Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAHARA itu datang ketika Syaf-ruddin Arsyad Temenggung berkonsentrasi membangun ka-riernya yang baru sebagai akademisi. Menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar negeri pun tak bisa lagi dilakoni doktor ekonomi pembangunan lulusan Cornell University, New York, Amerika Serikat, ini.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menjadikan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini tersangka dalam kasus penjualan PT Pabrik Gula Rajawali III. Tak hanya dicekal, pria kelahiran Palembang, 46 tahun silam, ini pun sejak Rabu pekan lalu harus mendekam di rumah tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Ia didakwa telah merugikan neg-ara ka-rena melego pabrik gula itu pada akhir 2003 dengan ”harga obral” Rp 95 miliar—jauh di bawah nilai buku Rp 600 miliar. Di masa kepemimpinannya (April 2002–Februari 2004), memang banyak aset BPPN dijual. Itu sebabnya, dalam buku BPPN The End karangan I Putu Gede Ary Suta, pendahulunya, ia diberi julukan The Seller.
Beberapa hari sebelum ditahan, Syaf-ruddin bertutur panjang-lebar kepada Heri Susanto, Anne L. Handayani, dan Philipus Parera dari Tempo dalam wawancara khusus di Payon Cafe, Kemang, Jakarta Selatan.
Ketika memimpin BPPN, Anda terkesan lebih banyak menjual ketimbang merestrukturisasi aset, sehingga dijuluki The Seller. Benarkah?
Salah, dong. Di zaman saya, restrukturisasi banyak sekali. Misalnya proyek PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia Tuban. Perusahaan itu berutang sekitar Rp 3 triliun, dan proyeknya belum jadi. Lalu kami buat skema restrukturisasi utang, yang menurut saya breakthrough. Bayangkan, dalam kondisi terpuruk seperti itu, ada investor Jepang menyalurkan dana US$ 400 juta.
Tapi, kenapa gencar menjuali aset?
Setelah tiga setengah tahun berdiri, BPPN lalu dipotret oleh pemerintah, kok yang diselesaikan cuma 20 persen. Dengan laju penyelesaian seperti itu, BPPN butuh waktu 15 tahun. Padahal, dalam lima tahun harus selesai. Selain itu, karena ini aset busuk, semakin lama dibiarkan akan semakin tak bernilai. BPPN pun setiap tahun diberi target memberi kontribusi bagi APBN. Waktu saya masuk pada 2002, ditargetkan Rp 43 triliun.
Apakah Anda sudah memperkirakan filosofi ”kejar target” atas aset-aset bermasalah ini bisa dipersoalkan secara hukum?
Iyalah—dan bukan hanya saya. Pembuat undang-undang pun sudah memperkirakan itu semua. Karena itu, pe-merintah buatkan UU dan peraturan pemerintah khusus untuk BPPN. Lex specialis. BPPN boleh menjual di bawah nilai buku, boleh tanpa persetujuan nasabah, debitor, dan boleh membuat petunjuk pelaksanaan untuk pelelangan sendiri.
Jadi, boleh dijual murah?
Ini barang busuk. Artinya, nilai kewa-jibannya tidak sama dengan nilai ekono-mi. Dan umur BPPN hanya lima tahun. Nothing wrong dengan penjualan aset itu. Kalau dalam proses transaksi itu ada penyimpangan, itu yang salah.
Seberapa jauh perbedaan nilai aset itu?
Bantuan likuiditas Bank Indonesia, misalnya. Jumlahnya Rp 144,5 triliun. Tapi audit Badan Pemeriksa Keuangan mengatakan nilai aset untuk BLBI itu cuma Rp 12 triliun atau sekitar 9 persen. Nah, aset senilai 12 triliun itulah yang masuk ke BPPN, meski nilai bukunya tetap Rp 144,5 triliun.
BPPN sendiri menargetkan bisa men-dapat perolehan berapa besar?
Dalam PP 17 dan UU Perbankan ha-nya dikatakan semaksimal mungkin di-pulihkan. Artinya, tergantung kepada mekanisme pasar pada waktu itu.
Saat harganya rendah, kenapa tidak ditunda saja penjualannya?
Ya, nggak bisa. Barang busuk mau ditunda bagaimana? Di satu sisi, ekonomi kita juga terpuruk. Kalau kita tidak melakukan transaksi, sektor riil akan mati. Karena itu, aset itu cepat-cepat harus dikeluarkan.
Kenapa tidak direstrukturisasi dulu?
Kita tidak punya waktu. Kita berpacu dengan waktu.
Sampai BPPN bubar, berapa banyak aset yang belum diselesaikan
Saya kira cuma tinggal lima persenan dari sekitar 300 ribu aset. Dan jangan lupa, pada waktu BPPN ditutup pada 2004, semua indikator ekonomi di tahun itu menunjukkan perbaikan. Terbaik sejak krisis. Nilai tukar rupiah di bawah Rp 9.000 per dolar, inflasi kurang dari dua digit. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia sempat delapan persen.
Benarkah kepemimpinan Anda di ba-wah pengaruh orang-orang tertentu?
Orang selalu pakai kaca mata politik. Saya profesional. Saya jadi deputi menteri di zamannya Gus Dur, kok, dan Pak Kwik Kian Gie menterinya. Saya bukan orang yang tiba-tiba jadi Kepala BPPN dari nggak jelas. Saya itu birokrat karier. Tapi, karena saya lahir di Palembang, maka dianggap dekat dengan... (maksudnya Taufiq Kiemas). No. waktu itu saya tidak dekat dengan siapa-siapa. Intervensi justru datang dari asing, yakni dari 11 duta besar, saat restrukturisasi utang Asia Pulp and Paper. Tapi, itu bisa diselesaikan setelah kami bertemu mereka.
Dalam penjualan aset, perhitungan penilai independen kerap dipertanyakan...
Di UU Perbankan dikatakan, BPPN bo-leh menunjuk penilai eksternal. Artinya, tidak pun boleh. Tapi, umumnya, kami se-lalu menunjuk appraisal eksternal.
Menurut Kejaksaan Tinggi Jakarta, PT Danareksa mengatakan penilaian aset PT Pabrik Gula belum final. Kok dijual?
Ya final. Dia sudah menyampaikan la-poran finalnya. Kami pun punya TOR (kerangka acuan) untuk menilai, yang kami berikan kepada mereka.
Tapi, pemeriksaan aset tidak dila-ku-kan ke lapangan...
Lho, dalam TOR kami minta dia melakukan kajian komparatif. Itu arti-nya dia bukan saja harus ke lapang-an, tapi juga mencari informasi lain u-ntuk pembanding, kalau perlu dari lu-ar ne-ge-ri. Danareksa itu kan konsultan yang punya lisensi dari pemerintah. Seba-gai konsultan profesional, dia harus me-lakukan apa pun untuk mendapat data selengkap-lengkapnya.
Rendahnya harga penawaran investor, apa karena ada kebocoran harga dasar yang ditetapkan BPPN?
Harga yang kami tentukan tidak bocor. Itulah market judgement. K-alau meng-ikuti usul IMF, saya sudah jual de-ngan tujuh persen pada tahap penawaran pertama. Sebab, IMF mengatakan, sepanjang lu sudah melakukan penjualan se-suai dengan mekanisme pasar, apa pun hasilnya, jual saja.
Jadi, harga jual pabrik gula 15 persen itu sudah layak?
Mekanisme pasar mengatakan begitu. Ini memang bukan perusahaan yang berhenti. Tapi, kalau nggak segera jalan, ya tutup perusahaannya. Kalau tutup jadi besi tua, dan dijualnya tidak de-ngan discounted cash flow lagi, tapi dengan liquidation value. Berapa sih nilai besi tua itu?
Bukankah lebih baik direstrukturisasi dulu agar harganya lebih tinggi?
Ya nggak mungkin. Kalau kreditnya macet, dia nggak bisa dapat yang namanya modal kerja dari bank dan n-ggak ada akses ke perbankan. Ingat kasus Texmaco, sudah berkali-kali dijual, tak ada yang beli. Ada yang menawar pun hanya 0,01 persen. Tapi, kami tidak menjualnya, karena menurut kami nilainya lebih tinggi.
Kabarnya ada yang mau beli pabrik gula itu dengan harga lebih bagus...
Kalau sekarang, memang, karena per-usahaan itu sudah running. Utangnya sudah turun dan modal kerja dari bank sudah dapat. Dulu kan saya juga buat tender terbuka; kenapa cuma dua orang yang datang pada tender pertama?
Ketidakjelasan Delux International Ltd. yang berkedudukan di British Virgin Island sebagai pembeli PT Pabrik Gula juga dipersoalkan...
Saya mau tanya, adakah aturan di dunia atau di Indonesia yang mela-rang suatu SPV (special purpose vehicle) baik dari British Virgin Island, Cayman Island, atau dari mana pun untuk ikut tender? Nggak ada. Lagi pula saya kan menjualnya kepada konsorsium Bapindo Bumi Sekuritas.
Apakah Prajogo Pangestu atau pemilik lama lainnya di balik Delux?
Saya nggak pernah berkomunikasi de-ngan mereka. Waktu itu secara legal saya menerima pengalihan dari Bank Mandiri dan pemegang sahamnya PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Saya menjualnya kepada Bumi Sekuri-tas. Masak, saya harus bicara di luar fakta legal.
Kejaksaan mempersoalkan penolakan terhadap RNI untuk ikut tender. Alasannya, RNI adalah BUMN yang ditugaskan pemerintah menangani PT Pabrik Gula, sehingga bukan pemegang saham biasa... Itu kan interpretasinya. Yang jelas, waktu saya menerima pengalihan aset dari Bank Mandiri, dalam daftar pemegang saham PT Pabrik Gula tertulis RNI dan Bank Bumi Daya.
Ini kasus pertama Anda?
Ini bukan satu-satunya kasus yang pernah dilaporkan. Sejak saya masih di BPPN, dan setelah selesai di BPPN, ada beberapa kasus. Tapi kebanyakan perdata. Mereka dispute, lalu minta penjualan dibatalkan. Tapi, kami bilang, menurut UU nggak bisa dibatalkan.
Bagaimana Anda menilai kasus ini?
Katakanlah ini bentuk pertanggungjawaban saya ke publik. Saya menganggap accountable dalam melaksanakan tugas. Bahwa ini sedang diuji, ya sila-kan. Ini proses yang harus dilalui.
Bagaimana jika Anda ditahan?
Ini kan negara hukum? Prosedurnya sampai pada penahanan harus benar dong. Tapi, konsekuensi apa pun, seba-gai mantan pejabat, akan saya terima.
Sampai ancaman hukuman mati?
Saya ingin katakan, semua yang memegang jabatan publik harus bertanggung jawab. Seandainya audit BPK atas BPPN sudah dituntaskan, kami bisa menjelaskan setiap ada pertanyaan mengenai penjualan aset di BPPN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo