PRAJOGO Pangestu, pengusaha industri kayu terbesar yang dikenal tidak suka publikasi, kini berubah sikap. Ahad pekan lalu, ketika salah satu pabrik kayu miliknya di Samarinda berulang tahun, sejumlah media massa dari Jakarta diundang untuk meliput, termasuk TVRI. Ulang tahun itu agaknya hanya dijadikan cantolan berita untuk lebih memperkenalkan bukan Tunggal Yudi Sawmill Plywood yang berhari jadi, tapi perusahaan induknya, yaitu PT Barito Pacific Timber (BPT). Dalam pesta sederhana itu Prajogo secara resmi menyatakan bahwa BPT tengah bersiap-siap masuk bursa. ''Kita harus ingat bahwa BPT telah menjadi perusahaan plywood terbesar di dunia, dan karena itu harus berupaya menjadi perusahaan plywood terbaik di dunia, materiil maupun spirituil,'' kata pengusaha yang dijuluki Lord of the Forest oleh majalah The Far Eastern Economic Review itu. Rencana Prajogo itu sudah terdengar di bursa Jakarta sejak tengah bulan lalu. Dan tepat pada hari ulang tahun Prajogo 13 Mei silam, koran Business Times terbitan Singapura memberitakan bahwa BPT akan menimba dana sekitar Rp 620 miliar dari pasar modal. Itu berarti, ia akan melepas 1520% sahamnya di BPT. Jika ini terlaksana, BPT akan menjadi perusahaan terbesar yang tercatat di bursa (dengan kapitalisasi bernilai Rp 34 triliun). Dan pada gilirannya, BPT akan menjadi tandingan PT Astra International 15% sahamnya dikuasai Prajogo juga. Namun, PT Makindo, yang akan bertindak sebagai penjamin untuk penjualan saham BPT, sampai Sabtu lalu belum mau memberikan penjelasan. Berapa banyak saham serta harga saham BPT juga masih dirahasiakan. Hanya, sumber TEMPO di bursa memastikan, saham BPT berjumlah ratusan juta lembar. Katanya, jatah untuk investor asing malah sudah habis dipesan. Andai kata BPT akhirnya masuk bursa, berarti perusahaan itu memasuki tahap baru dalam lembaran sejarahnya. Chief Executive Officer dari BPT, Joso A.G., mengungkapkan kepada TEMPO bahwa Barito Pacific Timber berawal dari Barito Pacific Lestari Wood di Banjarmasin. Perusahaan ini kemudian bergabung dengan PT Sinar Barito Indah Plywood (juga di Banjarmasin), PT Maraga Daya Woodworks di Pontianak, dan PT Tunggal Yudi Sawmill Plywood di Samarinda. BPT juga memiliki saham 100% di PT Tunggal Agathis Indah (membawahkan dua anak perusahaan di Ternate) serta PT Mangole Timber Producers (membawahkan tiga anak perusahaan di Mangole). Dalam PT Summalindo, anak perusahaan PT Astra International, BPT juga memiliki saham 45%. Summalindo, yang bergerak dalam industri kayu, juga memiliki usaha HTI di Kalimantan. Selain itu, BPT memiliki saham pabrik perekat di Mangole (PT Wiranusa) dan di Banjarmasin (PT Bina Roda Karya). Di bawah payung BPT, ada pula sejumlah perusahaan hutan tanaman industri (HTI), yaitu yang berlokasi di Sumatera Selatan (1 lokasi), Banjarmasin (4 lokasi), Samarinda (4 lokasi), Ternate (1 lokasi), dan Mangole (2 lokasi). Adalah usaha HTI itu yang akan menikmati kucuran dana hasil penjualan saham BPT. Luas lahan HTI seluruh kelompok BPT direncanakan sekitar 1,5 juta ha. Dengan perkiraan biaya Rp 2 juta per ha, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 3 triliun. Tapi, BPT tak perlu menyediakan dana sebesar itu. Sebab, usaha HTI yang sejalan dengan program reboisasi ini bisa meminta bantuan penyertaan modal 17,5% dari Pemerintah (PT Inhutani) serta kredit bank pemerintah sebanyak 65% dari kebutuhan investasi. Niat Prajogo untuk menjual saham Barito sebenarnya sudah terbetik tahun 1991, ketika ia mulai membuka usaha HTI terbesar (300.000 ha) di Sumatera Selatan. ''Ketika itu bursa di seluruh dunia lagi lesu, maka kami slow down,'' kata Joso. Tahun ini tampaknya merupakan waktu yang tepat untuk terjun ke bursa. Selain pasar modal internasional sudah bergairah, yang lebih penting adalah harga komoditi kayu lapis yang membaik di pasar internasional. Harga kayu di Singapura, misalnya, menurut harian The Straits Times, belakangan ini naik 30%. Kenaikan ini antara lain karena pemasokan kayu gelondongan berkurang akibat larangan ekspor di beberapa negara. BPT memegang hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 5 juta ha (3,5 juta ha milik sendiri) serta pabrik kayu yang berproduksi rata- rata 2 juta meter kubik per tahun. Tapi Joso belum bersedia mengungkapkan data keuangan Barito. Yang pasti, pada bulan Desember 1991, BPT telah menjual saham sebanyak 4.850 lembar bernilai Rp 5 miliar kepada 100 koperasi dari 22 provinsi. Menteri Koperasi (Bustanil Arifin) waktu itu mendengar dari Prajogo bahwa laba BPT tahun 1990 sekitar Rp 150 miliar. Untuk penjualan saham tersebut, BPT menunjuk perusahaan sekuritas PT Makindo sebagai penjamin utama. Kalangan bursa mengakui bahwa Makindo kini merupakan perusahaan sekuritas swasta terbesar. Hanya saja, emisi saham-saham yang dijaminnya sejauh ini tampak tidak begitu likuid. Prajogo, yang menyatakan bahwa BPT harus tampil terbaik di dunia secara materiil maupun spirituil, tentu tidak akan membiarkan saham Barito tampil memalukan. Bandingkan dengan perusahaan dari banyak konglomerat yang terjun lebih dulu ke bursa untuk meraup dana besar dengan agio tinggi. Kini harga saham mereka jatuh, sedangkan dividen per lembar saham yang diberikan nilainya tak lebih dari harga permen atau biskuit murahan. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini