss lain, termasuk holding company-nya). Anda tampak akrab dengan karyawan (Hasan kenal semua pramugari Sempati dan hafal problem pribadi para pilot dan teknisinya). Apa ini juga semacam kiat bisnis? Waktu saya mulai, karyawan Sempati cuma 200 orang. Sekarang sudah 2.000-an. Tapi saya masih ingin memelihara tradisi perusahaan kecil. Sebelum masuk ruang kerja, saya sempatkan ngobrol dengan teknisi. Setiap minggu ada pertemuan dengan pilot. Saya kenal semua pramugari, karena waktu mereka melamar, saya ikut mewawancarai. Suasana ini memudahkan saya memberi semangat kepada karyawan. Saya ingin mereka selalu merasa berhasil melakukan tugasnya. Makanya, saya tidak pernah memberi tugas yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Tak ada yang mau jadi pecundang. Semua ingin jadi pemenang. Tak aneh kalau banyak yang bilang (tertawa) orang Sempati itu sok. Nggak apa- apa. Boleh sok, asal jangan pernah merasa puas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini