INSYA Allah, di tahun 1981, dunia bisnis tak akan lesu. Paling
tidak jika dilihat perhitungan di kertas pemerintah. Pajak
perseroan akan mencapai Rp 207 milyar, suatu kenaikan hampir
54%. Juga MPO -- pajak langsung yang ditarik tiap kali terjadi
transaksi -- untuk tahun 1981-82 direncanakan bisa naik 55%.
"Kedua angka itu menunjukkan kehidupan dunia usaha kita," kata
Menteri Keuangan Ali Wardhana awal pekan ini.
Di mana saja bisnis ramai? Jika dilihat dari jumlah uang yang
ditanamkan. jawabannya ringkas: bukan di sektor pertanian, tapi
industri (lihat diagram). Pejabat Sementara BKPM (Badan
Koordinasi Penanaman Modal) Ismail Saleh, dalam wawancara dengan
TEMPO pekan lalu di kantornya mengatakan, bahwa tanaman pangan
memang diprioritaskan, tapi "masih membutuhkan waktu untuk
menarik investasi."
Ismail Saleh juga melihat, bahwa industri untuk tahun 1981 ini
akan tetap menarik ojrang untuk menanamkan modal. Terutama,
katanya, "bidang pcngolahan bahan mentah." Bahkan dalam
kunjungannya ke India baru-baru ini ia menemukan minat yang
cukup dari para investor India untuk menanam modal di Indonesia
di bidang pengolahan tersebut. "Yang akan menarik dalam tahun
ini juga industri logam dasar, industri kimia dasar," kata
Pejabat Ketua BKPM yang juga menjabat Sekretaris Kabinet itu.
Permintaan konsumen di pasar nampaknya masih merupakan penentu
bagi investor. Menurut bahan yang dapat dikumpulkan TEMPO, dari
sektor industri ini jumlah proyek terbesar yang disetujui
pemerintah bagi para penanam modal dalam negeri sejak 1978
sampai Agustus 1980 ialah tekstil: sekitar 120 proyek. Rata-rata
setiap tahunnya selama masa itu jumlah modal yang ditanam dalam
tekstil Rp 80 milyar.
Tak mengherankan, bila kalangan industriawan tekstil adalah
orang-orang yang paling bersemangat melihat tahun lalu dan tahun
ini. "Saya optimistis pasti akan cerah," kata Musa, 50 tahun,
direktur utama beberapa perusahaan tekstil dan Ketua Harian I
Federasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengenai prospek 1981.
Denan tambahan "asal kebijaksanaan pemerintah yang telah ada
tidak diubah."
Kebijaksanaan itu adalah proteksi, berlaku sejak November 1977
dengan sebuah surat keputusan Presiden. Pemerintah juga, demi
tekstil dalam negeri, bersedia menggertak ke luar negeri. Ekspor
tekstil yang di tahun 1978 mencapai US$5,9 juta, selama enam
bulan pertama tahun 1980 sudah mencapai U$34 juta -- dan bisa
diramalkan seluruh tahun akan melintasi angka US$ 51 juta.
Lonjakan yang sama terdapat dalam ekspor pakaian jadi: dari US$
14,1 juta di tahun 1978, mencapai US$ 66 juta di tahun 1979.
Dalam pertengahan pertama 1980, angka yang tercatat adalah US$62
juta.
Ekspor tekstil ini, meskipun masih kecil dibanding dengan ekspor
bahan mentah Indonesia yang pas-pasan seperti teh dan kopi,
merupakan kebanggaan pemerintah. Hal itu nampak ketika Inggris
memberlakukan pembatasan kuota untuk pakaian jadi yang masuk
dari Indonesia tahun lalu.
"Ini tak terbayangkan lima tahun yang lalu," kata Menteri
Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro. Ia melihat tindakan
Inggris itu sebagai semacam "kehormatan" bagi prestasi ekspor
barang industri Indonesia -- tapi suatu "kehormatan" yang
merugikan.
Dan Indonesia membalas. Pembelian dua pesawat, sejumlah jembatan
Bailey dan pembuatan proyek methanol di P. Bunyu, kontan
dibatalkan Indonesia. Dalam debat di Parlemen Inggris 20
Desember yang baru lalu, Perdana Menteri Margaret Thatcher
mengakui kerugian ratusan juta poundsterling akibat balasan
Indonesia itu. Kedatangan Menteri Perdagangan Inggris pekan ini
agaknya untuk memperbaiki hubungan setelah perang dagang di
sekitar tekstil itu.
Tekstil yang dijagokan pemerintah itu memang salah satu industri
yang naik pesat, lebih dari 250% selama 10 tahun terakhir. Tapi
angka ini tidak teramat spektakuler dibanding dengan angka
produksi barang mewah seperti televisi (12.000% dalam jangka
waktu yang sama), mobil dan motor (masing-masing di atas 1000%.
Industri makanan juga cukup ramai. Sejak 1978 sampai dengan
Agustus 1980, proyek PMDN yang disetujui pemerintah jumlahnya
merupakan nomor dua setelah tekstil: 76, dengan modal yang
ditanam sebesar Rp 50 milyar. Buku besar RAPBN 1981-1982 bahkan
menyebut industri makanan sebagai salah satu jenis industri yang
"menonjol perkembangannya" -- di samping tekstil kimia, dan
mineral dasar -- meskipun tak menyebut secara jelas angka-angka
produksi di dalam bidang usaha ini.
Tentu tak semua loncatan besar kc atas di sektor industri
berkisar pada barang konsumsi. Hasil industri seperti pupuk
urea, misalnya, naik selama satu dasawarsa 2000%, dan besi beton
bahkan 11.000%. Anwar Ibrahim, Deputi I Ketua BKPM mengakui,
bahwa "industri sekedar melayani konsumen", tapi BKPM tentu tak
membiarkan investasi leluasa menyeret masyarakat ke pola
konsumsi yang berlebihan. Industri barang mewah, selain tak
dapat perangsang dari pemerintah, juga harus lewat "izin dari
departemen khusus menurut kebutuhan."
Di masa mendatang, yang ingin dikembangkan, dalam kata-kata
Anwar Ibrahim, ialah "industri ke hulu", yang menunjang industri
lain, dan bukan "industri ke hilir", yang untuk kebutuhan
konsumen. Beberapa industri yang "ke hilir" seperti tekstil
karena itu, menurut Anwar Ibrahim, "kelihatannya tak akan
bertambah lagi".
Hal ini dibenarkan oleh Ismail Saleh. "Jelas kita memberikan
kemudahan kepada mereka yang menanam modal untuk mengolah bahan
baku," katanya. Kemudahan yang diberikan berupa "semacam
proteksi". Ia mengambil contoh bahan baku untuk antibiotika
tetracyclire, yang sekarang dibuat di dalam negeri.
Menurut catatan Anwar Ibrahim, dalam tahun 1981 nanti investasi
terbanyak di bidang kimia. Rupanya kecenderungan lama terus.
Sejak 1978 sampai Agustus 1980, menurut data TEMPO, ada 74
proyek PMDN yang disetujui pemerintah di bidang ini, dengan
investasi hampir tiga kali modal yang ditanam di usaha tekstil:
di atas Rp 200 milyar. Dalam usaha ini, selama masa yang sama,
modal asing yang ditanam mencapai US$360 juta untuk proyek baru
dan sekitar US$150 juta untuk perluasan. "Yang sangat menonjol
industri kimia, karena banyaknya industri semen dan lem untuk
plywood," ujar Ibrahim.
Proyek pengolahan plywood, menurut pejabat BKPM itu pula, begitu
pula proyek lain di sektor kehutanan, merupakan kecenderungan
tahun 1981 di kalangan penanam modal dalam negeri. Dalam tahun
1980, telah tercatat sekitar 27 proyek, atau 17% dari seluruh
proyek yang dibuka untuk PMDN.
Namun yang menarik ialah, bahwa kalangan pengusaha menyatakan
pesimisme yang kuat di sini. "Tahun 1981? Untuk industri kayu
lapis khususnya, tahun yang suram," kata Karsudjono, Presiden
Asosiasi Produsen Kayulapis Indonesia (APKINDO) kepada TEMPO.
"Malah bagi beberapa pabrik kecil dan menengah bisa merupakan
kiamat."
Nada pesimistis juga dikemukakan oleh Ketua Masyarakat Perkayuan
Indonesia (MPI), Firmansyah. Ia mengakui, bahwa di tahun 1980
banyak pengusaha hutan meminta izin mendirikan pabrik kayulapis
(plywood), setelah pemerintah -- dengan satu "Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri" -- mewajibkan riap pengusaha hutan
mendirikan pabrik pengolahan kayu dan membatasi ekspor kayu
glondongan. "ah, untuk menyesuaikan diri dengan keinginan
pemerintah," keluh Firmansyah.
Penyesuaian itu tak mudah. Untuk mendirikan satu pabrik plywood,
katanya pula, diperlukan paling cepat masa dua tahun. Modal yang
diperlukan sekitar US$15 juta. Karsudjono, berbicara tentang
para pengusaha hutan yang sedang resah setelah tahun panen 1979
lenyap, berkata: "Untuk mendirikan pabrik ini mereka harus
mencari modal, dan mana yang berani menanamkan modalnya dalam
industri kayulapis yang belum jelas prospeknya ini?"
Belum jelas? Menurut Firmansyah, rencana pemerintah untuk
mendirikan 90 buah pabrik kayulapis dengan kapasitas produksi 7
juta meter kubik berlebihan. Daya serap pasar internasional,
kata Ketua MPI itu pula, diperkirakan cuma 3 juta meter kubik,
sedang pasaran dalam negeri sekitar 1 juta meter kubik.
Syahdan, menurut Firmansyah, "sudah banyak" perusahaan besar
perkayuan yang mengalihkan ke bidang usaha lain." Namun
pemerintah agaknya mengambil sikap, bahwa keluhan kalangan
perkayuan ini cuma kecerewetan sementara.
Ada alasan. "Kayu payah tahun 1980," kata seorang konsulen pajak
yang punya klien 15 pengusaha timber. Tapi Juli 1981, ia
perkirakan harga kayu akan baik kembali." Ini saya ketahui dari
klien-klien saya, berdasarkan perhitungan ke depan," kata sang
konsulen. "Memang kayu mau tak mau akan berkurang, sementara
kebutuhan meningkat, hingga harga pasti naik."
Jadi Insya Allah, di tahun 1981 di sini pun tak akan lesu? Untuk
gambaran lebih menyeluruh, baik juga ditengok kalangan
"pengusaha lemah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini