Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Sudut Dunia Usaha

Prospek ekonomi 1981 dilihat dari dua sudut usaha, pajak perseroan dan mpo. sektor industri th'81 tampak cerah dan optimis. (eb)

10 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INSYA Allah, di tahun 1981, dunia bisnis tak akan lesu. Paling tidak jika dilihat perhitungan di kertas pemerintah. Pajak perseroan akan mencapai Rp 207 milyar, suatu kenaikan hampir 54%. Juga MPO -- pajak langsung yang ditarik tiap kali terjadi transaksi -- untuk tahun 1981-82 direncanakan bisa naik 55%. "Kedua angka itu menunjukkan kehidupan dunia usaha kita," kata Menteri Keuangan Ali Wardhana awal pekan ini. Di mana saja bisnis ramai? Jika dilihat dari jumlah uang yang ditanamkan. jawabannya ringkas: bukan di sektor pertanian, tapi industri (lihat diagram). Pejabat Sementara BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Ismail Saleh, dalam wawancara dengan TEMPO pekan lalu di kantornya mengatakan, bahwa tanaman pangan memang diprioritaskan, tapi "masih membutuhkan waktu untuk menarik investasi." Ismail Saleh juga melihat, bahwa industri untuk tahun 1981 ini akan tetap menarik ojrang untuk menanamkan modal. Terutama, katanya, "bidang pcngolahan bahan mentah." Bahkan dalam kunjungannya ke India baru-baru ini ia menemukan minat yang cukup dari para investor India untuk menanam modal di Indonesia di bidang pengolahan tersebut. "Yang akan menarik dalam tahun ini juga industri logam dasar, industri kimia dasar," kata Pejabat Ketua BKPM yang juga menjabat Sekretaris Kabinet itu. Permintaan konsumen di pasar nampaknya masih merupakan penentu bagi investor. Menurut bahan yang dapat dikumpulkan TEMPO, dari sektor industri ini jumlah proyek terbesar yang disetujui pemerintah bagi para penanam modal dalam negeri sejak 1978 sampai Agustus 1980 ialah tekstil: sekitar 120 proyek. Rata-rata setiap tahunnya selama masa itu jumlah modal yang ditanam dalam tekstil Rp 80 milyar. Tak mengherankan, bila kalangan industriawan tekstil adalah orang-orang yang paling bersemangat melihat tahun lalu dan tahun ini. "Saya optimistis pasti akan cerah," kata Musa, 50 tahun, direktur utama beberapa perusahaan tekstil dan Ketua Harian I Federasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengenai prospek 1981. Denan tambahan "asal kebijaksanaan pemerintah yang telah ada tidak diubah." Kebijaksanaan itu adalah proteksi, berlaku sejak November 1977 dengan sebuah surat keputusan Presiden. Pemerintah juga, demi tekstil dalam negeri, bersedia menggertak ke luar negeri. Ekspor tekstil yang di tahun 1978 mencapai US$5,9 juta, selama enam bulan pertama tahun 1980 sudah mencapai U$34 juta -- dan bisa diramalkan seluruh tahun akan melintasi angka US$ 51 juta. Lonjakan yang sama terdapat dalam ekspor pakaian jadi: dari US$ 14,1 juta di tahun 1978, mencapai US$ 66 juta di tahun 1979. Dalam pertengahan pertama 1980, angka yang tercatat adalah US$62 juta. Ekspor tekstil ini, meskipun masih kecil dibanding dengan ekspor bahan mentah Indonesia yang pas-pasan seperti teh dan kopi, merupakan kebanggaan pemerintah. Hal itu nampak ketika Inggris memberlakukan pembatasan kuota untuk pakaian jadi yang masuk dari Indonesia tahun lalu. "Ini tak terbayangkan lima tahun yang lalu," kata Menteri Koordinator Ekuin Widjojo Nitisastro. Ia melihat tindakan Inggris itu sebagai semacam "kehormatan" bagi prestasi ekspor barang industri Indonesia -- tapi suatu "kehormatan" yang merugikan. Dan Indonesia membalas. Pembelian dua pesawat, sejumlah jembatan Bailey dan pembuatan proyek methanol di P. Bunyu, kontan dibatalkan Indonesia. Dalam debat di Parlemen Inggris 20 Desember yang baru lalu, Perdana Menteri Margaret Thatcher mengakui kerugian ratusan juta poundsterling akibat balasan Indonesia itu. Kedatangan Menteri Perdagangan Inggris pekan ini agaknya untuk memperbaiki hubungan setelah perang dagang di sekitar tekstil itu. Tekstil yang dijagokan pemerintah itu memang salah satu industri yang naik pesat, lebih dari 250% selama 10 tahun terakhir. Tapi angka ini tidak teramat spektakuler dibanding dengan angka produksi barang mewah seperti televisi (12.000% dalam jangka waktu yang sama), mobil dan motor (masing-masing di atas 1000%. Industri makanan juga cukup ramai. Sejak 1978 sampai dengan Agustus 1980, proyek PMDN yang disetujui pemerintah jumlahnya merupakan nomor dua setelah tekstil: 76, dengan modal yang ditanam sebesar Rp 50 milyar. Buku besar RAPBN 1981-1982 bahkan menyebut industri makanan sebagai salah satu jenis industri yang "menonjol perkembangannya" -- di samping tekstil kimia, dan mineral dasar -- meskipun tak menyebut secara jelas angka-angka produksi di dalam bidang usaha ini. Tentu tak semua loncatan besar kc atas di sektor industri berkisar pada barang konsumsi. Hasil industri seperti pupuk urea, misalnya, naik selama satu dasawarsa 2000%, dan besi beton bahkan 11.000%. Anwar Ibrahim, Deputi I Ketua BKPM mengakui, bahwa "industri sekedar melayani konsumen", tapi BKPM tentu tak membiarkan investasi leluasa menyeret masyarakat ke pola konsumsi yang berlebihan. Industri barang mewah, selain tak dapat perangsang dari pemerintah, juga harus lewat "izin dari departemen khusus menurut kebutuhan." Di masa mendatang, yang ingin dikembangkan, dalam kata-kata Anwar Ibrahim, ialah "industri ke hulu", yang menunjang industri lain, dan bukan "industri ke hilir", yang untuk kebutuhan konsumen. Beberapa industri yang "ke hilir" seperti tekstil karena itu, menurut Anwar Ibrahim, "kelihatannya tak akan bertambah lagi". Hal ini dibenarkan oleh Ismail Saleh. "Jelas kita memberikan kemudahan kepada mereka yang menanam modal untuk mengolah bahan baku," katanya. Kemudahan yang diberikan berupa "semacam proteksi". Ia mengambil contoh bahan baku untuk antibiotika tetracyclire, yang sekarang dibuat di dalam negeri. Menurut catatan Anwar Ibrahim, dalam tahun 1981 nanti investasi terbanyak di bidang kimia. Rupanya kecenderungan lama terus. Sejak 1978 sampai Agustus 1980, menurut data TEMPO, ada 74 proyek PMDN yang disetujui pemerintah di bidang ini, dengan investasi hampir tiga kali modal yang ditanam di usaha tekstil: di atas Rp 200 milyar. Dalam usaha ini, selama masa yang sama, modal asing yang ditanam mencapai US$360 juta untuk proyek baru dan sekitar US$150 juta untuk perluasan. "Yang sangat menonjol industri kimia, karena banyaknya industri semen dan lem untuk plywood," ujar Ibrahim. Proyek pengolahan plywood, menurut pejabat BKPM itu pula, begitu pula proyek lain di sektor kehutanan, merupakan kecenderungan tahun 1981 di kalangan penanam modal dalam negeri. Dalam tahun 1980, telah tercatat sekitar 27 proyek, atau 17% dari seluruh proyek yang dibuka untuk PMDN. Namun yang menarik ialah, bahwa kalangan pengusaha menyatakan pesimisme yang kuat di sini. "Tahun 1981? Untuk industri kayu lapis khususnya, tahun yang suram," kata Karsudjono, Presiden Asosiasi Produsen Kayulapis Indonesia (APKINDO) kepada TEMPO. "Malah bagi beberapa pabrik kecil dan menengah bisa merupakan kiamat." Nada pesimistis juga dikemukakan oleh Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI), Firmansyah. Ia mengakui, bahwa di tahun 1980 banyak pengusaha hutan meminta izin mendirikan pabrik kayulapis (plywood), setelah pemerintah -- dengan satu "Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri" -- mewajibkan riap pengusaha hutan mendirikan pabrik pengolahan kayu dan membatasi ekspor kayu glondongan. "ah, untuk menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah," keluh Firmansyah. Penyesuaian itu tak mudah. Untuk mendirikan satu pabrik plywood, katanya pula, diperlukan paling cepat masa dua tahun. Modal yang diperlukan sekitar US$15 juta. Karsudjono, berbicara tentang para pengusaha hutan yang sedang resah setelah tahun panen 1979 lenyap, berkata: "Untuk mendirikan pabrik ini mereka harus mencari modal, dan mana yang berani menanamkan modalnya dalam industri kayulapis yang belum jelas prospeknya ini?" Belum jelas? Menurut Firmansyah, rencana pemerintah untuk mendirikan 90 buah pabrik kayulapis dengan kapasitas produksi 7 juta meter kubik berlebihan. Daya serap pasar internasional, kata Ketua MPI itu pula, diperkirakan cuma 3 juta meter kubik, sedang pasaran dalam negeri sekitar 1 juta meter kubik. Syahdan, menurut Firmansyah, "sudah banyak" perusahaan besar perkayuan yang mengalihkan ke bidang usaha lain." Namun pemerintah agaknya mengambil sikap, bahwa keluhan kalangan perkayuan ini cuma kecerewetan sementara. Ada alasan. "Kayu payah tahun 1980," kata seorang konsulen pajak yang punya klien 15 pengusaha timber. Tapi Juli 1981, ia perkirakan harga kayu akan baik kembali." Ini saya ketahui dari klien-klien saya, berdasarkan perhitungan ke depan," kata sang konsulen. "Memang kayu mau tak mau akan berkurang, sementara kebutuhan meningkat, hingga harga pasti naik." Jadi Insya Allah, di tahun 1981 di sini pun tak akan lesu? Untuk gambaran lebih menyeluruh, baik juga ditengok kalangan "pengusaha lemah".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus