Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEUSAI bertandang ke sejumlah kantor redaksi media massa nasional, tiba giliran Hary Tanoesoedibjo bicara di RCTI, Senin pekan lalu. Di stasiun televisi miliknya itu, sekitar satu jam lamanya bos Bimantara ini ”mendialogkan” kisruh transaksi sertifikat deposito Bank Unibank, yang membuat namanya ikut terseret.
Intinya, sertifikat deposito senilai US$ 28 juta (sekitar Rp 280 miliar) yang dibeli PT Citra Marga Nusaphala Persada pada 1999 itu sah alias tidak bodong. Para pembicara menyampaikan ”kor” senada. Mereka adalah pengamat hukum pasar modal Indra Safitri, praktisi investasi Goei Siauw Hong, dan Direktur Riset Majalah Infobank Eko B. Supriyanto.
Sekadar mengingatkan, kasus lawas ini kembali ramai diributkan setelah Ko-misi Pemberantasan Korupsi m-ulai memeriksanya. Transaksi ini di-duga merugikan negara. Sebab, PT Citra Mar-ga, yang ketika itu sebagian sahamnya dimiliki dua perusahaan milik neg-ara, PT Jasa Marga dan Krakatau Steel, tak bisa mencairkan sertifikat itu ketika ja-tuh tempo pada 2002.
Surat utang itu dinilai melanggar sejumlah ketentuan Bank Indonesia: bernominal dolar, berjangka waktu le-bih dari 24 bulan, dan bunganya di atas bu-nga penjaminan pemerintah. Itu sebabnya, ketika Unibank dibekukan pada Oktober 2001, pemerintah tak bisa mencairkan surat utang tersebut.
Tudingan kemudian dialamatkan ke Unibank, yang semula dimiliki peng-usaha Sukanto Tanoto. Hary Tanoesoedibjo pun kena getahnya, karena PT Bhakti Investama yang menjadi perantara penjualan sertifikat Unibank itu kepada PT Citra Marga (Tempo, 26 Februari 2006).
Untuk ”membersihkan” namanya itulah, Hary merasa perlu melakukan klari-fikasi. Menurut pengusaha kelahiran Su-rabaya ini, peran Bhakti hanya sebatas broker. Pihaknya pun mengantongi surat pernyataan siap bertanggung ja-wab (letter of undertaking) yang diteken direksi Unibank ketika surat utang itu diterbitkan. Selain itu, Bhakti pun sudah mentransfer dana US$ 17,5 juta ke Unibank sebagai pembayaran.
Soal keabsahan sertifikat Unibank, menurut Hary, pihak bank sudah me-ngabarkan keberadaan deposito valas itu dalam laporan keuangan 1999. ”Jadi, apa-nya yang bodong?” kata Hary.
Penerbitan sertifikat itu pun telah dilaporkan Direktur Utama Unibank, Hel-my Husein, kepada Direktorat Pemerik-saan Bank I, Bank Indonesia, pada 10 Oktober 2000. Dalam surat yang salin-annya diperoleh Tempo itu, disebu-t-kan bahwa penerbitan sertifikat depos-ito terkait dengan kebutuhan likuiditas bank.
Meski begitu, suara sumbang tetap datang dari markas bank sentral di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Deputi Direktur, Direktorat Hukum BI, Oey Hoey Tiong, mengakui adanya surat pembe-ritahuan itu. Namun, yang dilaporkan ke BI, katanya, sertifikat itu dibeli oleh Bank CIC, bukan oleh PT Citra Marga. ”Karena yang beli sesama bank, kami tegur waktu itu,” ujarnya.
Dalam suratnya ke PT Citra Marga, pada 30 Januari 2003, BI juga menyebutkan sertifikat deposito itu tak tercatat dalam laporan simpanan berjang-ka bulanan Unibank untuk posisi Januari 2001. Pendapat itu kembali diper-tegas Deputi Gubernur BI, Siti Fadjrijah, di depan anggota DPR, awal pekan lalu. Bank sentral, katanya, tidak pernah memberikan izin penerbitan deposito valas.
Sumber Tempo di PT Citra Marga juga mempertanyakan pilihan perusaha-an jalan tol itu membeli sertifikat deposito dari Unibank. Sebab, tiga bulan sebelum surat utang itu diterbitkan, rasio kecukupan modal Unibank masih mi-nus 14,15 persen.
Memang benar, seperti kata Hary, ke-tika sertifikat itu diterbitkan, posisi Unibank sudah dinaikkan dari kategori B menjadi kategori A. ”Tapi Unibank tetap masih dalam pengawasan kh-usus BI,” kata Oey. Realisasi penambahan modal baru dilakukan pada Agustus 1999.
Lantas, soal indikasi adanya kerugi-an negara, sumber Tempo juga mengingatkan bahwa PT Citra Marga selama bertahun-tahun menikmati kompensasi bagi hasil tarif tol dari pemerintah. Per-usahaan yang didirikan putri sulung bekas presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, pada 1987 itu juga ditunjuk langsung mengelola jalan tol melalui keputusan presiden. Itu sebabnya, pemerintah urunan setor modal melalui dua BUMN: Jasa Marga (77,18 persen) dan Krakatau Steel (2,31 persen).
Yura Syahrul
Terbit di Kala Senja
9 Februari 1999 Unibank masuk kelompok B. Rasio kecukupan modal (CAR) minus 14,5 persen, ikut program rekapitalisasi. Butuh tambahan modal Rp 307 miliar agar CAR 4 persen.
8 Maret 1999 Pemegang saham Unibank memberikan jaminan suntikan modal. BI kembali memasukkan Unibank ke kelompok A.
25-26 Mei 1999 Unibank menerbitkan NCD US$ 28 juta, untuk dijual ke CMNP, diperantarai Bhakti Investama.
16 Agustus 1999 Rencana penambahan modal lewat penjualan saham terbatas (rights issue) baru disetujui rapat pemegang saham Unibank. Modal Unibank naik menjadi Rp 410 miliar.
Sumber: Laporan keuangan Unibank
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo