Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Konsultasi Berujung Bui

Syafruddin Temenggung masuk bui. Perhitungan nilai jual aset perlu dikaji ulang.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIMPI buruk itu akhirnya terwujud. Meski hampir tiga pekan Syafruddin Arsyad Temenggung mati-matian menyangkal tuduh-an kejaksaan, ”tawaran” menginap di rumah bui tak bisa lagi ditampiknya.

Sejak Rabu malam lalu, Kejaksaan Tinggi Jakarta menahan mantan Kepa-la Badan Penyehatan Perbankan Nasio-nal (BPPN) itu. Ia didakwa telah merugi-kan negara dalam kasus penjualan PT Pabrik Gula Rajawali III, Gorontalo, pada akhir 2003.

Sebelum memasuki mobil tahanan, Syaf membacakan pernyataannya menolak menandatangani berita acara penahanan. Ada tiga hal yang menjadi ke-beratannya. Kemungkinan kabur, se-perti dikhawatirkan kejaksaan, mustahil terjadi karena ia sudah dicekal. Kekhawatiran menghilangkan barang bukti juga tak masuk akal karena semua bukti sudah disita kejaksaan. Ia juga tak mungkin mengulangi perbuatannya, ka-rena tak lagi menjabat Kepala BPPN.

Namun pihak kejaksaan hanya ber-ge-ming. Menurut Kepala Kejaksaan Ting-gi Jakarta, Rusdi Taher, keputusan itu di-ambil setelah ia berdiskusi dengan tim penyidik. ”Saya pun sudah berkonsultasi langsung dengan Jaksa Agung,” ujarnya.

Syafruddin telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 3 Februari lalu. Sejumlah mantan petinggi BPPN pun sudah diperiksa, di antaranya Suman-tri Slamet (Wakil Kepala), Mohammad Syahrial (Deputi Kepala Bidang Pe-ngelolaan Aset Kredit), dan Hadi Avilla Tamzil (Kepala Divisi Penjualan Aset).

Kasus ini bermula pada penjualan sa-ham dan hak tagih utang PT Pabrik Gula Rajawali III senilai Rp 632,3 mi-liar lewat program penjualan aset strate-gis BPPN pada Desember 2003. Semula, pabrik gula itu bernama PT Naga Manis Plantation, yang antara lain dimiliki Prajogo Pangestu.

Namun, setelah disu-ntik modal oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan dilakukan restrukturisasi atas kredit macetnya di Bank Bumi Daya—kemudian melebur menjadi Bank Mandiri—namanya berganti menjadi PT Pabrik Gula Rajawali III. Kepemilikan saham pun beralih ke Bank Bumi Daya (66,7 persen) dan PT Rajawali (33,3 per-sen). Selain memiliki saham, Bank Bumi Da-ya masih punya hak tagih utang Rp 232,3 miliar. Kedua aset itulah yang kemudian beralih ke tangan BPPN.

Dari proses dua kali tender, BPPN akhirnya menjual PT Pabrik Gula ke konsorsium Bapindo Bumi Sekur-itas, yang didanai Delux International Ltd. (British Virgin Island). Namun, n-ilai pembelian hanya Rp 95 miliar atau sekitar 15 persen dari nilai buku. Itulah yang dipersoalkan kejaksaan.

Menurut Juniver Girsang, kuasa hukum Syafruddin, penjualan telah seizin Komite Kebijakan Sektor Keuangan, yang saat itu diketuai Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kun-tjo-ro-Jakti. ”Jadi, penjualan sudah sesuai dengan prosedur,” katanya.

Akan halnya pengakuan penilai inde-penden PT Danareksa ke kejaksaan bahwa perhitungan nilai wajar aset itu sesungguhnya belum selesai dan hanya berdasarkan data BPPN, Juniver balik mempertanyakan. ”Kalau itu betul terjadi, berarti Danareksa yang tidak profesional,” ujarnya.

Direktur Utama Danareksa, Lin Che Wei, menyatakan institusinya sebetulnya telah meminta data tambahan ke BPPN. ”Tapi tidak pernah digubris.” Perhitungan Danareksa pun hanya dilakukan saat tender pertama, dan tidak dilibatkan dalam proses penjualan tahap kedua. ”Padahal asumsi-asumsinya sudah berubah.”

Menurut sumber Tempo, dalam pro-ses penjualan juga ada kekacauan konsep yang digunakan. Jika PT Pabrik Gula dikategorikan sebagai aset strate-gis—bukan aset likuidasi—seharusnya investor baru menjamin keberlangsung-an perusahaan itu. Salah satunya lewat suntikan modal kerja, termasuk menu-tup segala kewajiban perusahaan. Itu sebabnya harga aset itu rendah. ”Tapi kenyataannya kewajiban ini tidak diikat oleh BPPN.”

Alasan penolakan BPPN terhadap keikutsertaan PT Rajawali dalam tender pun bisa diperdebatkan. Menurut dia, PT Rajawali, sebagai perusahaan negara, tidak bisa diperlakukan sebagai pemegang saham lama yang dilarang ikut tender, seperti digariskan dalam aturan umum KKSK. ”Apalagi kalau ini dipandang aset stra-tegis. Daripada dijual o-bral, kan lebih baik dipegang negara.”

Metta Dharmasaputra, Thoso Priharnowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus