Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kredit Kecil, Ya Mudah Ya Susah

Pemberian kredit KIK/KMKP meningkat. jumlah kredit tidak dibatasi. bank tersendat menyalurkan dana. sementara permohonan kredit terhambat oleh persyaratan. (eb)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESUNGGUHAN pemerintah untuk mendorong kebangkitan pengusaha lemah terlihat dari jumlah dan beragamnya jenis kredit yang disediakan. Dimulai sejak 1974, kredit itu meliputi kredit candak kulak yang besarnya sampai Rp 15.000. Kredit mini dari Rp 15.000 sampai Rp 200 ribu. Kredit midi Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu. Kredit Investasi Kecil (untuk pembelian sarana produksi) dan Kredit Kerja Permanen (untuk modal kerja) Rp 500 ribu sampai Rp 30 juta. Dari awal tahun sampai 30 September 1980 seluruh kredit kecil ini mencapai Rp 812 milyar atau 15,6% dari seluruh kredit yang dikeluarkan bank-bank pemerintah yang berjumlah Rp 4.396 milyar. Dalam 2 tahun belakangan ini pemberian kredit KIK/KMKI meningkat dengan mantap. Kalau tahun 1978 kredit yang diberikan naik rata-rata Rp 7,8 milyar tiap bulan, maka bulan Desember 1980 jumlahnya sudah mencapai Rp 33 milyar. Jadi dalam tiap hari kerja Rp 1,6 milyar yang disalurkan. "Untuk mendorong bangkitnya golongan ekonomi lemah maka pemberian kredit dalam bentuk KIK dan KMKP sama sekali tidak diadakan pembatasan," kata Presiden Soeharto dalam pidato pengantar RAPBN di depan DPR. Sekalipun jumlah kredit kecil yang diberikan bank-bank pemerintah itu terdengar cukup besar, ternyata itu baru 80% dari plafon yang disediakan Bank Indonesia. "Pemerintah sudah demikian serius memberikan bantuan kredit bagi penusaha kecil ini, tapi daya salur belum 100%," ujar Tom Daulay, wakil kepala Desk Kredit Kecil BI. Katanya, keadaan ini disebabkan oleh calon nasabah sendiri yang sangat lemah dalam manajemen. Ada yang pembukuannya menurut Tom, hanya ditulis di dinding rumah. Pertanian merupakan sektor paling banyak menyedot KIK/KMKP. Penanaman Tebu Rakyat Intensifikasi paling banyak menyerapnya. Kredit terbesar diberikan di Ja-Tim. Kemudian menyusul Ja-Teng, Ja-Bar dan Yogyakarta. Di sini lambannya daya salur tadi kelihatan lebih nyata lagi. Plafon kredit yang tersedia di Bank Rakyat Indonesia untuk musim tanam 1980-81 berjumlah Rp 83.027 milyar. Tapi yang tersalur hanya Rp 12.316 milyar ke tangan 103.161 nasabah. Direktur Bidang Pemberian Kredit BI, Kamardi Arief mengakui memang bank yang lamban. Terutama 2-3 tahun yang lalu. "Tapi sekarang bank sudah bisa cepat dalam menyelesaikan permohonan kredit," katanya. Kepada para nasabah, menurut Kamardi, sudah diberikan berbagai kelonggaran. Syarat untuk mendapatkan kredit sudah banyak ditinjau kembali. Misalnya soal agunan. Ini tidak mutlak lagi. Tinggal syarat yang sering sulit dipenuhi calon nasabah adalah surat izin usaha. Di berbagai daerah, selain surat izin bank pelaksana juga mengenakan jaminan tambahan. Antara lain sertifikat tanah. Bagi Jamanga Samosir, 45 tahun jaminan tambahan itu memberatkan. "Saya tak punya sertifikat tanah. Prosedurnya terlalu panjang. Kata orang sama camat bisa. Itu kata orang. Kenyataannya untuk rakyat jembel seperti saya ini tak gampang," katanya mengeluh. Jamanga mengusahakan pabrik pengolah batu kapur untuk bahan bangunan. Buat Kota Medan dia yang terbesar. Produksinya per hari 20 ton. Sedangkan saban hari permintaan yang datang mengerubunginya mencapai 300 ton. Itulah makanya dia sempat memasang rencana minta kredit Rp 500 juta untuk meningkatkan produksi. Tapi sampai bosan dia mengurus, "kredit tak dapat juga," katanya. Tersandung persyaratan sertifikat tanah. Di daerah Ja-Teng soal persyaratan bank menjadi keluhan banyak orang. Didiek Soekardi, salah seorang ketua Kadin Ja-Teng mengadu: "Macam-macamlah alasan bank untuk menolak. Saya sampai tak tahu lagi dasar alasan itu," katanya. Bidang usaha sudah ada, tapi permohonan tetap ditolak. Katanya proyek itu 'bukan urusan kami'. Kalau proyek sudah dianggap layak, toh ditolak dengan alasan tk ada alokasinya. "Mana izin usaha, jaminan dan tetek bengek lainnya." Jawaban yang berisi penolakan dari bank, menurut Didiek Soekardi baru datang setelah tiga bulan. "Kalau ada yang diluluskan, waktunya sudah terlambat. Proyek atau usaha itu sudah lepas. Akibatnya diterkam orang lain. Yang punya duit." Yang menerkam itu maksudnya "nonpri". Ini yang menyangkut kredit biasa. Sebab KIK/KMKP sebagaimana dijelaskan oleh Gubernur Bank Sentral Drs. Rachmat Saleh "hanya untuk pribumi saja". Persyaratan yang sulit dipenuhi dan prosedur yang dirasakan panjang membuat orang yang tak sabaran mengadu nasibnya pada rentenir. Serma Purnawirawan L. Gunadi Zamal, 50 tahun, grosir hasil bumi di Pasar Keputeran, Surabaya. Ia terjun menjadi pedagang sayur tahun 1973 dengan modal Rp 300 ribu. Mujur nasib bekas militer ini. Sekarang omzet penjualannya Rp 1,5 juta sehari. Gunadi, sang pensiunan sersan, mengajukan permohonan kredit kepada BRI Cabang Kaliasin. Di sini dia ditolak karena belum punya sertifikat tanah. Dia membatalkan rencananya itu, karena kalau dihitung secara bisnis kredit itu malahan akan menimbulkan kerugian. "Mengurus sertifikat bisa enam bulan. Sedangkan kredit yang diterima paling banter dua juta rupiah," katanya. Lantas pedagang sayur itu kembali pada sumber kreditnya yang lama. Yaitu kenalannya yang memberikan kredit dengan bunga 10%, atau lima kali lipat buna bank. Yang telah mendapat KIK/KMKP ada juga terpaksa "menyerah" kepada rentenir karena jumlah kredit yang mereka peroleh dari bank tak mencukupi. Ada pihak yang memperhitungkan hampir 30% dari yang mendapat kredit masih membuat utang pada tukang rente. Nilai rata-rata KIK yang diberikan sesungguhnya masih kecil. Untuk 91.64 pemohon yang disetujui mulai 1975 sampai Juli 1980 seluruh nilai berjumlah Rp 238 milyar. Ini berarti tiap pemohon pukul rata menerima Rp 2,6 juta. Sedangkan untuk KMKP, pemohon yang diterima 80.434 dengan jumlah nilai Rp 447 milyar. Rata-rata setiap pemohon hanya Rp 550 ribu. Kalau angka-angka yang dibuat seorang peneliti masalah keuangan berdasarkan angka-angka statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia itu benar, maka pemberian kredit KIK/KMKP memerlukan berbagai pembaikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus