Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Komisi Penyiaran Desah di Tengah Malam

Puluhan acara televisi diprotes sebagian masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia menyiapkan teguran.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Komisi Penyiaran Desah di Tengah Malam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di sebuah kampung entah di mana, suatu malam. Lelaki yang sedang berkencan dengan wanita yang bukan istrinya tertangkap basah oleh para pemuda kampung. Lalu, diceritakanlah bagaimana lelaki itu datang sampai babak-belur dihajar massa. Kisahnya selalu diawali seorang "dalang", dan pada saat penutupan, sang dalang akan menyebutkan lokasi kejadian. Begitulah biasanya Nah Ini Dia ditayangkan di SCTV. Stasiun televisi ini mengangkat rubrik Nah Ini Dia yang setiap hari mojok di harian Pos Kota.

Ceritanya sebetulnya biasa saja, bergaya komedi situasi dan ditayangkan tiga kali seminggu. Tingkah lelakinya sering ditampilkan konyol tapi penuh hasrat, sedangkan sang wanita biasanya tampil dengan baju ketat, celana pendek, dan tingkah menggoda. Aaah. Itulah pangkal protes sebagian masyarakat karena acara itu dinilai lebih menampilkan adegan seronok meski dibuat lucu dan menonjolkan gambar payudara perempuan, seperti tertulis dalam surat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada seluruh pimpinan stasiun televisi pada awal November silam.

Surat bernada keras tersebut dilengkapi daftar keluhan masyarakat mengenai berbagai program siaran televisi selama kurun waktu September-Oktober 2004. Selama periode itu, ada 183 keluhan, salah satunya, ya itu tadi, Nah Ini Dia. Komisi menetapkan tiga bulan itu merupakan masa transisi sebelum Komisi Penyiaran menerapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS) pada Desember ini. Pedoman ini sendiri dirilis pada akhir Agustus 2004.

Keluh kesah tentang siaran televisi itu sangat beragam, paling banyak soal film dan acara kriminal yang penuh kekerasan dan darah. Bisa dibilang, semua televisi memiliki tayangan jenis ini. Sebut saja Buser (SCTV), Sergap (RCTI), TKP (TV7), atau Brutal (Lativi). Masyarakat juga banyak memprotes sorotan kamera pada paha dan dada wanita disertai desah wanita.

Daftar keluhan tersebut juga dilengkapi sikap Komisi Penyiaran mengenai berbagai keluhan. Pada umumnya, Komisi meminta agar siaran-siaran yang dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran digeser jam siarnya dan pada sebagian acara Komisi bahkan melarang penayangan adegan tertentu. Tentang Sidik (TPI), misalnya, yang memperlihatkan gambar bayi yang lehernya hampir putus, Komisi meminta agar pada masa mendatang stasiun tersebut menyamarkan gambar korban dalam kondisi luka parah.

Meski bernada keras, toh para pengelola stasiun televisi menanggapi surat tersebut dengan tenang. Direktur Pemberitaan SCTV Karni Ilyas, misalnya, setuju dengan langkah Komisi Penyiaran menerbitkan daftar keluhan masyarakat itu. "Sebagai koreksi untuk awak televisi," katanya. Begitu pula Direktur Utama RCTI Hary Tanoesoedibyo. Meskipun demikian, keduanya tidak setuju seratus persen atas sikap Komisi yang langsung menyatakannya sebagai pelanggaran.

Kenyataannya, tayangan berbagai televisi tak juga banyak berubah sampai pekan kedua Desember atau sebulan setelah surat Komisi dilayangkan. Karena itulah, Ketua KPI Pusat Victor Menayang mengatakan akan segera menyusulkan surat berikutnya berupa teguran. Ia masih menunggu hingga pertengahan Desember. "Kita tahu mereka tak mungkin berubah dalam semalam. Tapi, bila nanti tetap diabaikan, kami jatuhkan sanksi administratif."

Mengenai soal sanksi itu, lagi-lagi Komisi bakal menghadapi batu sandungan. Karni terang-terangan tidak setuju jika saat ini Komisi akan menjatuhkan sanksi. Walaupun Desember adalah tenggat untuk mengikuti semua aturan Komisi, kata Karni, "Belum ada peraturan pelaksanaan mengenai kewenangan memberi sanksi." Ia, misalnya, menanyakan jenis sanksi apa yang akan diberikan kepada televisi dengan semua pelanggaran tersebut. Belum lagi apabila derajat kesalahannya berbeda-beda. Aturan jenis sanksi itu seharusnya diatur dalam peraturan pemerintah yang hingga kini belum juga terbit.

Kunci penyelesaiannya memang ada di tangan pemerintah. Selama peraturan pemerintah belum dibuat, Komisi Penyiaran agaknya akan mengalami berbagai kendala dan hanya bakal jadi macan ompong. Berbagai teguran Komisi toh akan dengan mudah dipatahkan oleh pengelola stasiun televisi.

I.G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus