KESUNGGUHAN pemerintah untuk mendorong kebangkitan pengusaha
lemah terlihat dari jumlah dan beragamnya jenis kredit yang
disediakan. Dimulai sejak 1974, kredit itu meliputi kredit
candak kulak yang besarnya sampai Rp 15.000. Kredit mini dari Rp
15.000 sampai Rp 200 ribu. Kredit midi Rp 200 ribu sampai Rp 500
ribu. Kredit Investasi Kecil (untuk pembelian sarana produksi)
dan Kredit Kerja Permanen (untuk modal kerja) Rp 500 ribu sampai
Rp 30 juta.
Dari awal tahun sampai 30 September 1980 seluruh kredit kecil
ini mencapai Rp 812 milyar atau 15,6% dari seluruh kredit yang
dikeluarkan bank-bank pemerintah yang berjumlah Rp 4.396 milyar.
Dalam 2 tahun belakangan ini pemberian kredit KIK/KMKI
meningkat dengan mantap. Kalau tahun 1978 kredit yang diberikan
naik rata-rata Rp 7,8 milyar tiap bulan, maka bulan Desember
1980 jumlahnya sudah mencapai Rp 33 milyar. Jadi dalam tiap hari
kerja Rp 1,6 milyar yang disalurkan. "Untuk mendorong bangkitnya
golongan ekonomi lemah maka pemberian kredit dalam bentuk KIK
dan KMKP sama sekali tidak diadakan pembatasan," kata Presiden
Soeharto dalam pidato pengantar RAPBN di depan DPR.
Sekalipun jumlah kredit kecil yang diberikan bank-bank
pemerintah itu terdengar cukup besar, ternyata itu baru 80% dari
plafon yang disediakan Bank Indonesia. "Pemerintah sudah
demikian serius memberikan bantuan kredit bagi penusaha kecil
ini, tapi daya salur belum 100%," ujar Tom Daulay, wakil kepala
Desk Kredit Kecil BI. Katanya, keadaan ini disebabkan oleh calon
nasabah sendiri yang sangat lemah dalam manajemen. Ada yang
pembukuannya menurut Tom, hanya ditulis di dinding rumah.
Pertanian merupakan sektor paling banyak menyedot KIK/KMKP.
Penanaman Tebu Rakyat Intensifikasi paling banyak menyerapnya.
Kredit terbesar diberikan di Ja-Tim. Kemudian menyusul Ja-Teng,
Ja-Bar dan Yogyakarta. Di sini lambannya daya salur tadi
kelihatan lebih nyata lagi. Plafon kredit yang tersedia di Bank
Rakyat Indonesia untuk musim tanam 1980-81 berjumlah Rp 83.027
milyar. Tapi yang tersalur hanya Rp 12.316 milyar ke tangan
103.161 nasabah.
Direktur Bidang Pemberian Kredit BI, Kamardi Arief mengakui
memang bank yang lamban. Terutama 2-3 tahun yang lalu. "Tapi
sekarang bank sudah bisa cepat dalam menyelesaikan permohonan
kredit," katanya.
Kepada para nasabah, menurut Kamardi, sudah diberikan berbagai
kelonggaran. Syarat untuk mendapatkan kredit sudah banyak
ditinjau kembali. Misalnya soal agunan. Ini tidak mutlak lagi.
Tinggal syarat yang sering sulit dipenuhi calon nasabah adalah
surat izin usaha.
Di berbagai daerah, selain surat izin bank pelaksana juga
mengenakan jaminan tambahan. Antara lain sertifikat tanah. Bagi
Jamanga Samosir, 45 tahun jaminan tambahan itu memberatkan.
"Saya tak punya sertifikat tanah. Prosedurnya terlalu panjang.
Kata orang sama camat bisa. Itu kata orang. Kenyataannya untuk
rakyat jembel seperti saya ini tak gampang," katanya mengeluh.
Jamanga mengusahakan pabrik pengolah batu kapur untuk bahan
bangunan. Buat Kota Medan dia yang terbesar. Produksinya per
hari 20 ton. Sedangkan saban hari permintaan yang datang
mengerubunginya mencapai 300 ton. Itulah makanya dia sempat
memasang rencana minta kredit Rp 500 juta untuk meningkatkan
produksi. Tapi sampai bosan dia mengurus, "kredit tak dapat
juga," katanya. Tersandung persyaratan sertifikat tanah.
Di daerah Ja-Teng soal persyaratan bank menjadi keluhan banyak
orang. Didiek Soekardi, salah seorang ketua Kadin Ja-Teng
mengadu: "Macam-macamlah alasan bank untuk menolak. Saya sampai
tak tahu lagi dasar alasan itu," katanya. Bidang usaha sudah
ada, tapi permohonan tetap ditolak. Katanya proyek itu 'bukan
urusan kami'. Kalau proyek sudah dianggap layak, toh ditolak
dengan alasan tk ada alokasinya. "Mana izin usaha, jaminan dan
tetek bengek lainnya."
Jawaban yang berisi penolakan dari bank, menurut Didiek Soekardi
baru datang setelah tiga bulan. "Kalau ada yang diluluskan,
waktunya sudah terlambat. Proyek atau usaha itu sudah lepas.
Akibatnya diterkam orang lain. Yang punya duit." Yang menerkam
itu maksudnya "nonpri". Ini yang menyangkut kredit biasa. Sebab
KIK/KMKP sebagaimana dijelaskan oleh Gubernur Bank Sentral Drs.
Rachmat Saleh "hanya untuk pribumi saja".
Persyaratan yang sulit dipenuhi dan prosedur yang dirasakan
panjang membuat orang yang tak sabaran mengadu nasibnya pada
rentenir. Serma Purnawirawan L. Gunadi Zamal, 50 tahun, grosir
hasil bumi di Pasar Keputeran, Surabaya. Ia terjun menjadi
pedagang sayur tahun 1973 dengan modal Rp 300 ribu. Mujur nasib
bekas militer ini. Sekarang omzet penjualannya Rp 1,5 juta
sehari.
Gunadi, sang pensiunan sersan, mengajukan permohonan kredit
kepada BRI Cabang Kaliasin. Di sini dia ditolak karena belum
punya sertifikat tanah. Dia membatalkan rencananya itu, karena
kalau dihitung secara bisnis kredit itu malahan akan menimbulkan
kerugian. "Mengurus sertifikat bisa enam bulan. Sedangkan kredit
yang diterima paling banter dua juta rupiah," katanya.
Lantas pedagang sayur itu kembali pada sumber kreditnya yang
lama. Yaitu kenalannya yang memberikan kredit dengan bunga 10%,
atau lima kali lipat buna bank. Yang telah mendapat KIK/KMKP
ada juga terpaksa "menyerah" kepada rentenir karena jumlah
kredit yang mereka peroleh dari bank tak mencukupi. Ada pihak
yang memperhitungkan hampir 30% dari yang mendapat kredit masih
membuat utang pada tukang rente.
Nilai rata-rata KIK yang diberikan sesungguhnya masih kecil.
Untuk 91.64 pemohon yang disetujui mulai 1975 sampai Juli 1980
seluruh nilai berjumlah Rp 238 milyar. Ini berarti tiap pemohon
pukul rata menerima Rp 2,6 juta.
Sedangkan untuk KMKP, pemohon yang diterima 80.434 dengan jumlah
nilai Rp 447 milyar. Rata-rata setiap pemohon hanya Rp 550 ribu.
Kalau angka-angka yang dibuat seorang peneliti masalah keuangan
berdasarkan angka-angka statistik yang dikeluarkan Bank
Indonesia itu benar, maka pemberian kredit KIK/KMKP memerlukan
berbagai pembaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini