Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU telah mengusulkan dibukanya peluang sejumlah perusahaan (multi provider) ikut serta dalam sistem penyediaan atau pendistribusian bahan bakar pesawat alias avtur untuk menekan harga tiket pesawat. Bagaimana dampaknya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, menilai sistem multi provider setidaknya bisa mengurangi selisih harga avtur di Indonesia dibandingkan negara tetangga. Sehingga penyedia bahan bakar pesawat di setiap bandara bukan hanya Pertamina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jika bisa mengurangi setengah selisih harga dibanding Singapura dan Kuala Lumpur, tentu akan sangat membantu (menurunkan harga tiket pesawat)," ujar Gerry kepada Tempo, Rabu, 7 Februari 2024.
Dia mencontohkan, harga avtur di Singapura dan Kuala Lumpur adalah US$ 0,547 per liter. Sedangkan di Jakarta sebesar US$ 0,781 per liter untuk penerbangan internasional, bahkan lebih mahal di bandara-bandara lain.
Gerry menyebut, biaya logistik bahan bakar lebih mahal untuk kota-kota di Indonesia timur. Sehingga jika sistem multi provider diterapkan, pengurangan harga di Indonesia timur tidak akan sebesar di Indonesia barat.
Apalagi, kata dia, jika Pertamina sekarang mengadakan subsidi silang untuk harga avtur antara kota-kota di bagian barat dengan timur.
"Jika multi provider dibuka, jangan kaget kalau di Indonesia barat harga avtur bisa turun mendekati harga di Singapura dan Malaysia, tapi di Indonesia bagian timur harga malah naik," kata Gerry.
Menurut dia, hal ini akan menghasilkan kejomplangan peningkatan jumlah penerbangan. Artinya, jumlah penerbangan di Indonesia barat bisa meningkat jauh, tapi di Indonesia timur berkurang signifikan dengan kenaikan harga yang lumayan.
Pengamat penerbangan lainnya, Alvin Lie, mengatakan sebenarnya tidak ada aturan yang melarang provider avtur lain masuk ke Indonesia. Tapi, kata dia, faktanya para provider itu ingin masuk ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK).
"Konsumsi avtur terbesar di Indonesia memang di CGK. Kontribusinya sekitar 60 persen terhadap avtur nasional," beber Alvin pada Tempo, kemarin.
Alvin lantas mempertanyakan, jika para provider lain masuk di Bandara Soekarno Hatta, siapa yang akan memasok di bandara-bandara lain. Selain itu, infrastruktur distribusi avtur di Bandara Soekarno-Hatta juga dibangun oleh Pertamina.
"Kalau provider lain mau masuk, bagaimana mereka membangun infrastrukturnya? Kalau pun membangun infrastruktur, tidak boleh mengganggu operasi penerbangan," tutur Alvin.
Sebelumnya, Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa mengatakan harga avtur di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di 10 bandar udara internasional lain di negara tetangga. Kisaran perbedaan harganya bahkan mencapai 22-43 persen untuk periode Desember 2023.
Hasil kajian KPPU menemukan, harga avtur mahal karena pasar di Indonesia memiliki struktur monopoli dan terintegrasi secara vertikal. Sehingga, kata dia, menyebabkan ketidakefisienan pasar dan berkontribusi pada harga avtur yang tinggi.
Dia menilai, tingginya harga avtur berdampak langsung kepada harga tiket pesawat. Sebab, komponen biaya bahan bakar mencapai 38-45 persen dari harga tiket pesawat.
Atas hal ini, KPPU telah menyurati Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada 29 Januari 2024. Dia menyebut ada dua poin besar dalam rekomendasi KPPU kepada Luhut.
Pertama, mendorong pasar terbuka dalam penyediaan atau pendistribusian BBM jenis avtur. Kedua, menyediakan sistem multi provider di bandar udara dengan kondisi-kondisi tertentu.