Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Intel Dambaan SBY

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Intel Dambaan SBY
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Presiden SBY, menurut seorang kawan dekatnya, telah lama bercita-cita memperbaiki kinerja dan profesionalitas BIN. "Saya ingin nantinya BIN terdiri dari para ekonom, doktor, dan intelektual," kata sumber Tempo, menirukan SBY.

Seorang Agen Utama BIN mengaku setuju dengan format baru yang dicita-citakan Yudhoyono. "Orang-orang pinter itu bisa dimasukkan ke staf ahli," ujarnya. Namun, kata dia, kondisi kantong BIN harus diperhatikan. Anggaran operasi BIN cekak. Kantor-kantor BIN Daerah (BIN-Da) yang dibentuk semasa Hendropriyono pun kembang-kempis.

Dalam konsep Hendro, kantor-kantor BIN-Da dicangkokkan ke pemerintah daerah provinsi di bawah gubernur. Kepala BIN-Da otomatis menjadi sekretaris komunitas intelijen daerah. Komunitas ini mewadahi aparat intel daerah, baik dari kejaksaan, kepolisian, imigrasi, bea cukai, sandi negara, maupun BAIS dan BIN. Konsepnya mirip Badan Koordinasi Intelijen pada zaman Laksus (Pelaksana Khusus) Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dulu.

Repotnya, anggaran operasional BIN-Da dibebankan ke pemerintah daerah tanpa kejelasan status. Angkanya pun terserah gubernur. Sedangkan anggaran BIN hanya beberapa juta rupiah. Maka, ketika terjadi gesekan antara gubernur dan Kepala BIN-Da, BIN-Da pun "terlunta-lunta". "Hanya di daerah-daerah yang dikepalai orang yang pintar cari duit yang operasinya jalan," kata intel yang telah puluhan tahun bertugas itu.

Gara-gara anggaran yang ketat itu, Hendro terpaksa memangkas pos-pos intelijen BIN di luar negeri. Ia lalu merekrut beberapa warga Indonesia yang tinggal di negeri jiran sebagai informan. Namun, efektivitas dan kesetiaan mereka agak diragukan. Belakangan, Hendro pun ngotot memperjuangkan peningkatan anggaran BIN. Kini anggaran BIN meningkat dari Rp 150 miliar menjadi Rp 670 miliar. "Kita akan mengawasi terus pemakaian anggaran ini," kata Djoko Susilo.

Namun, menurut pengamat militer dari CSIS, Kusnanto Anggoro, yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengeliminasi pola human intelligence seperti pada zaman Orde Baru. Caranya dengan menjadikan BIN sebagai institusi sipil yang hanya menjadi mata dan telinga pemerintah. "BIN jangan sampai punya kewenangan menangkap dan memeriksa orang," ujarnya.

HWYW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus